Oleh: Yakobus Dumupa
(Pendiri dan pembina portal berita Odiyaiwuu.com)
PERANG terbuka antara Israel dan Iran yang meletus sejak Jumat lalu telah mengejutkan dunia. Serangan udara Israel yang menghantam pusat-pusat strategis Iran, termasuk kompleks nuklir dan pusat komunikasi di Teheran, memicu pembalasan skala besar dari Iran. Ratusan rudal dan drone diluncurkan menuju wilayah Israel, termasuk Tel Aviv dan Haifa. Ini bukan lagi perang proxy, tetapi bentrokan langsung antara dua negara yang selama puluhan tahun saling bermusuhan.
Bagi banyak pihak, eskalasi ini menjadi sinyal bahwa Timur Tengah telah berubah dari ladang konflik terbatas menjadi pusat ketegangan global yang serius. Ketika dua negara besar secara terbuka saling menyerang, kekhawatiran pun mengemuka bahwa pertempuran ini bisa menjadi percikan yang menyulut api perang dunia. Apalagi keduanya memiliki aliansi strategis dengan negara-negara kuat dunia seperti Amerika Serikat, Rusia, dan China.
Pertanyaan mendasar kini mengemuka: apakah dunia sedang bergerak menuju Perang Dunia Ketiga? Untuk menjawab ini, kita harus memahami konteks konflik saat ini, analisis strategi militer yang digunakan, dan bagaimana negara-negara besar dunia menanggapi perang yang berpotensi merambat ke seluruh kawasan.
Bukan Lagi Konflik Regional
Selama bertahun-tahun, konflik antara Israel dan Iran berlangsung secara tidak langsung. Kedua negara saling menyerang lewat perantara seperti Hamas di Gaza, Hizbullah di Lebanon, dan milisi Syiah di Suriah serta Irak. Namun kali ini berbeda. Israel melancarkan serangan langsung ke dalam wilayah Iran, dan Iran pun membalas secara terang-terangan. Kedua negara kini tidak lagi menyembunyikan perang mereka di balik tangan-tangan ketiga.
Perubahan ini sangat signifikan karena menandai pergeseran dari konflik regional menuju konfrontasi antarnegara. Iran bukanlah Gaza atau Lebanon. Ini adalah negara dengan wilayah luas, sistem pertahanan berlapis, dan jaringan pengaruh yang kuat di kawasan. Serangan terhadap Iran bukan hanya menyerang basis milisi, tetapi dapat dianggap sebagai serangan terhadap stabilitas kawasan yang lebih luas.
Lebih dari itu, keterlibatan negara-negara besar dalam menyikapi konflik ini menambah dimensi baru. Amerika Serikat secara politik dan militer mendukung Israel, sementara Rusia dan China telah menunjukkan simpati dan dukungan tidak langsung terhadap Iran. Jika salah satu pihak terlibat langsung, misalnya mengirim pasukan atau menyuplai senjata secara terbuka, maka ini bukan lagi sekadar konflik bilateral, melainkan ancaman nyata terhadap perdamaian dunia.
Doktrin Dahiyeh dan Target Kritis
Militer Israel dikenal menggunakan strategi balasan tidak proporsional yang disebut Doktrin Dahiyeh, yang berarti menghancurkan bukan hanya kekuatan tempur musuh, tetapi juga semua infrastruktur yang bisa menopang perlawanan—termasuk fasilitas sipil. Strategi ini pernah diterapkan dengan sukses dalam perang melawan Hizbullah dan Hamas. Kini muncul kekhawatiran, apakah doktrin ini akan dipakai terhadap Iran?
Jika ya, maka skenario paling ekstrem adalah Israel akan menargetkan pembangkit listrik, jalur logistik, kantor pemerintahan, bahkan simbol-simbol politik dan keagamaan Iran. Tak sedikit yang berspekulasi, apakah Israel akan berani menargetkan pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei? Tindakan semacam itu akan menjadi preseden luar biasa dalam sejarah modern: pembunuhan tokoh politik dan spiritual negara berdaulat oleh kekuatan asing.
Namun strategi semacam ini juga penuh risiko. Serangan terhadap figur setinggi itu bisa memicu pembalasan yang tak terkendali dari Iran dan sekutu-sekutunya. Hizbullah di Lebanon, Houthi di Yaman, hingga kelompok Syiah bersenjata di Irak dapat bergerak serempak. Satu tindakan ekstrem dari Israel bisa memicu reaksi berantai yang mengubah seluruh Timur Tengah menjadi medan perang.
Reaksi Internasional dan Risiko Geopolitik
Dunia internasional menanggapi konflik ini dengan kombinasi kecemasan dan ketegangan. Amerika Serikat, meskipun mendukung Israel, tetap menyerukan agar eskalasi tidak berlanjut ke tahap tak terkendali. Uni Eropa juga menyerukan gencatan senjata dan mediasi diplomatik segera. Di sisi lain, Rusia dan China menilai tindakan Israel sebagai pelanggaran kedaulatan dan potensi pelanggaran hukum internasional, khususnya jika targetnya adalah fasilitas sipil.
Negara-negara Arab pun dihadapkan pada dilema. Mereka tidak mendukung ambisi nuklir Iran, tetapi juga menentang tindakan sepihak Israel terhadap negara Muslim. Normalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab kini terancam mundur karena situasi ini. Jika Israel terus melakukan serangan besar ke Iran, bukan tidak mungkin muncul gerakan solidaritas baru di dunia Islam.
Kondisi ini juga menciptakan ketegangan di pasar global. Harga minyak melonjak, kekhawatiran akan jalur distribusi energi di Selat Hormuz meningkat, dan ketidakpastian ekonomi mulai dirasakan di banyak negara. Jika perang meluas, krisis ekonomi global bisa menjadi konsekuensi yang tidak terhindarkan dari konflik bersenjata di kawasan ini.
Potensi Menuju Perang Dunia Ketiga
Dalam banyak hal, karakteristik konflik saat ini mencerminkan awal dari apa yang pernah terjadi menjelang Perang Dunia I dan II. Negara-negara besar mulai berpihak, blok kekuatan mulai terbentuk, dan konflik kecil berubah menjadi pertarungan besar karena ketidakmampuan diplomasi menahan hasrat balas dendam. Apalagi dengan adanya kekuatan militer modern dan senjata pemusnah massal yang jauh lebih menghancurkan dibanding masa lalu.
Jika Iran merasa eksistensinya terancam, bukan tidak mungkin negara itu mengambil langkah ekstrem. Sementara Israel, yang terkenal dengan prinsip “bertahan hidup dengan segala cara”, bisa menggunakan kekuatan penuh jika merasa didesak. Dalam situasi genting seperti ini, satu insiden tambahan saja bisa menjadi pemantik perang berskala dunia.
Skenario terburuk bukan hanya tentang pertempuran di Timur Tengah, tetapi bagaimana konflik ini bisa menarik negara-negara lain ke dalam pusaran. Jika Rusia secara terbuka mendukung Iran dan Amerika Serikat masuk ke arena, maka garis api Perang Dunia Ketiga bisa menyala dengan sangat cepat.
Diplomasi: Satu-satunya Jalan Menahan Api
Di tengah semua ketegangan ini, diplomasi adalah satu-satunya jalan keluar yang masih tersedia. Dunia internasional harus bergerak cepat untuk mendorong gencatan senjata, membentuk tim mediasi netral, dan mengembalikan kepercayaan antarnegara. PBB perlu mengambil sikap aktif, tidak hanya menjadi penonton atau pemberi pernyataan normatif.
Negara-negara seperti Turki, Qatar, dan Indonesia bisa mengambil peran penting dalam mediasi, mengingat kedekatan mereka secara budaya dan diplomatik dengan kedua pihak. Sementara negara-negara besar seperti AS, Rusia, dan China harus duduk bersama untuk menetapkan garis merah yang tidak boleh dilampaui dalam perang ini.
Sejarah akan mencatat siapa yang berusaha menghentikan perang, dan siapa yang membiarkannya membesar. Jika dunia gagal bertindak, maka kehancuran yang terjadi bukan hanya di Timur Tengah, tetapi bisa menjalar ke Eropa, Asia, dan bahkan benua lainnya. Perang Dunia Ketiga bukan mustahil—dan satu-satunya cara untuk menghindarinya adalah dengan keberanian untuk memilih jalan damai.