JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Anggota Dewan Gereja Papua (DGP) Pendeta Dorman Wandikbo, S.Th mengingatkan, Wali Kota Jayapura Abisai Rolo dan politisi perlu belajar dari dua pemimpin kharismatik Papua yaitu Lukas Enembe dan Theys Hiyo Eluay.
“Abisai Rolo dan para politisi Papua lainya perlu belajar dari kedua tokoh kharismatik Bangsa Papua yaitu mendiang Theys Hiyo Eluay dan mendiang Lukas Enembe,” ujar Pendeta Dorman Wandikbo dari Jayapura, Papua, Rabu (18/6).
Dortheys Hiyo Eluay atau Theys H Eluay adalah mantan Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) dan salah satu tokoh Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 yang tewas dibunuh setelah diculik. Jasad Theys Eluay ditemukan dalam mobil yang terperosok ke jurang di dekat perbatasan Indonesia-Papua Nugini.
Sedangkan Lukas Enembe adalah mantan birokrat dan politisi yang meniti karir sebagai Wakil dan Bupati Puncak sebelum akhirnya menjabat Gubernur Papua. Saat menjabat Gubernur Papua periode kedua, karir politik Enembe, politisi Partai Demokrat terhenti akibat tokoh kharismatik kelahiran Tolikara, Papua Pegunungan, meninggal dunia.
“Eluay dan Enembe adalah tokoh pencinta manusia dan alam semesta Papua dan pencinta manusia-manusia lain yang hidup di atas tanah Papua. Eluay dan Enembe adalah tokoh pemersatu yang menjaga kebersamaan antara manusia Papua dan manusia manusia lain di atas tanah Papua,” kata Dorman, mantan Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI).
Selain itu, lanjut Dorman, Theys Eluay dan Lukas Enembe adalah tokoh yang mengutamakan nilai-nilai ketuhanan, adat dan budaya Papua tanpa membedakan antara gunung dan pantai. Eluay dan Enembe adalah tokoh yang mengutamakan kasih, perdamaian, dan menjaga eksistensi kehidupan orang asli Papua di atas tanah Papua.
“Eluay dan Enembe adalah dua tokoh yang mampu melawan setiap sistem penguasa yang mencoba menghancurkan integritas, jati diri, dan harga diri orang Papua di atas tanah Papua. Eluay dan Enembe harus menjadi teladan bagi semua politisi politisi di atas tanah Papua demi keselamatan dan persatuan rakyat Papua antara pantai dan gunung. Kita tetap satu,” ujar Dorman.
Tokoh pemuda Nduga Teminus Gwijangge juga mengecam Wali Kota Jayapura Abisai Rolo dan menyebut statemen Abisai mewakili mulut penjajah. Statemen Abisai dinilai Gwijangge merupakan cermin dari mental penjajah dalam kulit terjajah.
“Mereka bangun dikotomi artifisial bahwa yang (orang) pantai itu loyal dan taat dan yang (orang) gunung pemberontak. Taktik penjajah ini disebut Frantz Fanon sebagai ‘the loyal native’ dan ‘the subversive native’ untuk memecah persatuan bangsa terjajah. Seperti Belgia bikin perbedaan etnis Tutsi dan Hutu yang menyulut genosida 1994 di Afrika,” ujar Gwijangge melalui cuitannya di grup WhatsApp di Nduga, Selasa (17/6).
Menurut Gwijangge, kalau ada (pemimpin) yamg masih memakai dikotomi gunung-pantai, kolonialisme telah menyusup ke dalam sistem nilai dan persepsinya. Jika ia (pemimpin) merasa lebih ‘beradab’ karena lebih dekat dengan pusat kekuasaan, itu bukan kebanggaan tapi delusi atau racun kolonial yang membuatnya merasa superior atas saudara sebangsanya sendiri.
“Jadi para elit kolaborator ini gunakan logika penjajah yang tidak melihat bangsanya sebagai satu tubuh, tetapi sebagai pecahan yang bisa ditimbang, dinilai, dan ditolak berdasarkan stereotip buatan kolonial. Membagi Papua berdasarkan asal-usul geografis adalah strategi klasik kolonialisme untuk mencegah persatuan revolusioner,” katanya.
Bahkan ia menambahkan, otak mereka (pemimpin) dibentuk agar Kota Jayapura diproduksi ulang sebagai ruang kolonial, di mana kehadiran orang gunung dianggap ‘mengganggu ketertiban’ atau ‘mengancam stabilitas’. Belajar dari apartheid Afrika Selatan, kepala suku di Bantustan mengusir sesama bangsanya karena dianggap ‘mengganggu’ stabilitas.
“Jadi, penjajah selalu mencari pemimpin lokal yang bisa dipakai untuk mengamankan kekuasaan. Mereka diberi gelar, panggung, dan uang asal bisa menertibkan rakyat yang melawan. Abisai sedang bermain dalam pola yang sama,” ujar Gwijangge. (*)