Ana Bunga
Oh kau Sayangku dua puluh tujuh indera
Kucinta kau
Aku ke kau ke kau aku
Akulah kauku kaulah ku ke kau
Kita ?
Biarlah antara kita saja
Siapa kau, perempuan tak terbilang
Kau
Kau ? – orang bilang kau – biarkan orang bilang
Orang tak tahu menara gereja menjulang
Kaki, kau pakaikan topi, engkau jalan
dengan kedua
tanganmu
Amboi! Rok birumu putih gratis melipat-lipat
Ana merah bunga aku cinta kau, dalam merahmu aku
cinta kau
Merah cintaku Ana Bunga, merah cintaku pada kau
Kau yang pada kau yang milikkau aku yang padaku
kau yang padaku
Kita?
Dalam dingin api mari kita bicara
Ana Bunga, Ana Merah Bunga, mereka bilang apa?
Sayembara :
Ana Bunga buahku
Merah Ana Bunga
Warna apa aku?
Biru warna rambut kuningmu
Merah warna dalam buah hijaumu
Engkau gadis sederhana dalam pakaian sehari-hari
Kau hewan hijau manis, aku cinta kau
Kau padakau yang milikau yang kau aku
yang milikkau
kau yang ku
Kita?
Biarkan antara kita saja
pada api perdiangan
Ana Bunga, Ana, A-n-a, akun teteskan namamu
Namamu menetes bagai lembut lilin
Apa kau tahu Ana Bunga, apa sudah kau tahu?
Orang dapat membaca kau dari belakang
Dan kau yang paling agung dari segala
Kau yang dari belakang, yang dari depan
A-N-A
Tetes lilin mengusap-usap punggungku
Ana Bunga
Oh hewan meleleh
Aku cinta yang padakau!
Mantera
lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mengasapi duka
puah!
kau jadi Kau!
Kasihku
Ayo
Adakah yang lebih tobat
dibanding air mata
adakah yang lebih mengucap
dibanding airmata
adakah yang lebih nyata
adakah yang lebih hakekat
dibanding airmata
adakah yang lebih lembut
adakah yang lebih dahsyat
dibanding airmata
para pemuda yang
melimpah di jalan jalan
itulah airmata
samudera puluhan tahun derita
yang dierami ayahbunda mereka
dan diemban ratusan juta
mulut luka yang terpaksa
mengatup diam
kini airmata
lantang menderam
meski muka kalian
takkan dapat selamat
di hadapan arwah sejarah
ayo
masih ada sedikit saat
untuk membasuh
pada dalam dan luas
airmata ini
ayo
jangan bandel
jangan nekat pada hakekat
jangan kalian simbahkan
gas airmata pada lautan airmata
malah tambah merebak
jangan letupkan peluru
logam akan menangis
dan tenggelam
di kedalaman airmata
jangan gunakan pentungan
mana ada hikmah
mampat
karena pentungan
para muda yang raib nyawa
karena tembakan
yang pecah kepala
sebab pentungan
memang tak lagi mungkin
jadi sarjana atau apa saia
namun
mereka telah
nyempurnakan
bakat gemilang
sebagai airmata
yang kini dan kelak
selalu dibilang
bagi perjalanan bangsa
Bayangkan
direguknya
wiski
direguk
direguknya
bayangkan kalau tak ada wiski di bumi
sungai tak mengalir dalam aortaku katanya
di luar wiski
di halaman
anak-anak bermain
bayangkan kalau tak ada anak-anak di bumi
aku kan lupa bagaimana menangis katanya
direguk
direguk
direguknya wiski
sambil mereguk tangis
lalu diambilnya pistol dari laci
bayangkan kalau aku tak mati mati katanya
dan ditembaknya kepala sendiri
bayangkan
Tanah Air Mata
Tanah airmata tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata
(1991)
Satu
kuterjemahkan tubuhku ke dalam tubuhmu
ke dalam rambutmu kuterjemahkan rambutku
jika tanganmu tak bisa bilang tanganku
kuterjemahkan tanganku ke dalam tanganmu
jika lidahmu tak bisa mengucap lidahku
kuterjemahkan lidahku ke dalam lidahmu
aku terjemahkan jemariku ke dalam jemarimu
jika jari jemarimu tak bisa memetikku
ke dalam darahmu kuterjemahkan darahku
kalau darahmu tak bisa mengucap darahku
jika ususmu belum bisa mencerna ususku
kuterjemahkan ususku ke dalam ususmu
kalau kelaminmu belum bilang kelaminku
aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu
daging kita satu arwah kita satu
walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku
Wahai Pemuda Mana Telurmu?
Apa gunanya merdeka
Kalau tak bertelur
Apa gunanya bebas
Kalau tak menetas?
Wahai bangsaku
Wahai pemuda
Mana telurmu?
Burung jika tak bertelur
Tak menetas
Sia-sia saja terbang bebas
Kepompong menetaskan
kupu-kupu,
Kuntum membawa bunga
Putik jadi buah
Buah menyimpan biji
Menyimpan mimpi
Menyimpan pohon
dan bunga-bunga
Uap terbang menetas awan
Mimpi jadi, sungai pun jadi,
Menetas jadi,
Hakekat lautan
Setelah kupikir-pikir
Manusia ternyata burung berpikir
Setelah kurenung-renung
Manusia adalah
burung merenung
Setelah bertafakur
Tahulah aku
Manusia harus bertelur
Burung membuahkan telur
Telur menjadi burung
Ayah menciptakan anak
Anak melahirkan ayah
Wahai para pemuda
Wahai garuda
Menetaslah
Lahirkan lagi
Bapak bagi bangsa ini!
Menetaslah
Seperti dulu
Para pemuda
Bertelur emas
Menetas kau
Dalam sumpah mereka
Belajar Membaca
Kakiku Luka
Luka Kakiku
Kakikau Lukakah
Lukakah Kakikau
Kalau Kakikau Luka
Lukakukah Kakikau
Kakiku Luka
Lukakaukah Kakiku
Kalau Lukaku Lukakau
Kakiku Kakikaukah
Kakikaukah Kakiku
Kakiku Luka Kaku
Kalau Lukaku Lukakau
Lukakakukakiku Lukakakukakikaukah
Lukakakukakikaukah Lukakakukakiku
Walau
walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah
dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak
kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
jiwa membumbung dalam baris sajak
tujuh puncak membilang bilang
nyeri hari mengucap ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu
walau huruf habislah sudah
alifbataku belum sebatas allah
Ping Pong
Ping di atas pong
Pong di atas ping
Ping ping dibilang pong
Pong pong bilang ping
mau pong? bilang ping
mau mau bilang pong
mau ping? bilang pongmau mau bilang ping
ya pong ya ping
ya ping ya pong
tak ya pong tak ya ping
kutakpunya ping
kutakpunya pong
pinggir ping kumau pong
tak tak bilang ping
ping pong kumau ping
tak tak bilang pong
sembilu jarakMu merancap nyaring
Jembatan
Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu!
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan-jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-moyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak ammpu
mengucapkan kibarnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.
Sutardji Calzoum Bachri lahir 24 Juni 1941 di Rengat, Indragiri Hulu, Riau. Ia salah seorang pelopor sastra tahun 1970-an. Ia dikenal sebagai Presiden Penyair. Ia lahir dari pasangan suami-istri Mohammad Bachri dan May Calzoum.
Mohammad Bachri berasal dari Prembun, Jawa Tengah. Ia merantau ke Riau dan menjadi anggota polisi di Tanjung Pinang, Riau dengan pangkat Ajun Inspektur Polisi. Sedangkan sang bunda, May, merupakan perempuan asli Riau.
Sutardji Calzoum Bachri memiliki 10 saudara kandung. Usai tamat SD, SMP, dan SMA, Sutardji melanjutkan studi di Fakultas Sosial Politik, Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Puisi perdananya, O, diterbitkan dalam majalah sastra Horison tahun 1971. Setahun kemudian, antologi puisi berjudul Amuk diterbitkan Horison. Karir di bidang sastra melejit lalu Sutardji mengikuti International Poetry Reading di Rotterdam, Belanda.
Ia mengikuti seminar International Writing Program di University of Iowa, Amerika Serikat dari Oktober 1974 hingga April 1975. Tahun 2001 ia menulis cerita pendek berjudul Hujan Menulis Ayam dan diterbitkan Indonesia Tera. Sutardji sempat bekerja di majalah mingguan Fokus, menjadi redaktur di Horison, dan redaktur rubrik budaya Kompas, dan menangani puisi pada 2000 hingga 2002.
Berbagai karya sastra yang dihasilkan akhirnya ia meraih sejumlah penghargaan seperti Anugerah Seni Dewan Kesenian Jakarta (1977), Hadiah Sastra Asia Tenggara (SEA Write Award) dari Kerajaan Thailand (1979), Anugerah Seni Pemerintah Republik Indonesia (1993) serta Penghargaan Sastra Chairil Anwar (1998).
Tahun 2001 Sutardji dianugerahi gelar Sastrawan Perdana oleh Pemerintah Provinsi Riau. Sutardji juga menerima Bakrie Awards pada Juni 2008.
Karya Sutardji Calzoum Bachri:
O, kumpulan puisi (1966-1973)
Kucing (1973)
Aku Datang Padamu (1973)
Perjalanan Kubur David Copperfield (1973)
Realities Tanah Air (1973)
Amuk, kumpulan puisi (1973-1976)
Kapak, kumpulan puisi (1976-1979)
O, Amuk, Kapak, kumpulan puisi (1981)
Hujan Menulis Ayam, kumpulan cerpen (2001)
Gerak Esai dan Ombak Sajak Anno (2001)
Hijau Kelon dan Puisi (2002)
Isyarat, kumpulan esai (2007)
Ngit Cari Agar, kumpulan puisi (2008)
Kecuali, kumpulan puisi (2021) (*)