TPN OPM di Ujung Pisau Sejarah - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

TPN OPM di Ujung Pisau Sejarah

Roberthino Hanebora, Sekretaris Umum Suku Yerisiam Gua, Nabire, Papua Tengah. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Roberthino Hanebora

Sekretaris Umum Suku Yerisiam Gua, Nabire, Papua Tengah

TANGGAL 1 Juli kembali datang seperti sebuah ritual politik yang tak pernah padam bagi rakyat Papua. Tanggal 1 Juli 1971 menjadi saksi sebuah deklarasi besar dari Seth Jafet Rumkorem bersama Jacob Hendrik Prai di Markas Victoria, Richard Hans Joweni (Marvik), Jayapura.

Deklarasi yang memproklamirkan Republik Papua Barat sekaligus melahirkan Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM), sebuah ekspresi radikal terhadap ketidakadilan sejarah bernama Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang hingga kini terus diperdebatkan sebagai cacat prosedur demokrasi.

Markas Victoria tidak sekadar gambaran fisik melainkan simbol perlawanan yang menjadi saksi lahirnya identitas politik baru. Di sana pula, perlawanan politik bertemu dengan kekuatan militer. Namun sejarah mencatat, perjuangan bersenjata ini tidak pernah berjalan mulus.

Operasi Jayapura tahun 1976, misalnya, dengan jelas menunjukkan bahwa konflik ini tidak pernah sesederhana klaim resmi pemerintah yang hanya menyebut korban jiwa sedikit. Sebaliknya, data pihak OPM menegaskan ribuan nyawa jadi korban, termasuk warga sipil yang tidak pernah memilih terjebak di tengah konflik bersenjata.

Setelah lebih dari lima dekade, konflik bersenjata Papua masih berlangsung tanpa ujung. Data Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) menyebut, sejak 2010 hingga 2024 konflik Papua mengakibatkan lebih dari 500 aparat keamanan gugur, 160 pejuang OPM meninggal, dan ribuan warga sipil meregang nyawa serta pelanggaran HAM lainnya. 

Kegagalan Paripurna

Konflik terus menempatkan masyarakat sipil menjadi korban dari kedua pihak yang berseteru. Ini adalah situasi yang tidak hanya tragis tetapi menunjukkan kegagalan paripurna dalam tata kelola keamanan dan politik negara terhadap Papua.

Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) muncul pada 7 Desember 2014 menjadi harapan baru bagi perjuangan politik Papua di panggung internasional. ULMWP dipimpin Benny Wenda, eks tahanan politik yang berhasil menarik perhatian lewat diplomasi internasional.

Sayangnya, harapan itu perlahan-lahan mulai pudar. Dualisme internal dan keterbatasan diplomasi menjadikan ULMWP tak lagi efektif. Diplomasi internasional Papua kini hampir kehilangan taji. Sementara kekerasan terus berlanjut tanpa jalan keluar atau solusi nyata.

Hari ini, perjuangan Papua membutuhkan lebih dari sekadar seruan dialog yang kerap didorong oleh Jaringan Damai Papua (JDP) melalui tokoh lokal seperti Dr Benny Giay. Dialog memang esensial, tetapi realitas menunjukkan, dibutuhkan langkah konkret yang jauh lebih substantif dan mendalam.

Langkah berani melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi harus segera diwujudkan. Negara Indonesia wajib membuka pintu yang selama ini tertutup rapat, memberikan pengakuan terhadap korban pelanggaran HAM berat serta mendorong rekonsiliasi berbasis keadilan dan penghormatan terhadap korban. Proses ini harus melibatkan masyarakat adat Papua dan korban secara langsung agar kredibilitasnya tak dipertanyakan.

Revisi dan revitalisasi kebijakan otonomi khusus (otsus) Papua menjadi urgen. Otonomi ini harus diarahkan sepenuhnya kepada masyarakat adat bukan sekadar alat administrasi sentralistik tetapi alat politik substantif yang mampu memberikan kontrol langsung kepada masyarakat adat terhadap sumber daya alam (SDA) miliknya. Ini adalah jalan terbaik menuju keadilan ekonomi dan sosial.

Revitalisasi Diri

ULMWP harus merevitalisasi dirinya secara total, menyelesaikan dualisme internal dan menjadikan diplomasi internasional sebagai instrumen politik yang jelas dan terarah. Strategi diplomasi internasional ini harus berbasis HAM, lingkungan serta solidaritas antar bangsa Melanesia dan Pasifik, termasuk memperkuat Papua sebagai isu global yang relevan dan mendesak.

Paradigma keamanan di Papua harus diubah secara radikal. Pendekatan militeristik selama ini terbukti gagal, bahkan menjadi penyebab meningkatnya korban sipil. Negara harus berani beralih ke pendekatan keamanan non-militer, yang lebih humanis dan berorientasi pada rekonsiliasi komunitas, perdamaian lokal serta pemulihan trauma berkepanjangan.

Peringatan 54 tahun TPN OPM bukan sekadar urusan seremonial melainkan sebuah momentum refleksi mendalam. Apabila negara dan gerakan Papua merdeka terus terjebak dalam spiral kekerasan dan diplomasi yang buntu, yang terjadi hanyalah perpanjangan derita bagi rakyat sipil. 

Kini saatnya kita keluar dari lingkaran setan ini. Sudah waktunya keberanian dan kebijakan nyata diambil oleh semua pihak demi masa depan Papua yang adil, damai, dan bermartabat.

Tinggalkan Komentar Anda :