SEKOLAH Teruna Bakti itu lahir pertama di Fakfak, Provinsi Papua Barat tahun 1950. Peran para imam Ordo Fratrum Minorum (OFM) di awal berdirinya Teruna Bakti cukup kuat. Kehadiran lembaga pendidikan ini berkat jasa Prefek Apostolik Pastor Oscar Cremers, OFM, pimpinan tertinggi Gereja Katolik wilayah utara West Papua.
Belakangan, Pastor Oscar Cremers menjadi uskup pertama Keuskupan Jayapura. Berdirinya Teruna Bakti kala itu dimulai Pastor Oscar dengan nama Opleidingschool Dorpsonderwijzers atau ODO. Dalam bahasa Melayu ODO dinamakan Sekolah Guru Kampung.
Kepala Sekolah Opleidingschool Dorpsonderwijzers pertama adalah A. Ven Zeyi. Zeyi tiba di Fak-fak pada 20 Oktober 1950. Sedangkan rektor asrama dan guru saat itu adalah Pastor Nerius Louter, OFM. Pada 1953, Opleidingschool Dorpsonderwijzers mencetak lulusan perdana sebanyak dua puluh satu siswa terdiri dari lima orang Kei, Provinsi Maluku dan enam belas orang asli Papua.
Saat itu kebanyakan siswa Opleidingschool Dorpsonderwijzers didatangkan dari wilayah pegunungan seperti Wisel Meren, Akimuga, Sorong (kepala burung), Pegunungan Arfak, Bintuni, Boven Digoel, Mimika, dan Keerom. Tahun 1956 Pastor Oskar pulang ke Belanda kemudian digantikan oleh Pastor Rudolf Joseph Manfred Staverman, OFM sebagai uskup Gereja Katolik wilayah utara dan pegunungan tengah West Papua. Dengan demikian, Manfred Staverman diangkat sebagai uskup karena Belanda mulai meningkatkan status pelayanan Katolik di West Papua dari Prefektur Apostolik menjadi Keuskupan.
Mgr Manfred Staverman mau memindahkan Opleidingschool Dorpsonderwijzers dari Fakfak ke Waghete, Deiyai tahun 1961. Namun di Waghete terjadi kecelakaan pesawat AMA pada 9 Februai 1961. Saat itu di Waghete infrastruktur belum tersedia sehingga Opleidingschool Dorpsonderwijzers dipindahkan ke Nabire.
Di Nabire Opleidingschool Dorpsonderwijzers dimulai dengan satu kelas dengan jumlah siswa sebanyak 19 orang. Para siswa berasal dari Paniai, Mimika, Keerom, Akimuga, dan Boven Digoel. Beberapa siswa kala itu yaitu Tom Beanal, Zakarias Petege, Amatus Mote, Yakobus Kotouki, Raimon Yeimo, dan beberapa siwa lain.
Saat beroperasi di Nabire, Opleidingschool Dorpsonderwijzers bernama ODO Santu Yohanes Pembaptis. Kala itu kepala sekolahnya yaitu Tom Melis, wakil kepala sekolah yakni Arnold Youw, rektor asrama dan guru adalah Pastor Frans Verheijen, OFM. Saat di Naqbire, sekolah ini terletak di Gunung Nigmy. Bahasa pengantar kegiatan belajar mengajar menggunakan bahasa Belanda dan Melayu.
Tahun 1963 Opleidingschool Dorpsonderwijzers pindah lagi ke Kokonao, Kabupaten Mimika. ODO harus menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan menyusul integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1 Mei 1963. Setelah integrasi, Opleidingschool Dorpsonderwijzers berubah dan proses belajar mengajar menyesuaikan sesuai kurikulum Indonesia. Sejak saat itu Opleidingschool Dorpsonderwijzers Kokonao berubah nama menjadi Sekolah Guru Bawah (SGB).
Tahun 1963 dibuka lagi dengan Sekolah Guru Atas (SGA) di Biak. Karena itu, SGB yang beroperasi di Kokonao tahun 1965 dipindahkan ke Biak. Kemudian nama SGB dan SGA bertahan sampai tahun 1971. SGB dan SGA kemudian dipindahkan lagi ke Waena, Jayapura lalu berubah lagi namanya menjadi Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Teruna Bakti. Bekas SGB dan SGA di Biak sekarang menjadi Hotel Arumbai, Biak.
Pada 15 November 1966, wilayah Katolik utara West Papua diijinkan Takhta Suci Vatikan menjadi Keuskupan Jayapura. Tak lama Merauke menjadi Keuskupan Agung Merauke, Manokwari-Sorong menjadi Keuskupan Sorong dengan uskup baru Mgr Petrus M. Diepen, OSA. Tahun 1971 Mgr Staverman, OFM mengundurkan diri dan kembali ke Belanda karena sakit-sakitan.
Pada 1971 seluruh pembangunan gedung SPG Teruna Bakti sudah selesai dibangun Bruder Henk Blom, OFM. Gedung itu dibangun di Jayapura, mengingat pusat administrasi Keuskupan Sukarnopura ada di Jayapura. Sedangkan di Biak merupakan wilayah zending. Ramses Ohee memberikan tanah delapan hektar untuk memindahkan SPG dari Biak ke Jayapura.
Sebagian tanah ini juga merupakan bekas benteng Kampwolker peninggalan Perang Dunia (PD) II. Saat ini gedung-gedungnya masih ada di belakang lapangan bola, termasuk kuburan tentara Belanda dan Jepang seluas delapan hektar. Tahun itu wilayah Perumnas 1 sudah ada beberapa rumah bekas Pemerintah Belanda.
Setelah semua gedung sudah siap, maka pertengahan pada tahun 1971 semua siswa-siswi SPG Teruna Bakti yang ada di Biak pindah ke gedung SPG Teruna Bakti Waena, Jayapura. Mereka berangkat dari Biak menggunakan KM Wakolo. Guru-guru yang mengajar di Biak juga pindah ke Waena.
Pada saat itu, program pendidikan Guru Sekolah Bawah (SGB) resmi ditutup dan menggunakan nama SPG Teruna Bakti. Namun, seiring perjalanan waktu tahun 1991 SPG Teruna Bakti secara resmi ditutup dan berubah nama menjadi SMA Teruna Bakti hingga saat ini.
Suster Mariechen Warshon, DSY merupakan kepala sekolah pertama, SMA Teruna Bakti. Suster Mariechen mengabadikan sekolah itu dengan nama Teruna Bakti. Nama ini diabadikan sebagai pembeda dengan nama Taruna Dharma di Kotaraja. Setelah Sr Mariecen Warshon, DSY pensiun dari Teruna Bakti, ia mendirikan Panti Asuhan Putri Kerahiman Hawai di Sentani.
Awalnya, Teruna Bakti adalah sekolah berpola asrama (kolese) yang dipimpin oleh seorang rektor asrama. Sistem sekolah berasrama menjadi kekhasan Teruna Bakti. Teruna Bakti hadir sesuai arti namanya: lebih sederhana, dan membantu siapa saja. (Emanuel Petege, alumni SPG Teruna Bakti Waena, Jayapura)
Tulisan ini dibuat berdasarkan catatan antropolog Pastor Alphons Van Nunen, OFM; Pastor Frans Lieshout, OFM; dan Mantan Kepala Kantor Bagian Kearsipan Keuskupan Jayapura dan Keuskupan Timika Pastor Floor Hoogembom, OFM