Bayi itu baru berusia tiga hari. Ditaruh dalam noken lalu dibawa sang bunda berjalan kaki selama seminggu menerobos hutan belantara, naik-turun gunung dan lembah dari Kuyawage, kampung Agandugume masuk Sinak menuju Mulia, Puncak Jaya (saat ini). Sang ayah rela meninggalkan istri dan bayi yang baru berusia tiga hari demi mewartakan Injil.
PENGALAMAN itu tak pernah tanggal dalam benak Timotius Murib mengenang masa kecilnya saat ayah dan ibu terkasih mengabdi di pedalaman tanah Papua. Sejak Carl Wilhelm Ottow asal Belanda dan Johan Gottlob Geissler asal Jerman, membawa Injil pertama kali ke bumi Cenderawasih melalui Pulau Mansinam, tanah Papua tahun 1855.
Setelah tahun 1855 atau hampir 169 tahun sesudahnya, Badan Misi WFM dan APCM melalui misionaris dari Amerika, Australia, dan Kanada melanjutkan Misi penginjilan di pedalaman bumi Cenderawasih tahun 1958 di wilayah Yamo, Puncak Jaya.
Sejak karya Misi mulai menyebar di wilayah pedalaman tanah Papua seperti masyarakat suku Mee, Dani, dan lain-lain, kedua orangtua Timotius, Gemende Murib dan Komonugwe Wanimbo, adalah remaja asli yang direkrut misionaris menjadi pembantu di kamp-kamp misionaris.
“Saat itu, orangtua saya direkrut menjadi pembantu misionaris asing yang mewartakan Injil di wilayah Yamo- Kota Mulia, tepatnya di Puncak Jaya. Orangtua saya mengabdi selama kurang lebih empat tahun. Tak lama berselang, para misionaris mulai membangun sekolah Alkitab (zending) bahasa daerah di Ilu, perbatasan Puncak Jaya dan Kabupaten Tolikara. Namun, hanya bertahan satu tahun dan dua bulan, gedung zending dibongkar lalu bahan-bahannya dibawa ke Mulia,” ujar Timotius Murib kepada Odiyaiwuu.com pekan pertama Juli lalu.
Jadi pembantu
Sejak misionaris menyebarkan Injil di daerah pedalaman Papua, Timo —sapaan akrab Timotius Murib— mengaku, kedua orangtuanya, Gemende Murib dan Komonugwe Wenimbo adalah remaja asli Papua kala itu yang direkrut para misionaris untuk membantu di kamp-kamp misionaris.
“Sejak itu, para misionaris membangun sekolah zending di Distrik Ilu, Kabupaten Puncak Jaya. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Tolikara. Namun, tak lama kurang lebih setahun empat bulan sekolah zending itu dibongkar. Jadi, balok, papan, paku, dan lain-lain dibawa ke Dusun Girire, kampung Muliambut di Mulia, lalu dibangun sekolah zending di sana. Kedua orang tua dinikahkan oleh misionaris di Mulia,” kata Timo.
Timo mengaku, kedua orang tua terkasih juga menjadi siswa sekolah Alkitab dan penginjilan pertama di Mulia yang dikelola Gereja Injili di Irian Jaya Barat (GIIB) saat itu. Namun, setelah Belanda meninggalkan Indonesia, Gereja Injili di Indonesia (GIDI) masuk Papua hingga saat ini. Jadi GIDI ini lahir dan besar di tanah Papua. Berbeda dengan denominasi gereja lain yang lahir dan besar di luar negeri kemudian masuk mewartakan Injil di tanah Papua. GIDI, ujar Timo, adalah gereja pribumi.
“Sejak itu, setelah bapa dan mama selesai sekolah Alkitab di Mulia keduanya jadi penginjil pertama. Tempat pelayanan pertama di kampung Wupaga di Ilu. Kemudian diutus lagi ke kampung Mewoluk, kini Distrik Mewoluk. Jadi, remaja-remaja asli Papua kala itu meski buta aksara juga diajarkan sampai mampu baca dan tulis lalu masuk sekolah Alkitab di Mulia setingkat SD atau SMP, Jadi, kedua orangtua saya adalah lulusan sekolah Alkitab di Mulia,” kata Timo.
Usai merampungkan studi Alkitab orang tuanya berangkat menuju Kuyawage, tapal batas Tiom, kota Kabupaten Lanny Jaya dengan Kabupaten Nduga. Kedua orangtua penginjil ini juga pernah diutus ke daerah salju di perbatasan Ilaga, Mulia dan Ilu namun hanya bertahan sekitar empat hingga lima bulan. Tempat Misi kedua orangtuanya mengabdi dalam durasi waktu lama yaitu di Kuyawage (sekarang Kabupaten Lanny Jaya).
“Saya lahir di Kampung Mume, Kuyawage tanggal 30 Mei 1972. Namun, baru berusia tiga hari bapa saya terbang ke Mulia meninggalkan kami. Kemudian bapa melanjutkan perjalanan udara ke Mamberamo untuk menunaikan tugasnya sebagai penginjil. Saat itu, di Mamberamo belum ada orang. Bapa saya dengan beberapa teman mendarat dengan pesawat misionaris di kampung Gueri, sekitar sungai Vandalen di Mamberamo dan berbaur di tengah sebagian manusia kanibal,” ujar Timo.
Jalan kaki seminggu
Panggilan tugas mulia Gemende menjadi guru penginjil di Mamberamo membuat bocah Timo yang baru berusia tiga hari diasuh sang bunda, Komonugwe dan ditemani kakak pertama dan kedua Timo. Selama empat bulan lebih di Mamberamo tak ada komunikasi melalui perangkat teknologi. Satu-satunya hanya melalui informasi lisan penginjil yang pulang-pergi berjalan kaki dari Mulia-Mamberamo sekitar lima hari.
“Saat baru berusia dua bulan saya terserang penyakit cacar. Saya kemudian diisi mama dalam nokennya lalu berjalan kaki dari Kuyawage lewat Agandugume menuju Sinak kemudian ke Mulia, Puncak Jaya selama satu minggu lebih. Mama bawa saya melewati salju, tanah berlumut bertabur kerikil tajam. Kalau sudah malam di tengah hutan dan salju, mama masuk gua lalu istirahat dan tidur dulu. Kalau sudah pagi, mama pikul saya di noken lalu jalan kaki lagi hingga tiba di Mulia,” kata Timo.
Tiba di RS Imanuel Mulia, milik misionaris bocah Timo kemudian dirawat dan diberi obat oleh petugas kesehatan. Khawatir sang anak terserang cacar lagi, Komonugwe memutuskan tidak kembali ke Kuyawage dan menetap di Mulia. Koper pakaian penginjil Gemende dan Komonugwe di Kuyawage kemudian diminta bantuan orang yang naik pesawat ke Kuyawage untuk dibawa ke Mulia. Barang-barang lain dan ternak piaraan ditinggalkan untuk warga setempat.
Tak lama, kata Timo, sang ibu diminta misionaris menyusul suaminya ke Mamberamo sebagai ibu rumah tangga sekaligus menjadi guru sekolah Minggu dan mengajar anak-anak yang belum tahu baca tulis, menjahit, cara bercocok tanam, dan lain-lain.
“Saat di Mamberamo, orang tua tinggal di rumah beratap daun sagu ala kadarnya di tengah hutan. Setiap hari kami makan sagu bakar. Jadi kami naik pesawat dari Mulia ke Mamberamo. Di Mamberamo kami tidak sekolah karena tidak ada gedung sekolah. Namun, saat pemerintah mulai bangun SD Inpres di Mamberamo tahun 1977 tidak ada guru. Dari Mulia ke Mamberamo pesawat hanya sekali dalam dua atau tiga bulan. Jadi, anak-anak usia sekolah tak bisa sekolah, termasuk saya. Kata mama saya, dia hampir meninggal akibat makan jantung pohon pinang beracun karena saat itu tidak ada makanan yang bisa dikonsumsi,” kata Timo.
Jasa baik pilot
Timo menceritakan, suatu waktu sebuah pesawat dari Mulia mendarat di Lapangan Terbang Fawi. tak jauh dari tempat tinggal mereka di Mamberamo. Pesawat itu membawa obat-obatan misionaris untuk melayani masyarakat yang tinggal di Mamberamo. Saat Timo sedang mandi bersama teman-teman sebayanya di sungai ia hanya mengenakan celana menuju tempat pendaratan pesawat.
Sejenak, ia melihat pesawat kemudian lari ke rumahnya. Di dapur Timo melihat sagu yang digantung orang tuanya di atas perapian dapur. Melihat sagu itu, bocah Timo kemudian mengambil kayu kemudian diarahkan ke atap lalu naik mengambil sagu dalam bungkusan. Tak lama ia ambil sagu lalu gendong sambil berlari ke tempat pendaratan pesawat. Di dekat badan pesawat ada dua gembala yang lagi turunkan obat-obatan dari lambung pesawat.
“Saya kemudian putar arah kiri lalu diam-diam masuk dalam pesawat. Saya diam-diam menutup diri dalam pesawat dengan jaring. Saat pesawat mau berangkat, pilot kaget lihat saya berada dalam pesawat tertutup jaring. Saya ditanya pilot mau ke mana, lalu saya jawab mau ke Mulia untuk sekolah. Pilot akhirnya beritahu dua gembala itu biarkan saya ke Mulia kalau berniat sekolah. Orang-orang di sekitar pesawat mau tarik saya keluar tapi pilot ijinkan karena alasan saya mau sekolah. Tuhan sungguh baik lewat pilot ini,” kata Timo.
Menurut Timo, saat hendak disuruh turun dari pesawat ia mengaku menangis histeris karena ingin sekolah di Mulia. Kalau bertahan di Mamberamo tak ada jaminan mendapat pelajaran karena SD Inpres yang dibangun pemerintah tidak ada guru yang mau mengajar di sana. Pilot itu, ujar Timo, sangat baik. Bahkan sang pilot menyampaikan bahwa pesawat beberapa hari ke depan akan kembali ke Mamberamo untuk membawa obat-obatan.
“Saat di pesawat saya ditanya di Mulia nanti tinggal di mana kalau mau sekolah. Saya beritahu bahwa ada Pa guru Boy Sayori. Saya ingin tinggal dengan beliau karena sudah berniat melanjutkan sekolah. Saat usia kelas 3 SD di Mulia, saya belum bisa baca dan tulis. Saat dibagi sepotong kertas oleh Pak guru Boy Sayori, saya mulai belajar tulis abjad. Lama-lama saya bisa tulis ‘Ini Budi’, ‘Ini Wati’, dan seterusnya. Saya beruntung karena masih ingat dan mendengar langsung saat mama ngajar sekolah minggu di Mamberamo,” ujar Timo sambil tertawa.
Setelah pelajaran berakhir, hasil tulisan Timo diserahkan ke Pak Boy Sayori dan isterinya yang jadi guru di SD Negeri Mulia. Timo mengaku, saat masih kecil ibunya sering mengajar baca dan tulis kepada anak-anaknya. Bahkan tulisan Timo diakui gurunya itu mengalahkan para siswa kelas V dan VI.
Selama di kelas III SD Negeri Mulia, ia mengaku sangat betah. Suasana belajar saat itu diakuinya menyenangkan dan kedua pasutri guru itu memperlakukan sebagai anak sendiri. Apalagi, saat di sekolah selalu dipuji kedua guru itu sebagai murid yang pintar karena sudah lancar menulis dan membaca.
Lanjutkan sekolah
Usai menyelesaikan sekolah di SD Negeri Mulia pada Mei 1983. Timo mengaku, tak lama Boy Sayori ditunjuk pemerintah menjadi kepala sekolah di SMP Pemda Mulia, Kecamatan Mulia, Kabupaten Paniai, Papua. Kemudian, Timo lalu masuk SMP Pemda di Mulia sekaligus diangkat teman-temannya sebagai ketua kelas I B. Saat itu, ujar Timo, Kecamatan Mulia, Ilu, Sinak, Ilaga, dan Beoga masuk Kabupaten Paniai.
“Setelah tiga bulan pada Mei 1983, sekolah langsung masuk hari libur. Saat itu, kakak dari Pa Boy juga guru di Siriwo. Kakak Pa Boy hendak liburan ke Mulia. Saat itu, kata Pa Boy ke saya, ‘ko tara usa sekolah di sini (Mulia) lagi. Ko ikut bapa tua sekolah di pante (Nabire)’. Padahal, saya baru sekolah tiga bulan. Lalu, saya dan kakak Pa Boy naik pesawat hari Jumat pagi dari Mulia ke Nabire. Saya kemudian masuk SMP Negeri Napan Wainami, arah timur Nabire,” ujar Timo.
Timo mengaku, ia memiliki cita-cita meraih sukses meski alam pegunungan Papua sangat menantang. Ia kemudian menyelesaikan sekolah menengah di Nabire tahun 1988. Tak lama, ia kemudian masuk SMA Negeri Nabire tetapi akibat sakit selama seminggu saat masuk ia dikeluarkan dari sekolah. Selama setahun, Timo mengaku nganggur lalu tahun 1991 masuk SMA Yapis Nabire dan tamat 1993 lalu sempat nganggur selama setahun jadi buruh bangunan dan penjual sayur mayur.
Keterampilan bermain gitar saat di Nabire membuat Timo dikenal di dalam persekutuan gereja GIDI Jemaat Sion, Karang Mulia di Nabire. Saat itu, ada pertemuan pemuda GIDI Jemaat Sion untuk memilih pengurus. Ia kemudian didaulat jadi ketua seksi kesenian. Kematangan dalam organisasi pemuda, akhirnya Timo didaulat sebagai ketua pemuda setelah ketua lama melanjutkan kuliah di Jawa.
“Sejak tamat SMA saya berniat kuliah karena bercita-cita jadi guru. Tapi, kedua orang tua malah mengarahkan saya agar sekolah Alkitab di Batu, Malang, Jawa Timur. Namun, saat hendak menyiapkan persyaratan terutama rekomendasi Ketua Klasis Mulia, saya ditolak karena menganggap saya tergolong anak kepala batu atau keras kepala. Kalau selesai kuliah, ada kekhawatiran bisa melawan gembala. Jadi keputusan ketua klasis, saya tidak disekolahkan. Bahkan para misionaris tawarkan saya agar kuliah di Australia namun ketua klasis tetap saja tidak bisa memberikan rekomendasi kepada saya dengan alasan belum mencapai usia dewasa,” ujar Timo.
Saat menganggur Timo mengenal gadis pilihannya. Keduanya menuju Paniai karena seorang kerabatnya bekerja di perusahaan. Ia berharap agar melalui kerabat gadis pilihannya, dapat bekerja di Paniai dengan harapan dapat melanjutkan kuliah. Tahun 1994, ia mengaku tinggal di daerah transmigrasi Desa Wami, Distrik Yauw, Nabire Barat selama dua tahun, 1994-1995. Sebelumnya, Timo mengaku terpilih sebagai Kepala Desa Wami. Hampir seluruh warga Wami adalah warga transmigrasi dari luar Papua dan hanya tujuh keluarga orang asli Papua.
“Saat pemilihan mayoritas warga memilih saya sebagai kepala desa. Termasuk warga lokal terutama Dani dan Mee. Saat malam-malam didatangi aparat kecamatan untuk mengantar seragam lengkap dan meminta saya bersiap-siap untuk dilantik hari Senin mendatang sebagai kepala desa. Malam-malam aparat kecamatan pake lampu lentera menjaga saya mencoba pakaian kepala desa. Tiba-tiba saya pikir, bagaimana saya bisa mampu beri sambutan di podium? Setelah petugas pergi, saya kemudian ambil uang isteri di dompet 30 ribu rupiah. Saya cari ojek di tetangga dan berangkat ke Nabire tanpa sepengetahuan isteri dan tiba jam satu dini hari. Saya memutuskan tidak jadi dilantik,” ujarnya sembari tertawa.
Timo kemudian berangkat ke Mamberamo. Ia setia membantu ayahnya mengurus ternak babi di kandang. Tak lama, ada pemilihan Koordinator Pemuda GIDI Klasis Mamberamo, yang membawahi 22 gereja. Selama dua bulan menjabat koordinator, ia membuat aneka kegiatan untuk menyemarakkan suasana klasis dan mendorong anak-anak muda terlibat dalam organisasi sosial keagamaan di Mamberamo.
“Selang beberapa waktu ada sidang Klasis GIDI di Mulia dan saya diminta menjadi koordinator rombongan delegasi dari Mamberamo mengikuti sidang klasis di Mulia selama seminggu. Ke Mulia saya atur rombongan sekali penerbangan dari Mamberamo. Saat mau balik ke Mamberamo saya diberitahu kalau ada penerimaan DPRD Puncak mewakili daerah Fawi ada satu kursi. Saya beritahu rombongan dari Mamberamo, kalau nanti saya pulang belakangan. Lalu saya dengan seorang kerabat ke Kantor Distrik Mulia dan saya lihat ada jatah satu kursi untuk daerah Fawi, tempat tugas ayah saya. Saya akhirnya jadi anggota DPRD PDIP Puncak Jaya pertama Pemilu 1999,” katanya.
Timo menceritakan, ia menjadi anggota DPRD Puncak Jaya termuda sekaligus Ketua Fraksi PDIP periode 1999-2004. Kemudian tahun 2004-2009 ia terpilih kembali menjadi Ketua DPRD Puncak Jaya dari Partai Bulan Bintang. Saat menjabat Ketua DPRD Puncak Jaya, Lukas Enembe menjabat Bupati Puncak Jaya.
“Saya kemudian terpilih menjadi anggota MRP dan sempat menjadi wakil ketua hingga ketua. Jadi, saya menjadi anggota MRP selama dua periode. Perjalanan pengabdian kepada masyarakat dan daerah, mulai dari anggota DPRD hingga anggota MRP dua periode adalah kasih dan kemurahan Tuhan. Saya sungguh menyadari, meski berada di berbagai medan pengabdian orangtua yang begitu sulit, tapi Tuhan sungguh mendengar doa kami. Saya juga menyadari kalau berbakti dengan hati tulus kepada masyarakat dan daerah, Tuhan akan melihatnya dan memberikan tanda heran ke tanda heran lainnya,” kata Timo. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)
Timotius Murib
Lahir : Paniai, 30 Mei 1972
Agama : Protestan
Istri : Marike Nawipa
Anak-anak :
- Isak Sonni Samuel Murib
- Yully Sarah Murib
- Samgar Yosua Murib
Orangtua : Gemende Murib dan Komonugwe Wanimbo
Mertua : Samuel Nawipa dan Octavina Gobay
Alamat : Jalan Waena, Kelurahan Waena, Distrik Heram, Jayapura
Kewarganegaraan : Indonesia
Pendidikan
- SD Negeri Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, Papua Tengah tahun 1980-1985
- SMP Negeri 1 Nabire, Papua Tengah tahun 1983-1988
- SMA Yapis Nabire tahun 1990-1992
- Fakultas Hukum (FH) Universitas Cenderawasih, Jayapura
Karir Politik
- Ketua Fraksi PDIP DPRD Puncak Jaya tahun 2000-2004
- Ketua DPRD DPRD Puncak Jaya tahun 2004-2009
- Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) tahun 2011-2016
- Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) tahun 2017-2022
Pengalaman Organisasi
- Ketua Pemuda GIDI tahun 1990-1995
- Koordinator Pemuda GIDI Nabire tahun 1992-1993
- Sekretaris Partai Bulan Bintang Provinsi Papua Tengah tahun 2004-2006
- Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Papua Tengah tahun 2023-2028