Puisi Wahai Pemuda Mana Telurmu? karya Sutardji Calzoum Bachri - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Puisi Wahai Pemuda Mana Telurmu? karya Sutardji Calzoum Bachri

Sutardji Calzoum Bachri. Sumber foto: festival.borobudurwriters.id

Loading

Ana Bunga

 

Oh kau Sayangku dua puluh tujuh indera

Kucinta kau

Aku ke kau ke kau aku

Akulah kauku kaulah ku ke kau

Kita ?

 

Biarlah antara kita saja

Siapa kau, perempuan tak terbilang

Kau

Kau ? – orang bilang kau – biarkan orang bilang

Orang tak tahu menara gereja menjulang

Kaki, kau pakaikan topi, engkau jalan

dengan kedua

tanganmu

 

Amboi! Rok birumu putih gratis melipat-lipat

Ana merah bunga aku cinta kau, dalam merahmu aku

cinta kau

Merah cintaku Ana Bunga, merah cintaku pada kau

Kau yang pada kau yang milikkau aku yang padaku

kau yang padaku

Kita?

 

Dalam dingin api mari kita bicara

Ana Bunga, Ana Merah Bunga, mereka bilang apa?

Sayembara :

Ana Bunga buahku

Merah Ana Bunga

Warna apa aku?

 

Biru warna rambut kuningmu

Merah warna dalam buah hijaumu

Engkau gadis sederhana dalam pakaian sehari-hari

Kau hewan hijau manis, aku cinta kau

Kau padakau  yang milikau yang kau aku

yang milikkau

kau yang ku

 

Kita?

Biarkan antara kita saja

pada api perdiangan

Ana Bunga, Ana, A-n-a, akun teteskan namamu

Namamu menetes bagai lembut lilin

Apa kau tahu Ana Bunga, apa sudah kau tahu?

Orang dapat membaca kau dari belakang

Dan kau yang paling agung dari segala

Kau yang dari belakang, yang dari depan

 

A-N-A

Tetes lilin mengusap-usap punggungku

Ana Bunga

Oh hewan meleleh

Aku cinta yang padakau!

 

Mantera 

 

lima percik mawar

tujuh sayap merpati

sesayat langit perih

dicabik puncak gunung

sebelas duri sepi

dalam dupa rupa

tiga menyan luka

mengasapi duka

puah!

kau jadi Kau!

Kasihku

 

Ayo

 

Adakah yang lebih tobat

dibanding air mata

adakah yang lebih mengucap

dibanding airmata

adakah yang lebih nyata

 

adakah yang lebih hakekat

dibanding airmata

adakah yang lebih lembut

adakah yang lebih dahsyat

dibanding airmata

para pemuda yang

melimpah di jalan jalan

 

itulah airmata

samudera puluhan tahun derita

yang dierami ayahbunda mereka

dan diemban ratusan juta

mulut luka yang terpaksa

mengatup diam

 

kini airmata

lantang menderam

meski muka kalian

takkan dapat selamat

di hadapan arwah sejarah

 

ayo

masih ada sedikit saat

untuk membasuh

pada dalam dan luas

airmata ini

 

ayo

jangan bandel

jangan nekat pada hakekat

jangan kalian simbahkan

gas airmata pada lautan airmata

malah tambah merebak

jangan letupkan peluru

logam akan menangis

dan tenggelam

di kedalaman airmata

jangan gunakan pentungan

mana ada hikmah

mampat

karena pentungan

para muda yang raib nyawa

karena tembakan

yang pecah kepala

sebab pentungan

memang tak lagi mungkin

jadi sarjana atau apa saia

namun

mereka telah

nyempurnakan

bakat gemilang

sebagai airmata

yang kini dan kelak

selalu dibilang

bagi perjalanan bangsa

 

Bayangkan

 

 

direguknya

        wiski

           direguk

              direguknya

bayangkan kalau tak ada wiski di bumi

sungai tak mengalir dalam aortaku katanya

di luar wiski

          di halaman

                anak-anak bermain

bayangkan kalau tak ada anak-anak di bumi

aku kan lupa bagaimana menangis katanya

direguk

  direguk

      direguknya wiski

           sambil mereguk tangis

lalu diambilnya pistol dari laci

bayangkan kalau aku tak mati mati katanya

dan ditembaknya kepala sendiri

bayangkan

 

Tanah Air Mata

 

Tanah airmata tanah tumpah dukaku

mata air airmata kami

airmata tanah air kami

di sinilah kami berdiri

menyanyikan airmata kami

di balik gembur subur tanahmu

 

kami simpan perih kami

di balik etalase megah gedung-gedungmu

kami coba sembunyikan derita kami

kami coba simpan nestapa

kami coba kuburkan duka lara

tapi perih tak bisa sembunyi

ia merebak kemana-mana

 

bumi memang tak sebatas pandang

dan udara luas menunggu

namun kalian takkan bisa menyingkir

ke manapun melangkah

kalian pijak airmata kami

ke manapun terbang

kalian kan hinggap di air mata kami

 

ke manapun berlayar

kalian arungi airmata kami

kalian sudah terkepung

takkan bisa mengelak

takkan bisa ke mana pergi

menyerahlah pada kedalaman air mata

(1991)

 

 Satu

 

kuterjemahkan tubuhku ke dalam tubuhmu

ke dalam rambutmu kuterjemahkan rambutku

jika tanganmu tak bisa bilang tanganku

kuterjemahkan tanganku ke dalam tanganmu

jika lidahmu tak bisa mengucap lidahku

 

kuterjemahkan lidahku ke dalam lidahmu

aku terjemahkan jemariku ke dalam jemarimu

jika jari jemarimu tak bisa memetikku

ke dalam darahmu kuterjemahkan darahku

kalau darahmu tak bisa mengucap darahku

 

jika ususmu belum bisa mencerna ususku

kuterjemahkan ususku ke dalam ususmu

kalau kelaminmu belum bilang kelaminku

aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu

daging kita satu arwah kita satu

walau masing jauh

yang tertusuk padamu berdarah padaku

 

Wahai Pemuda Mana Telurmu?

 

Apa gunanya merdeka

Kalau tak bertelur

Apa gunanya bebas

Kalau tak menetas?

 

Wahai bangsaku

Wahai pemuda

Mana telurmu?

 

Burung jika tak bertelur

Tak menetas

Sia-sia saja terbang bebas

 

Kepompong menetaskan

kupu-kupu,

Kuntum membawa bunga

Putik jadi buah

Buah menyimpan biji

Menyimpan mimpi

Menyimpan pohon

dan bunga-bunga

 

Uap terbang menetas awan

Mimpi jadi, sungai pun jadi,

Menetas jadi,

Hakekat lautan

 

Setelah kupikir-pikir

Manusia ternyata burung berpikir

 

Setelah kurenung-renung

Manusia adalah

burung merenung

 

Setelah bertafakur

Tahulah aku

Manusia harus bertelur

 

Burung membuahkan telur

Telur menjadi burung

Ayah menciptakan anak

Anak melahirkan ayah

 

Wahai para pemuda

Wahai garuda

Menetaslah

Lahirkan lagi

Bapak bagi bangsa ini!

 

Menetaslah

Seperti dulu

Para pemuda

Bertelur emas

 

Menetas kau

Dalam sumpah mereka

 

Belajar Membaca

 

Kakiku Luka

Luka Kakiku

Kakikau Lukakah

Lukakah Kakikau

 

Kalau Kakikau Luka

Lukakukah Kakikau

Kakiku Luka

Lukakaukah Kakiku

 

Kalau Lukaku Lukakau

Kakiku Kakikaukah

Kakikaukah Kakiku

Kakiku Luka Kaku

 

Kalau Lukaku Lukakau

Lukakakukakiku Lukakakukakikaukah

Lukakakukakikaukah Lukakakukakiku

 

Walau

 

walau penyair besar

takkan sampai sebatas allah

 

dulu pernah kuminta tuhan

dalam diri

sekarang tak

 

kalau mati

mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat

jiwa membumbung dalam baris sajak

 

tujuh puncak membilang bilang

nyeri hari mengucap ucap

di butir pasir kutulis rindu rindu

 

walau huruf habislah sudah

alifbataku belum sebatas allah

 

 Ping Pong

 

Ping di atas pong

Pong di atas ping

Ping ping dibilang pong

Pong pong bilang ping

 

mau pong? bilang ping

mau mau bilang pong

mau ping? bilang pongmau mau bilang ping

ya pong ya ping

 

ya ping ya pong

tak ya pong tak ya ping

 

kutakpunya ping

kutakpunya pong

 

pinggir ping kumau pong

tak tak bilang ping

ping pong kumau ping

tak tak bilang pong

sembilu jarakMu merancap nyaring

 

Jembatan

 

Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata

bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi

dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.

Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang

jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.

 

Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam

para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.

Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase

indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam menjerit

mengucap

tanah air kita satu

bangsa kita satu

bahasa kita satu

bendera kita satu!

 

Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan-jalan

mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan

tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah

yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang

di antara kita?

 

Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot

linu mengerang mereka pancangkan koyak-moyak bendera hati

dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak ammpu

mengucapkan kibarnya.

Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.

 

Sutardji Calzoum Bachri lahir 24 Juni 1941 di Rengat, Indragiri Hulu, Riau. Ia salah seorang pelopor sastra tahun 1970-an. Ia dikenal sebagai Presiden Penyair. Ia lahir dari pasangan suami-istri Mohammad Bachri dan May Calzoum.

Mohammad Bachri berasal dari Prembun, Jawa Tengah. Ia merantau ke Riau dan menjadi anggota polisi di Tanjung Pinang, Riau dengan pangkat Ajun Inspektur Polisi. Sedangkan sang bunda, May, merupakan perempuan asli Riau. 

Sutardji Calzoum Bachri memiliki 10 saudara kandung. Usai tamat SD, SMP, dan SMA, Sutardji melanjutkan studi di Fakultas Sosial Politik, Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. 

Puisi perdananya, O, diterbitkan dalam majalah sastra Horison tahun 1971. Setahun kemudian, antologi puisi berjudul Amuk diterbitkan Horison. Karir di bidang sastra melejit lalu Sutardji mengikuti International Poetry Reading di Rotterdam, Belanda. 

Ia mengikuti seminar International Writing Program di University of Iowa, Amerika Serikat dari Oktober 1974 hingga April 1975. Tahun 2001 ia menulis cerita pendek berjudul Hujan Menulis Ayam dan diterbitkan Indonesia Tera. Sutardji sempat bekerja di majalah mingguan Fokus, menjadi redaktur di Horison, dan redaktur rubrik budaya Kompas, dan menangani puisi pada 2000 hingga 2002.

Berbagai karya sastra yang dihasilkan akhirnya ia meraih sejumlah penghargaan seperti Anugerah Seni Dewan Kesenian Jakarta (1977), Hadiah Sastra Asia Tenggara (SEA Write Award) dari Kerajaan Thailand (1979), Anugerah Seni Pemerintah Republik Indonesia (1993) serta Penghargaan Sastra Chairil Anwar (1998). 

Tahun 2001 Sutardji dianugerahi gelar Sastrawan Perdana oleh Pemerintah Provinsi Riau. Sutardji juga menerima Bakrie Awards pada Juni 2008.

 

Karya Sutardji Calzoum Bachri: 

 

O, kumpulan puisi (1966-1973)

Kucing (1973)

Aku Datang Padamu (1973)

Perjalanan Kubur David Copperfield (1973)

Realities Tanah Air (1973)

Amuk, kumpulan puisi (1973-1976)

Kapak, kumpulan puisi (1976-1979)

O, Amuk, Kapak, kumpulan puisi (1981)

Hujan Menulis Ayam, kumpulan cerpen (2001)

Gerak Esai dan Ombak Sajak Anno (2001)

Hijau Kelon dan Puisi (2002)

Isyarat, kumpulan esai (2007)

Ngit Cari Agar, kumpulan puisi (2008)

Kecuali, kumpulan puisi (2021) (*)

Tinggalkan Komentar Anda :