Ballada Bintang Kejora
: Martinus Yohamme
Siapakah yang melaut itu, Ibu?
Mengapa dia tak takut hiu-hiu buas
yang haus meminum darah Ayah?
Bukankah hari ini langit mendung,
Ombak dan buih gelisah menerpa karang,
dan laut bergelora sepanjang malam?
Siapakah yang melaut itu, Ibu?
Doa seribu cendrawasih
teronggok di perahu kecilnya.
Dihadangnya hiu-hiu lapar.
Mimpi melihat Bintang Kejora
membakar jiwa dan merasuk sukmanya.
Dikayuhnya perahu menuju ke timur,
Menyongsong mimpi dan rindu dendamnya.
Siapakah yang melaut itu, Ibu?
Hiu-hiu buas menatapnya tanpa berkedip
dengan perut lapar dan taring berdarah.
Matahari terakhir menyiramkan
bara penghabisan ke tubuhnya yang lapar.
Dikayuhnya perahu menuju ke timur,
Menyongsong mimpi dan rindu dendamnya.
Siapakah yang melaut itu, Ibu?
Mengapa ombak tak memberinya jalan?
Ia tak pernah punya perhitungan
dengan laut, hiu, buih, dan karang.
Dikayuhnya perahu menuju ke timur,
Menyongsong mimpi dan rindu dendamnya.
Siapakah yang melaut itu, Ibu?
Hari sudah mulai malam,
Ia tak membawa lampu nelayan dan bekal,
Padahal sendirian di laut lepas.
Dikayuhnya perahu menuju ke timur,
Menyongsong mimpi dan rindu dendamnya.
Siapakah yang melaut itu, Ibu?
Digantungnya mimpi seribu cendrawasih di buritan.
Ombak dan hiu-hiu mengurung perahu kecilnya.
Seribu hiu dan seribu buih menyergapnya.
Pertarungan jelas tak berimbang.
Laut berubah merah.
Dia terbujur, terluka, dan berdarah.
Siapakah yang melaut itu, Ibu?
Perahunya tenggelam di pusaran hiu.
Sebelum laut membekap sukmanya,
lantang ia berteriak menunjuk ke timur,
“Ibu, telah kulihat Bintang Kejora.
Cahayanya terang di bumi hitam ini!”
Di bawah, laut merah menjadi teduh
dan berkaca Bintang Kejora.
Yogyakarta, 28 Agustus 2014
(Dari Antologi Puisi Ballada Orang-Orang Arfak, 2019)
Ballada Orang-Orang Arfak (1)
Orang-orang Arfak tak lagi bisa tertidur lelap,
sejak parau garuda mengusik mimpi-mimpi.
Cendrawasih yang turun bersama pelangi dari langit
tak lagi bisa menari dengan irama tifa purba.
Perempuan-perempuan Arfak terisak dalam duka.
Gunung-gunung roh yang dibalut awan sutra putih,
disingkap dengan api empat penjuru mata angin.
Bumi yang dipijak tak lagi menjadi karib yang setia.
Orang-orang Arfak bangkit mengasah panah,
ketika tangisan dari kawah membuncah.
Di pelaminan, garuda dan cendrawasih
bakal melahirkan kutuk bagi bumi purba.
Orang-orang Arfak menghitung harga dirinya,
ketika sekalian orang tidur dan bermimpi.
Anak cucu bakal menjadi pengemis di tanah leluhur
di puncak gunung bersalju, rajawali cemas menanti.
Orang-orang Arfak membuka jalan setapak,
menuju puncak bersalju dan hamparan mimpi.
Tangisan ibu yang kehilangan sanak menusuk peraan.
Makam-makam tak bertanda semakin banyak.
Orang-orang Arfak bangkit menghalau garuda,
yang mematuk awan dan bukit-bukit.
Tanah leluhur purba mereka jelajahi:
Manokwari, Enarotali, Biak, dan Mimika.
Orang-orang Arfak terus berjalan di kelam malam
di belakangnya, darah dan air mata mengikutinya.
Apalagi yang mereka tunggu, selain terang bintang kejora!
Mengapa malam yang kelam panjang tak berujung?
Orang-orang Arfak bangkit menolak malam.
Di atas puncak bukit yang jauh,
merekakah yang pertama mendaraskan mazmur,
menunggu terbitnya bintang kejora.
Yogyakarta, 16 Desember 2015
(Dari Antologi Puisi Ballada Orang-Orang Arfak, 2019)
Ballada Orang-Orang Arfak (2)
Sebagian mereka tulang belulang yang tak bisa tertidur lelap.
Di kota perbatasan, seorang bidadari melukis pelangi.
Seorang lagi mengubur bangkai janin yang letih.
Orang-orang Arfak menari-nari di sekeliling beringin,
menatap tanpa berkedip ke bola mata musuh.
Mereka menuding ke langit dan menghentak bumi.
Sebagian mereka menyimpan air mata dan dendam di dada.
Di tepi hutan, para pemuda melepas ribuan cendrawasih,
dan para gadis menyulamkan warna pada sayap dan lehernya.
Orang-orang Arfak menari dengan sepenuh jiwa.
Mereka melengkingkan doa dalam tangisan.
Mereka merindukan purnama yang lama tak datang.
Sebagian mereka mengenakan rumbai dan koteka.
Sebagian yang lain memakai sepatu dan dasi yang pucat.
Kanak-kanak bermimpi merengkuh sepuluh bidadari.
Orang-orang Arfak berduka dalam gemuruh badai.
Mereka berkisah tentang ombak lautan yang lama tertidur.
Mereka tergetar dalam mimpi tentang bintang kejora.
Sebagian mereka tenggelam dalam malam putus asa.
Di kota perbatasan, seekor cendrawasih menarikan fajar,
seekor lagi mematuk-matuk bola mata musuhnya.
Orang-orang Arfak kini terjaga dari tidur panjang.
Mereka mengumandangkan nyanyian perang.
Mereka memukul-mukul tifa dan menegakkan tombak.
Yogyakarta, 3 Maret 2017
Yoseph Yapi Taum lahir di Ataili, Lembata, NTT, 16 Desember 1964. Telah menerbitkan tiga antologi puisi tunggal, yakni (1) Ballada Arakian: Kumpulan Puisi, Yogyakarta: Penerbit Lamalera (2015); (2) Ballada Orang-Orang Arfak: Antologi Puisi, Yogyakarta: Sanata Dharma University Press (2019); dan (3) Kabar dari Kampung: Sebuah Antologi Puisi (2023), Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.