Krisis Pendidikan Karakter Generasi Muda Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Krisis Pendidikan Karakter Generasi Muda Papua

Yulius Pekei

Loading

Oleh Yulius Pekei
Mahasiswa Magister Manajemen Pendidikan
Universitas Cenderawasih, Jayapura

PENGUATAN pendidikan moral (moral education) atau pendidikan karakter (character education) dalam konteks sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis pendidikan moral yang sedang melanda di Papua. Krisis pendidikan moral menghantui kita dalam kehipan sehari-hari lebih khusus pada anak remaja usia sekolah.

Krisis pendidikan moral tersebut antara lain meningkatnya pergaulan bebas, mengkonsumsi minuman beralkohol, penyalagunaan obat-obat terlarang menjadi masalah sosial pada generasi Papua. Pembiaraan krisis pendidikan karakter masih berjalan dengan perkembangan kabupaten dan perkebangan penduduk di Papua.

Penerapan pendidikan krisis pendidikan karakter, juga kurangnya mengatasi krisis moral berdampak pada siswa SD, SMP dan SMA mengalami kehamilan di luar nikah. Hal lain juga banyak generasi muda papua mengalami krisis kematian labih tinggi menuju kepunahan ras Papua.

Thomas Lickona dalam Educating for Character (1991) menyebut, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik terhadap sesama manusia dan keselamatan nyawa bagi diri individu.

Pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter kita dalam proses pendidikan formal. Tetapi untuk mengetahui pengertian yang tepat, dapat dikemukakan dalam pendidikan karakter versi Lickona. Lickona mengemukakan, pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, melakukan nilai-nilai etika inti.

Filsuf suku Mee Manfred Mote dalam Touye (2013) juga pernah menyinggung bahwa manusia yang berpikir itu musti memikirkan “pikiran-pikiran sejati manusia yang hidup”. Maksudnya adalah seluruh pemikiran manusia, entah langsung ataupun tak langsung. Dengan hidup dan kehidupan mengungkapkan hidup serta kehidupan menjadikan manusia hidup dan berkehidupan. Semua pemikiran yang tak bertentangan dengan hidup dan kehidupan boleh dijadikan sebagai obyek berpikir.

Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara dan alam sekitarnya. Menurut (Kertajaya, 2010), karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, serta merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seorang bertindak, bersikap, berucap, dan merespon sesuatu.

Nilai kehidupan dalam pendidikan karakter terdiri dari belasan butir. Nilai-nilai itu perlu dihayati masa perkembangan diri individu, termasuk generasi Papua. Misalnya religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis atau rasa ingin tahu. Juga semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.

Pendidikan karakter telah menjadi perhatian berbagai negara dalam rangka mempersiapkan generasi yang berkualitas. Tak sekadar untuk kepentingan individu warga negara, tetapi juga untuk warga masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai usaha kita secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan untuk membantu pembentukan karakter secara optimal (the deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal character development).

Nilai rasa ingin tahu ialah sikap, tindakan yang berupaya mengetahui lebih dalam dan luas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat, dan didengar. Kemudian mengembangkan pada anak dengan cara mengajak meneliti sesuatu di sekitarnya kemudian berdiskusi sederhana tentang apa yang diteliti.

Umur anak dan kecerdikan

Sekadar penulis jelaskan pentingnya memahami umur anak yang dimaksud dalam upaya melesatkannya. Para pemerhati pendidikan sudah banyak menyinggung masalah umur anak dan kecerdikan pada bagian inspirasi cerita anak. Untuk memperoleh pemahaman lebih luas, maka poin ini penting untuk mewakili yang lain.

Ulasan lebih luas bukan tanpa mengelompokkan usia mereka. Anak yang dimaksud harus memenuhi kualifikasi usia di atas 5 hingga 15 tahun. Dalam retang usia ini, anak merasa terbebas dari berbagai upaya melesatkan kecerdikan melalui berbagai cerita. Namun, cerita rakyat yang jadi prioritas anak adalah cerita yang pertama kali didengar dari kedua orangtua, lingkungan dan pendidikan formal.

Mengapa kita membatasi usia 7 tahun hingga sampai 16 tahun saja? Padahal masih juga usia antara 0-5 atau 15 ke atas! Jawaban atas pertanyaan itu ialah bahwa di antara usia 7 hingga 16 tahun adalah waktu yang tepat kita lesatkan nilai-nilai moral, norma, dan hubungan sosial melalui cerita rakyat dan pendidikan karakter. Rentang usia ini adalah persiapan melangkah ke level remaja dewasa, bukan untuk maksud lain. Alasannya jelas, mengembangkan potensi kecerdikan yang dimiliki anak itu sendiri.

Kemungkinan besar, di antara kita sudah mengetahui bahwa kecerdikan bukanlah sesuatu yang diturunkan dari Tuhan. Tidak ada anak yang pada saat lahir begitu cerdik tanpa diberi nasehat atau pendidikan karakter. Semua anak memiliki potensi yang sama untuk menjadi cerdik.

Kemudian bisa disebut ciri-ciri anak yang cerdik dibandingkan anak yang tidak cerdik. Hal yang membedakan anak yang satu dengan anak yang lainnya bukan berpijak pada orangtua cerdik dan memiliki pengetahuan yang lebih tinggi. Tetapi berpijak pada orangtuanya yang telah merancang sang anak untuk menjadi cerdik sejak kecil.

Tatkala orangtua tidak menanamkan pendidikan karakter, termasuk menempatkan anak-anaknya menjadi pribadi cerdik, besar kemungkinan saat menanjak dewasa tidak membawa sifat-sifat kecerdikan orangtuanya. Begitu pula sebaliknya. Bila orangtua merasa sebagai pribadi tidak cerdik namun berupaya mendidik dan mencerdikkan anak-anaknya sejak dini hingga remaja, mereka bertumbuh menjadi pribadi yang lebih cerdas.

Oleh karena itu, alangkah bijak meningkatkan pendidikan karakter sejak sekolah dasar hingga di bangku kuliah guna menumbuhkembangkan nilai-nilai budaya bangsa. Setiap lembaga pendidikan diharapkan mengajarkan muatan lokal (mulok). Untuk membangkitkan pendidikan karakter cara mengembangkannya dengan mempelajari gaya hidup atau adat istiadat dari orang lain.

Termasuk nilai-nilai cinta Tanah Air seperti cara berpikir, sikap hidup yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan baik di tingkat provinsi atau kabupaten/kota perlu memasukkan mulok.

Nilai peduli pingkungan yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya menghayati kerusakan lingkungan alam di sekitarnya. Kemudian mengembangkan upaya-upaya memperbaiki kerusakan alam. Dalam konteks lebih luas yaitu mengembangkan rasa peduli lingkungan. Misalnya, mengajak anak berkebun, menanam pohon di lingkungan sekolah, gereja atau rumah sakit. Mengajak anak menjaga dan memelihara tanaman merupakan cara kecil mencintai lingkungan alam guna menyelamatkan bumi.

Kita semua adalah manusia yang bermartabat. Sangat membahagiakan bila semua sehati merumuskan pemikiaran-pemikiran yang mengajarkan tentang hidup dan kehidupan menuju kesejahteraan dan kedamaian universal. Hal itu bisa dimulai pada anak-anak kita saat mereka masih usia dini di bangku pendidikan formal.

Tinggalkan Komentar Anda :