Resensi: Suara Profetis sang Gembala dari Surga Kecil yang Jatuh ke Bumi - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Resensi: Suara Profetis sang Gembala dari Surga Kecil yang Jatuh ke Bumi

Buku Prabowo dan Tantangan Penyelesaian Konflik Papua: Esai-esai Sejarah, Politik, Hak Asasi Manusia karya Dr Socratez Sofyan Yoman, MA. Foto: Istimewa

Loading

Tanah Papua adalah wilayah yang kerap dilanda konflik dan kekerasan. Konflik dan kekerasan itu —kalau mau jujur— terjadi sejak Irian Jaya (nama tanah Papua saat itu) resmi masuk dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1 Mei 1963. 

Konflik dan kekerasan bersafari laiknya pejabat turne ke kampung-kampung menyambangi warga, orang-orang kecil di honai (rumah) baik di gunung, lembah, bibir pantai, sungai, danau, dan seterusnya. Konflik seolah jadi teman sahabat karib keseharian warga saban waktu.

Konflik itu juga melibatkan kelompok masyarakat versus kelompok lainnya di satu sisi dengan kelompok pengusung ideologi kemerdekaan versus dengan aparat keamanan di sisi lain. Konflik berkelindan dan penyelesaiannya ibarat mengurai benang kusut. 

Sepak terjang konflik dan kekerasan terutama konflik politik dideteksi lebih jauh. Dimulai masuknya Irian Jaya dalam pangkuan pertiwi diperkuat dengan pelaksanaan referendum Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Hasil Pepera menunjukkan, sebanyak 1.025 rakyat Irian Barat memilih untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia.

Konflik dan kekerasan di tanah Papua selalu mewarnai setiap rezim. Baik sejak kepemimpinan Presiden Soekarno, Soeharto, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono hingga rezim Joko Widodo. Sekadar melawan lupa dapat dicatat sejumlah kasus konflik dan kekerasan yang berujung nyawa orang asli Papua maupun aparat keamanan jatuh sia-sia.  

Misalnya, tragedi Wasior tahun 2001. Peristiwa ini disebut masuk dalam pelanggaran HAM berat. Tragedi ini bermula ketika perusahaan kayu PT VPP dianggap warga telah mengingkari kesepakatan yang dibuat untuk masyarakat. Proses penyelesaian kasus ini pun dianggap melewati lorong gelap dan tak kunjung dituntaskan.

Selain itu, peristiwa Wamena berdarah tahun 2003 di mana dua anggota TNI tewas dalam aksi pembobolan sekelompok orang terhadap gudang senjata markas Komando Distrik Militer Wamena. Kemudian, Kasus Paniai berdarah tahun 2014. Pada 8 Desember 2014, terjadi penembakan terhadap warga sipil di Paniai pada 7 Desember 2014 dini hari. 

Penyebabnya, sekelompok remaja setempat sedang menjaga keamanan jelang perayaan Hari Natal. Kasus Paniai merenggut nyawa remaja Papua, yaitu Simon Degei (18 tahun), Otianus Gobai (18), Alfius Youw (17), Yulian Yeimo (17), dan Abia Gobay (17 tahun). 

Kasus-kasus kekerasan di atas sekadar gambaran betapa konflik dan kekerasan yang berujung nyawa manusia jatuh selalu menyertai tanah Papua saban waktu setiap berganti rezim. Aneka pertanyaan berkelebat. Salah satunya, apakah konflik dan kekerasan akan berkurang atau bertambah di atas tanah Papua, tak ada yang pasti.   

Era Presiden Prabowo

Pertanyaan di atas tentu gampang-gampang susah menjelaskan atau menjawabnya. Namun, satu hal pasti bahwa negara melalui mandat formal pemerintah ditopang kerja sama pemerintah daerah, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan memiliki kerinduan yang sama bahwa konflik dan kekerasan tak boleh hadir di tengah masyarakat. 

Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memenangkan bursa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024. Keduanya secara resmi mengemban tugas sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029 pada Minggu (20/10). 

Prabowo dan Gibran dilantik dalam Sidang Paripurna MPR dalam rangka Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Masa Jabatan 2024-2029 yang digelar di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta. Keduanya dilantik berlandaskan Keputusan KPU Republik Indonesia Nomor 504 Tahun 2024 tentang Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Terpilih dalam Pemilihan Umum Tahun 2024.

Dalam buku Prabowo dan Tantangan Penyelesaian Konflik Papua: Esai-esai Sejarah, Politik, Hak Asasi Manusia karya Dr Socratez Sofyan Yoman, MA (2024), sekilas terlihat kehadiran Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka adalah asa, harapan besar bagi masyarakat tanah Papua yang selalu bertabur konflik dan kekerasan. 

Tanah Papua mesti dibangun dengan hati ditopang kesungguhan pejabat daerah yang tak doyan korupsi agar perlahan masyarakat, terutama yang bermukim di pelosok kampung di tengah pelukan gunung, bukit, dan ngarai sungguh merasa disentuh negara. Di saat bersamaan, masyarakat setia menumbuhkan etos kerja warisan orang tua dan leluhur bahwa sebelum ia dibantu, ditolong orang atau pihak lain ia mesti menolong dirinya sendiri dalam kelompok komunal. 

Mengapa? Dalam uraiannya, Socratez hendak menyodorkan fakta kepada presiden bahwa yang hingga saat ini tanah Papua ibarat masih ada kerikil dalam sepatu (baca akar konflik) dan terjebak dalam kubangan konflik kekerasan. Karena itu, karya sang gembala ini hadir menjadi semacam guide, panduan untuk melihat tanah Papua secara utuh lalu mencari alternatif solusi dengan otoritas kekuasaan yang digenggam.

“Kepada Presiden Prabowo Subianto, buku ini akan menjadi seperti panduan untuk melihat akar konflik Papua secara utuh. Tentu, sebagai presiden Anda telah diberikan otoritas dan tanggung jawab untuk menjaga konstitusi dan keutuhan nasional. Namun, otoritas itu juga bisa dipergunakan untuk mengakhiri kejahatan kemanusiaan dan penyelesaian konflik secara damai di tanah Papua,” ujar Socratez Sofyan Yoman (bdk. hal. viii). 

Konflik dan kekerasan di tanah Papua bukan hanya terjadi dalam kurun waktu tertentu. Namun, jauh sebelumnya, konflik dan kekerasan terutama konflik yang lengket dengan urusan politik mewarnai bumi Cenderawasih. Intelektual Papua Markus Haluk dalam bukunya, West Papua Kembali ke Melanesia: Sejarah Politik Papua, Konsensus Persatuan UMLWP, dan Perjuangan Hak Penentuan Nasib Sendiri (2023) mengulas sejarah masa lalu yang tak terlupakan. 

Markus membagi persoalan eksternal yang terjadi di Papua dalam tiga kategori periodisasi masa, baik dari aspek politik maupun hak asasi manusia (HAM). Pertama, Orde Lama 1961-1967. Pendudukan Papua terjadi di bawah Presiden Soekarno, di mana rezim Bung Karno dinilai telah terjadi pelanggaran hak politik bangsa Papua dan beberapa peristiwa mendasar. 

Misalnya, penganeksasian kemerdekaan Papua 1 Desember 1961 melalui Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) yang dikeluarkan Bung Karno di Alun-alun Yogyakarta. Selain itu, Papua diserahkan di tangan Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations Temporary Authority (Untea) pada 1 Oktober 1962. Pada tahun ini pula ditandatangani Perjanjian New York (New York Agreement).

Dalam periode ini, Markus juga menyebut secara administratif Papua diserahkan kepada Pemerintah Indonesia pada 1 Mei 1963. Sedangkan pada 1967, berlangsung penandatanganan Kontrak Karya Freeport McMoran Copper and Gold Inc. Penandatanganan terjadi di masa transisi dari Soekarno ke Soeharto sebelum Pemerintah Indonesia secara de jure mengintegrasikan Papua ke dalam pelukan Ibu Pertiwi.

Sepintas buku itu hemat saya dapat dibaca dalam sejumlah aspek penting. Pertama, Socratez hendak menyodorkan seruan profetis sebagai seorang gembala sekaligus penulis kepada Prabowo Subianto sebagai presiden dan pemimpin rakyat bahwa di tanah Papua masih bersemayam aneka persoalan yang masih membelit. Persoalan-persoalan itu mesti diurai melalui kebijakan yang pro-growth (pertumbuhan), pro-poor (kemiskinan), pro-job (lapangan kerja), dan pro-environment (lingkungan hidup). 

Kedua, tantangan penyelesaian konflik Papua bukan semata di tangan presiden bersama jajaran menteri Kabinet Merah Putih dan lembaga-lembaga formal lainnya. Pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota juga memegang peran amat strategis selaku pengemban mandat formal rakuat yang telah mempercayakan mereka lewat proses politik pilkada.

Ketiga, Otonomi Khusus (Otsus) Papua menjadi ruang efektif memaksimalkan semua potensi, resources terutama pendanaan agar membangun daerah menuju meraih kesejahteraan rakyat. Di saat bersamaan, berbagai program pemerintah yang dibiayai APBN demi kemajuan tanah Papua sungguh menyentuh aspek mendasar masyarakat. 

Anggaran jumbo pusat pun mesti efektif bagi rakyat, tak perlu harus ‘kencing di tengah jalan’ oleh perilaku oknum elite yang bersekongkol demi meraup keuntungan lalu warga tanah Papua masuk dalam kubangan kemiskinan dan ketertinggalan di tengah kekayaan alam melimpah. Anggaran jumbo bagi rakyat tanah Papua idealnya tabu dikorupsi oleh elite tertentu demi memuaskan syahwat kekuasaan.

Di mata Dr Adriana Elisabeth dari Jaringan Damai Papua, buku lahir dan menginspirasi sang gembala (Socratez) mencermati dinamika Pilpres yang mengantar Prabowo ke kursi presiden. Adriana menyebut, Prabowo di mata Socratez adalah seorang pemimpin berbudi luhur dan jujur. Namun demikian, ujar Adriana, terdapat tantangan kemanusiaan yang dihadapi, termasuk bagaimana menyelesaikan konflik di Papua yang telah berlangsung selama 60 tahun.

“Persoalan-persoalan yang belum dapat diselesaikan seperti sudut pandang mengenai proses integrasi dan hasilnya dan kasus-kasus pelanggaran HAM sebagai dampak langsung dari konflik bersenjata menjadi hambatan dalam mewujudkan Papua tanah damai yang bebas dari kekerasan. Bukan hanya persoalan di masa lalu yang belum selesai, unresolved problems, masalah-masalah pembangunan Papua di bawah UU Otsus,” kata Adriana (bdk. hal. v). 

Aneka persoalan ini juga menjadi bagian tak terpisahkan dan menjadi seruan profetis gembala Socratez. Hemat saya, buku ini penting dibaca publik, terutama pemangku kepentingan formal, baik di pusat dan daerah guna menunggu kebijakan negara melalui pemimpinnya. 

Pun masyarakat, khususnya di tanah Papua —surga kecil (yang) jatuh ke bumi lewat Aku Papua penyanyi Franky Sahilatua— yang kerap bertabur konflik dan kekerasan lahir dari janji pemimpin yang absen menjadikan rakyat tanah Papua kiblat pengabdian kekuasaan formalnya. Konflik kerap lahir dari janji utopis dan miskin di level praksis. Hormat dibri. Wa wa wa……..

Ansel Deri

Sekretaris Papua Circle Institute,

Orang udik dari kampung

Judul Buku            : Prabowo dan Tantangan Penyelesaian Konflik Papua:

                                    Esai-esai Sejarah, Politik, Hak Asasi Manusia

Penulis                    : Dr Socratez Sofyan Yoman, MA

Pengantar               : Dr Adriana Elisabeth

Editor                      : Aletho

Rancang sampul   : Lintang

Penerbit                  : Pustaka Larasati, Jalan Tunggul Ametung IIIA/11B,

                                    Denpasar, Bali 80116

Cetakan                   : 2024

Tebal                        : xiv + 180 halaman

ISBN                        : 978-623-8161-92-8

Tinggalkan Komentar Anda :