Program Transmigrasi Menabrak UU Otsus Papua dan Perdasi (2) - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Program Transmigrasi Menabrak UU Otsus Papua dan Perdasi (2)

 Samuel Pakage, intelektual dan pemerhati masalah Papua. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Samuel Pakage

Intelektual dan pemerhati masalah Papua

PASAL 33 Ayat 1 menyatakan, bupati/walikota menyampaikan keputusan tentang pencadangan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat 3 disertai dengan analisis kepada gubernur sebagai usulan permohonan penyusunan Rencana Kawasan Transmigrasi (RKT).

Ayat 2 menyatakan, gubernur melakukan sinkronisasi usulan permohonan penyusunan RKT sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 sesuai dengan kebijakan pembangunan daerah provinsi. Ayat 3 menyatakan, gubernur meneruskan usulan permohonan penyusunan RKT sebagaimana dimaksud pada Ayat 2 kepada menteri.

Pasal 118 Ayat berbunyi, biaya pelaksanaan jenis Transmigrasi Umum  (TU) bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pasal 119 Ayat 4 menyatakan, biaya pelaksanaan jenis Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB)  bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Badan Usaha.

 Pasal 120 Ayat 6 menyatakan, Jenis  Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) digunakan untuk penyediaan prasarana dan sarana dasar serta memberikan dukungan pengembangan usaha. Pasal 122 Ayat 2 menyatakan, transmigran berhak memperoleh bantuan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau badan usaha.

Pasal-pasal dalam peraturan pemerintah di atas telah menunjukkan bahwa gubernur, bupati, dan walikota merupakan bagian dari pelaksana program transmigrasi nasional bersama pemerintah pusat. 

Pencadangan tanah atau lokasi transmigrasi dan lain-lain, termasuk pembiayaan transmigrasi pun dibebankan kepada pemerintah daerah dengan menggunakan APBD dan tidak seluruhnya dari APBN.  

APBD yang seharusnya diperuntukkan secara maksimal untuk kepentingan membangun Papua atau membangun orang asli Papua dibagi lagi untuk membiayai program transmigrasi pemerintah pusat. 

Transmigrasi versi UU Otsus dan Perdasi

Pasal 61 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menyatakan, penempatan penduduk di Provinsi Papua dalam rangka transmigrasi nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah dilakukan dengan persetujuan gubernur. Ayat 4 menyatakan, penempatan penduduk sebagaimana dimaksud pada Ayat 3 ditetapkan dengan Perdasi.

Merujuk pada Pasal 61 Ayat 4 UU Otsus dimaksud, maka lahirlah Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Papua  Nomor 15 Tahun 2008 tentang Kependudukan. Beberapa pasal pamungkas dalam Perdasi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Kependudukan adalah sebagai berikut.

Pasal 2 menyatakan, Pemerintah Daerah Provinsi berwenang (a) membatasi masuknya penduduk luar ke wilayah Provinsi Papua; (b) melakukan penertiban penduduk yang berdomisili di wilayah Provinsi Papua. 

Lalu, (c) meningkatkan angka harapan hidup bagi orang asli Papua; (d) membatasi pemberian KTP wilayah papua kepada penduduk luar, dan (e) memeriksa identitas diri penduduk luar yang masuk ke wilayah Provinsi Papua melalui sarana transportasi darat, laut, dan udara.

Pasal 4, Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota berwenang (a) membatasi masuknya penduduk bukan orang asli papua ke wilayah Provinsi Papua; (b) melakukan penertiban penduduk di daerah; (c) mengembalikan penduduk yang masuk ke wilayah Provinsi Papua ke daerah asal apabila tidak memiliki KTP dari daerah asal.

Kemudian, (d) melakukan pengendalian penduduk yang datang ke wilayah kabupaten/kota (e) memberikan Kartu Identitas Penduduk Sementata (KIPS) dan Kartu Identitas Penduduk Musiman (KIPM) kepada penduduk tertentu; dan (f) melakukan sensus penduduk.

Pasal 44 Ayat 1 menyatakan, kebijakan transmigrasi di provinsi papua akan dilaksanakan setelah orang asli papua mencapai jumlah dua puluh juta jiwa. Ayat 2 menyatakan, kebijakan transmigrasi sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 akan dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan dan persetujuan MRP dan DPRP. 

UU Otonomi Khusus berlaku secara khusus bagi seluruh provinsi di tanah Papua, termasuk kabupaten dan kota dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga melalui UU Otsus telah memberikan kewenangan khusus dan kewenangan khusus tersebut diakui oleh negara Indonesia untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Papua dengan prakarsa sendiri. 

Pasal 61 Ayat 3 dan Ayat 4 dalam UU Otsus tersebut di atas merupakan pasal pamungkas dalam program transmigrasi pemerintah pusat. Termasuk Pasal 44 Ayat 1 dan Ayat 2 Perdasi tersebut di atas.

Di dalam Perdasi  Pasal 44 Ayat 1 secara tegas menyatakan bahwa kebijakan transmigrasi di Provinsi Papua akan dilaksanakan  setelah orang asli Papua mencapai jumlah dua puluh juta jiwa. 

Oleh karena itu, pemerintah pusat tidak bisa memaksakan program transmigrasi ke Papua secara sepihak maupun secara arogan. Pemerintah pusat mesti patuh pada UU Otsus dan Perdasi yang berlaku di tanah Papua, di mana aturan yang disahkan oleh negara Indonesia. 

Pemerintah pusat harus menunggu sampai orang asli Papua berjumlah dua puluh juta jiwa barulah program transmigrasi ke Papua bisa dilaksanakan. 

Seluruh rakyat Papua dengan tegas menolak program transmigrasi era Presiden Jokowi yang dilanjutkan oleh Presiden Prabowo adalah sah dan memiliki dasar hukum yang kuat. 

Mengapa? Hal ini bertentangan dengan UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001 maupun Perdasi Papua Nomor 15 Tahun 2008. Semoga perspektif yuridis ini dapat membuka wawasan semua pihak. (bagian kedua, selesai)

Tinggalkan Komentar Anda :