Theodorus Kossay, SS, M.Hum: Jejak Pengabdian Anak Petani dari Lembah Baliem - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
Sosok  

Theodorus Kossay, SS, M.Hum: Jejak Pengabdian Anak Petani dari Lembah Baliem

Theodorus Kossay, SS, M.Hum. Sumber foto: bbc.com, 14 Februari 2024

Loading

Ia lahir dari sebuah keluarga petani sederhana di pedalaman lembah agung Provinsi Papua Pegunungan. Kedua orangtuanya buta huruf namun pekerja keras karena merindukan anak-anaknya berpendidikan. Kebun dan gereja jadi habitat pasutri ini. “Tuhan sungguh Ajaib. Buah doa dan kerja keras bapa mama saya nyata dalam keluarga besar kami,” ujar Theo.

THEODORUS Kossay, SS, M.Hum. lahir dan menghabiskan masa kecil di pedalaman kampung di Lembah Baliem, Provinsi Papua (kini, Papua Pegunungan) tempo doeloe dengan keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan kurang memadai. Kondisi itu bukanlah penghalang bagi sebagian anak asli bumi Cenderawasih, termasuk Theo bersama adik-adiknya.

Bagi Theo —sapaan akrab Theodorus Kossay— perlu kesadaran religi dan spirit membaja bila kelak ingin menjadi pribadi berguna di tengah masyarakat. Pendidikan adalah investasi dan garansi meraih cita-cita mengubah hidup di kemudian hari. Bukan sekadar mandiri dari aspek ekonomi, namun memiliki kematangan rohani, spiritual dan emosional yang seimbang.

Kekayaan alam melimpah kerap membuat sebagian anak kampung mengurungkan niatnya meraih cita-cita melalui pendidikan formal. Tuhan menganugerahkan kekayaan alam melimpah dan aneka budaya yang menyebar di hampir semua wilayah adat. Kekayaan alam melimpah itu dapat memenuhi kebutuhan harian keluarga-keluarga di Papua Pegunungan yang mayoritas berprofesi sebagai petani.

Apalagi ditopang dengan topografi daerah yang dikepung gunung, lereng,  lembah, sungai, ngarai terjal berpotensi menjegal cita-cita merengkuh hari esok yang cemerlang. Melangkah jauh meninggalkan kampung halaman ke Jayapura atau kota-kota lainnya di Indonesia kadang membuat rasa rindu kampung dominan. Namun, Theo mengambil jalan berbeda demi masa depannya.

Keluarga sederhana

Theo mengaku, ia lahir dari keluarga petani sederhana, yang ayah pertama menerima didikan pola menanam sayuran dan cetak batu batak oleh  misionaris (pastor/imam) Belanda tahun 1958-1960-an, pasangan Almarhum Kosmas Kossay dan Almarhumah Paulina Matuan, pada 1 September 1975 di Kampung Pikhe, Kabupaten Jayawijaya, Papua (kini Papua Pegunungan). Kehidupan kedua orangtua dan adik-adiknya laiknya kebanyakan anak-anak seusianya di pedalaman, dengan balutan alam pegunungan mempesona sejauh mata memandang.

Setiap hari ayah dan ibu Theo bertahan di kebun mengolah lahan milikinya guna menghidupi keluarga. Doa dan kerja keras menjadi hal utama keluarga besarnya. Meski berpendidikan terbatas, orangtua Theo selalu merindukan anak-anak mereka mengenyam pendidikan memadai bahkan sampai perguruan tinggi.

Sesekali ayah dan ibunya menitip pesan. Su hano hak isugun dek, sekolah hano hagakep halok nit su hanohak isugun, nit su libilik welago yoma hit hasik. Artinya, kami tidak berpakaian bagus, kamu sukses sekolah dulu kemudian kami berpakaian bagus. Kami tetap berpakaian yang sobek.

“Hal utama yang kami syukuri dari ayah dan ibu adalah didikan misionaris, kuat doa dan aktif di gereja dan pekerja keras. Ayah dan ibu tidak pernah sekolah, mereka masih buta aksara. Pekerjaan mereka bertani ubi, sayur, kedelai, dan lain. Tuhan sungguh Ajaib. Ayah dan ibu punya kehidupan religi yang baik,” ujar Theo kepada Odiyaiwuu.com usai mengikuti sebuah kegiatan di Jakarta beberapa waktu lalu.

Theo mengaku, ia selalu ingat nasihat ayahnya. Jimeke timeke hano hak welagarek agatma, sekolah uanagan, he hanohak, hipiri hanohak, oto, anewu walok halok, sabokogon agatma welagarek. Artinya, semua kekayaan atau harta benda semua yang kamu inginkan ada di dalam tanah, ingin sekolah tinggi, suka perempuan cantik, makanan yang banyak, ingin mobil atau pesawat semuanya ada dalam tanah. Ayah mengajarkan jika kerja keras, pasti mendatangkan banyak uang, dan dengan uang kita bisa mendapatkan apa yang kita harapkan.

Theo menambahkan, kegiatan sosial dan kehidupan keagamaan, menggereja kedua orangtua tak pernah lepas dalam keluarga. Sosok ayah dan ibunya mengajarkan makna, arti doa dan kerja keras, dan tanggung jawab. Keduanya mengajarkan Theo bersama adik-adiknya untuk memahami, mengerti dengan sungguh mana yang baik dan mana yang buruk bagi anak-anaknya.

“Berada di kebun, bekerja menguras keringat lalu tak lama berada di gereja kedua orangtua sungguh menjadi inspirasi bagi kami anak-anaknya. Ayah dan ibu menerapkan disiplin ketat, mengajarkan kami tentang arti pendidikan bagi masa depan kami. Keduanya menanamkan teladan dan nilai-nilai hidup seperti berperilaku sopan, cinta damai antara anggota keluarga dan sesama,” kata Theo.

Tiga pesan terakhir sebelum kedua orang tua meninggal yang sampai saat ini mereka praktekkan dalam organisasi atau lembaga tempat mereka kerja. Akhuni hinakmurogon dogono (kamu harus mencintai dan menghormati setiap manusia/orang). Akhuni inaisak inameke wanubuk (jangan mengambil hak milik orang lain). Kemudian, hinelikenat lakhano (kamu lihat saja hak milik orang itu). Lalu, hagarumi hinom yakhusep (kamu jangan bertengkar dengan saudara-saudaramu atau adik-adikmu).

Selain itu, bila kelak berada di tengah masyarakat wajib hukumnya memperjuangkan nilai-nilai keadilan warisan kedua orangtua. Nilai-nilai hidup itu, diakui Theo kelak menjadi panduan bagi adik-adiknya saat melangkah lebih jauh dalam tugas di bidang pendidikan maupun tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan di tengah masyarakat di manapun mereka berada.

“Ayah dan ibu menginginkan kami anak-anaknya memegang teguh nilai-nilai tentang kebaikan. Pendidikan ibarat pelita yang menerangi lorong gelap. Namun, pendidikan bukan sekadar memegang selembar ijazah tanpa kapasitas dan kapabilitas personal yang baik. Belajar, belajar, dan belajar sambil berefleksi sangat dibutuhkan. Diskusi dengan rekan-rekan di manapun guna menambah pengetahuan adalah hal terpenting lainnya,” kata Theo.

Theo menceritakan, kedua orangtuanya punya prinsip, kalau mereka petani buta huruf maka anak-anaknya harus sukses menjadi manusia yang baik dan berguna bagi sesama. Pendidikan adalah investasi masa depan keluarga, masyarakat dan bangsa sehingga anak-anak harus sekolah. Melalui pendidikan yang baik, masa depan menjadi lebih baik. Itu petuah ayah dan ibu yang diakui selalu dipegang.

“Orangtua saya buta huruf. Mereka tidak sekolah. Namun, keduanya mengajarkan kami tentang arti hidup bersama dan kerjasama dengan orang lain. Kami disodorkan analogi tentang honai, rumah. Sebuah honai bisa berdiri kokoh karena saling menopang antara pondasi, tiang, dan dinding serta atap,” ujarnya.

Theo menambahkan, melalui tali-tali honai yang menghubungkan dan mengaitkan antara satu dengan yang lain, sebuah honai, rumah berdiri kokoh. Hidup manusia juga saling kerja sama, saling menopang, membantu, komunikasi, saling memberi, dan sebagainya.

Jejak inspiratif

Theo menceritakan, ia menyelesaikan pendidikan dasar di SD Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) Bunda Maria Pikhe, kampung halamannya tahun 1989. Theo kemudian masuk SMP YPPK Santo Thomas Wamena, Kabupaten Jayawijaya hingga tamat tahun 1992. Semangat meraih pendidikan ke jenjang lebih tinggi membara. Ia lalu lanjut di SMA YPPK Teruna Bhakti Waena, Jayapura hingga lulus tahun 1995.

“Saya kemudian masuk kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi, STFT Fajar Timur Abepura tahun 1995-2000 hingga lulus. Saat itu, saya berniat menjadi pastor namun cita-cita saya tak kesampaian, kandas. Usai lulus STFT Fajar Timur, tahun 2000 saya mengajar di SMP dan SMA Negeri 1 Abmisibil, Kabupaten Pegunungan Bintang,” ujar Theo.

Profesi guru segera ditinggalkan lalu Theo menuju kota pelajar Yogyakarta. Tahun 2001-2002 Theo bekerja sebagai relawan, volunteer di USC Satunama, Sleman. Tahun 2001-2007 Theo bergabung dengan Yayasan Binterbusih Semarang mendidik dan membina mental spiritualitas mahasiswa dan mahasiswi anak-anak Papua yang mengenyam pendidikan di Jawa dan Bali.

Dari pekerjaan ini Theo sedikit demi sedikit kumpul uang lalu tahun 2004-2007 ia masuk fakultas Ilmu Budaya, jurusan Antropologi Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tahun 2001-2004  mengemban tugas Pembina Asrama Pelajar Amungme Kamoro yang dikelola Yayasan Binterbusih Semarang, Jawa Tengah.

Jiwa dan semangat kerja yang ditanamkan kedua orangtua saat masih kecil di Lembah Baliem adalah modal utama seorang Theo saat berada di kota studi Yogyakarta. Saat tinggal di kota itu kurun waktu 2004-2007, Theo terlibat dalam berbagai aktivitas pendidikan, sosial kemasyarakatan seperti menjadi tim fasilitator pelatihan kepemimpinan (leadership), pendampingan bagi mahasiswa dan pelajar yang sedang kuliah baik di Jawa maupun Bali.

“Nilai-nilai kerja keras, pantang menyerah orangtua selalu saya pegang teguh. Kata orang tua, orang yang berkebun dengan kerja keras, dia tidak akan lapar dan haus, dia tidak akan susah, tidak akan mengalami kesulitan. Di rumah ia punya rejeki berlimpah, bisa membantu atau memberi makan banyak orang. Itu nilai-nilai yang masih saya pegang kuliah atau aktif di tengah masyarakat,” ujar Theo.

Tak heran, usai merampungkan studi S2 di UGM, tahun 2008-2009 Theo bergabung dalam Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations Development Programme (UNDP) sebagai Pro Poor Planner Kabupaten Jayawijaya, Papua. Tak lama berselang, Theo terpilih menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jayawijaya periode 2008-2013.

Di sela-sela kesibukannya sebagai anggota KPU Kabupaten Jayawijaya, tahun 2008-2018 Theo juga menjadi staf dosen, pengajar di STFT Fajar Timur, USTJ Jayapura, STPK Waena, dan ISBI Tanah Papua. Tahun 2008-2014 bergabung dengan asosiasi fasilitator perencanaan pembangunan partisipatif (AFP3) di Jayapura untuk menyusun RPJM, RKPK, APBK dan Peraturan Kampung (Perkam) di Kabupaten Jayapura, Keerom, Jayawijaya, Pegunungan Bintang dan Mimika.

“Tahun 2010-2016 saya terlibat di LSPK bersama Samdhana dan YBAW melakukan pemetaan wilayah adat dan potensi sumber daya alam dan sumber daya sosial 17 wilayah adat Kabupaten Jayawijaya. Kemudian tahun 2018-2021 terpilih menjadi anggota KPU Provinsi Papua sekaligus dipercaya sebagai ketua. Kemudian sejak Desember 2022-2023 menjadi anggota KPU Provinsi Papua Pegunungan sekaligus Koordinator Wilayah KPU RI,” ujar Theo.

Theo mengaku, melalui proses pendidikan dan pengalaman yang dilalui dan berkat doa, nasehat serta dukungan kedua orang tua serta saudara dan saudarinya, ia leluasa melakukan banyak hal baik bukan hanya untuk tanah Papua tetapi juga Indonesia. Baginya, menabur semakin banyak kebaikan semakin banyak pula ia menyadari bahwa Tuhan sungguh baik bagi kedua orang tua serta keluarga besarnya semasa masih kecil hingga mandiri. Tradisi intelektual serta integritas diri tak diabaikan begitu saja.

“Dalam kesibukan apapun saya selalu sempatkan diri membaca serta menulis dan berefleksi tentang kehidupan yang terus berubah. Doa dan nasehat orangtua selalu saya pegang. Saya sungguh bersyukur kepada Tuhan, selama ini saya mampu menulis sejumlah buku referensi penting. Bukan hanya soal masalah sosial budaya namun juga praktik penyelenggaraan Pemilu. Melalui buku-buku karya saya ini, saya berniat agar masyarakat pembaca terutama di tanah Papua tercerahkan,” ujar Theo.

Sejak 2005 hingga saat ini Theo mengaku merampungkan berbagai hasil riset dalam bentuk buku. Buku-buku itu antara lain Miras Mengancam Kehidupan Orang Papua (2010), Kehidupan Anak-Anak Becak di Kota Wamena (2012), Etnografi Suku Bangsa Elseng (2013), dan Pembangunan Model Kampung Adat Kabupaten Jayapura: Reformasi Paradigma dan Perspektif untuk Kebijakan Pemerintah Berbasis Kebudayaan (2012).

Kemudian Sistem Noken, Demokratiskah? (2013), Gaya Hidup Orang Papua di Kota Yogyakarta (2019), Lilin Emas Telah Menyala Selama 56 Tahun (2020), Adopsi Sirekap Inovasi KPU (2021), Pentakosta Dimaknai Lahirnya Gereja dan Inkulturasi (2022), Pemungutan Suara Sistem Noken/Ikat: Proteksi, Pragmatisme Pemilih Pegunungan, Evaluasi dan Perbaikan Pemilu Sistem Noken/Ikat 2024 (2022), Penyelenggara Pemilu di Daerah (2023), Kisah Cinta Perempuan Bule Dengan Kepala Suku Dani di Lembah Baliem (2024, dalam proses cetak); dan masih banyak hasil penelitian dan tulisan lain yang belum dipublikasikan.

“Saya sungguh menyadari, karya-karya saya ini rampung hanya karena kasih dan kemurahan Tuhan. Nilai-nilai yang diwariskan kedua orangtua sungguh kami pegang teguh. Seorang adik saya, Dr Methodius Kossay, SH, M.Hum, yang saya bimbing sejak masih SD di kampung dan lanjut SD di Jawa akhirnya meraih kualifikasi akademik tertinggi. Semua aini sungguh berkat Tuhan bagi kami. Kami membuktikan bahwa sekalipun orang tua kami buta huruf, namun anak-anaknya bisa sekolah dan kuliah. Kami hanya punya semangat. Selebihnya, Tuhan yang menambahkan,” ujar Theo. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)

Theodorus Kossay, SS, M.Hum

Lahir               : Pikhe, 1 September 1975

Pekerjaan      : Swasta

Istri                 : Klara Yokal Herlina Hisage

Anak-anak    : Febianti, Roy, Hano, Elalin

Orangtua       : Kosmas Kossay (Alm) dan Paulina Matuan (Almarhumah)

Pendidikan 

  • SD YPPK Bunda Maria Pikhe, Wamena tahun 1989
  • SMP YPPK Santo Thomas Aquino Wamena tahun 1992
  • SMU YPPK Teruna Bhakti Waena Jayapura tahun 1995
  • S1 STFT Fajar Timur Abepura Jayapura, 2000
  • S-2 Antropologi UGM Yogyakarta, 2007

Organisasi

  • Koordinator dan pembina Mahasiswa/I Jawa-Bali Yayasan Binterbusih Semarang, 2002-2007
  • Anggota Komisi Kerawam Keuskupan Jayapura, 2016-2018
  • Keterlibatan organisasi Kampus (USTJ, STPK, STFT dan ISBI Papua) 2008-2018
  • Aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (Binterbusi, LSPK, AFP3) 2001-2018
  • Ikatan Cendekiawan Awam Katolik Papua, 2016-2019
  • Komunitas Cendekiawan Alumni Jawa Bali Papua, 2017-2020
  • Dewan Pengawas PMKRI Wilayah Papua, 2003-2015
  • Penasehat Pemuda Katolik Komda Jayapura, 2012-2015
  • Pembina Himpunan Mahasiswa Pelajar Jayawijaya (HMPJ). 2008-2012
  • Pembina Ikatan Pelajar Mahasiswa Pegunungan Bintang, 2010
  • Ketua KPU Provinsi Papua tahun 2018-2023
  • Koordinator KPU Papua Pegunungan dan Anggota Koordinator Provinsi Papua Tengah tahun 2022-2023
  • Anggota KPU Provinsi Papua Pegunungan periode 2023-2028

Buku-buku

  • Miras Mengancam Kehidupan Orang Papua (2010)
  • Kehidupan Anak-Anak Becak di Kota Wamena (2012)
  • Etnografi Suku Bangsa Elseng (2013)
  • Pembangunan Model Kampung Adat Kabupaten Jayapura: Reformasi, Paradigma, dan Perspektif untuk Kebijakan Pemerintah Berbasis Kebudayaan (2012)
  • Sistem Noken, Demokratiskah? (2013)
  • Gaya Hidup Orang Papua di Kota Yogyakarta (2019)
  • Lilin Emas Telah Menyala Selama 56 Tahun (2020)
  • Adopsi Sirekap Inovasi KPU (2021)
  • Pentakosta Dimaknai Lahirnya Gereja dan Inkulturasi (2022)
  • Pemungutan Suara Sistem Noken/Ikat: Proteksi, Pragmatisme Pemilih Pegunungan, Evaluasi dan Perbaikan Pemilu Sistem Noken/Ikat 2024 (2022)
  • Penyelenggara Pemilu di Daerah (segera terbit 2024)
  • Kisah Cinta Perempuan Bule Dengan Obaharok, Kepala Suku Dani Lembah Baliem (segera terbit 2024)

Tinggalkan Komentar Anda :