Oleh: Yakobus Dumupa
(Pendiri dan pembina portal berita Odiyaiwuu.com)
KETEGANGAN di Timur Tengah belakangan mencapai level yang membuat dunia menahan napas. Setelah Israel memulai serangan ke fasilitas nuklir Iran pada pertengahan Juni, dan Amerika Serikat pada 22 Juni 2025 mengikuti dengan serangan udara ke tiga situs pengayaan uranium Iran, eskalasi perang kini merangsek ke ranah yang lebih global.
Pertanyaan yang kini menggelitik: jika perang ini berubah menjadi Perang Dunia Ketiga, siapa yang akan mendukung Israel dan siapa berpihak ke Iran? Artikel ini menyajikan pemetaan terkini dan alasan strategis di balik pemihakan itu.
Kubu Israel: Blok Barat dan Sekutunya
Amerika Serikat menjadi pendukung utama Israel dalam perang ini—terbukti dari keputusan membom fasilitas nuklir Iran di Fordow, Natanz, dan Isfahan. Presiden Donald Trump menyebut operasi ini sebagai tindakan “militer spektakuler” untuk mencegah ancaman nyata terhadap sekutu Amerika di kawasan. Selain dukungan militer, AS memberi fasilitas logistik, intelijen, dan perlindungan diplomatik.
Negara-negara Eropa Barat seperti Inggris, Prancis, dan Jerman secara umum mendukung hak pertahanan Israel dengan alasan keamanan regional. Namun, mereka juga menyerukan deeskalasi dan diplomasi. Dengan posisi tengah, mereka menjaga peran sebagai mediator sambil tetap membantu Israel.
Kanada, Australia, dan Jepang secara diplomatik cenderung sejalan dengan AS dan Eropa. Jepang, khususnya, memiliki kepentingan besar dalam stabilitas energi global, sehingga dukungan mereka terhadap Israel juga strategi perlindungan pasokan minyak.
Negara-negara Teluk Arab seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Bahrain, meskipun dahulu bermusuhan dengan Israel, kini menunjukkan dukungan tersembunyi melalui intelijen, stabilitas, dan logistik. Kekhawatiran mereka terhadap pengaruh Iran yang mengancam kekuasaan regional membuat mereka ikut berpihak.
India menambah dimensi global dalam mendukung Israel. Selain memberi dukungan diplomatis, mereka juga menjalankan operasi kemanusiaan untuk mengevakuasi warganya dari Iran—tanda penting hubungan positif dengan Israel dan kekhawatiran terhadap eskalasi. Italia juga berperan sebagai salah satu pemasok senjata vital untuk sekutu Israel di Eropa.
Kubu Iran: Rusia, China, dan Poros Anti-Barat
Rusia secara terbuka mengutuk serangan AS–Israel dan menyebutnya pelanggaran terhadap Traktat Non-Proliferasi Nuklir. Dmitry Medvedev bahkan menyatakan bahwa nuklir taktis bisa menjadi opsi, dan Rusia siap bantu Iran dengan dukungan militer dan siber jika dibutuhkan. Selain itu, Rusia menyediakan sistem pertahanan dan drone sejak lama.
China, meski mengutuk aksi militer, memilih jalur diplomasi dan non-intervensi langsung. Namun, mereka memiliki hubungan ekonomi intens dengan Iran, terutama dalam sektor energi dan jalur perdagangan global, dan berupaya menjaga stabilitas kawasan Timur Tengah.
Iran memiliki jaringan milisi dari Lebanon hingga Yaman. Hezbollah saat ini menahan diri, tapi Houthi siap mengganggu jalur perkapalan global, dan milisi Irak bersiap menyerang pangkalan AS di kawasan. Ini menjadi ujung tombak balas dendam Iran secara tidak langsung.
Suriah adalah jalur pengiriman senjata Iran ke Lebanon dan Iran, sementara Pakistan menunjukkan solidaritas diplomatik tanpa keterlibatan militer langsung.
Mengapa Kubu Ini Terbentuk?
Terbentuknya dua kubu yang berhadapan dalam perang ini tidak lepas dari dinamika kekuasaan global yang sudah berlangsung selama puluhan tahun. Israel dan Amerika Serikat memiliki hubungan strategis yang kuat dalam hal militer, ekonomi, dan intelijen. Hubungan ini diperkuat oleh kepentingan geopolitik Amerika di Timur Tengah, termasuk dukungan terhadap sekutunya demi menjaga hegemoni atas wilayah kaya energi dan jalur pelayaran internasional.
Negara-negara Eropa Barat mendukung Israel bukan hanya karena kedekatan ideologis dengan AS, tetapi juga untuk menjaga stabilitas kawasan yang berdampak langsung pada keamanan dan perekonomian mereka. Terorisme, migrasi besar-besaran, dan krisis energi menjadi isu lintas batas yang memaksa mereka bersikap.
Sebaliknya, dukungan terhadap Iran muncul dari poros anti-Barat yang berusaha menyeimbangkan dominasi Amerika Serikat. Rusia memanfaatkan perang ini untuk memperluas pengaruhnya dan mendefensifkan posisinya di hadapan NATO. Sementara China berkepentingan menjaga jalur pasokan energi dan perdagangan Belt and Road Initiative yang melewati wilayah Iran.
Milisi pro-Iran seperti Hezbollah, Houthi, dan kelompok Syiah di Irak dan Suriah adalah hasil dari strategi panjang Iran membangun jaringan pertahanan tidak langsung (proxy), yang bisa digerakkan sewaktu-waktu sebagai kekuatan penekan terhadap musuh-musuhnya.
Negara-negara Teluk Arab, walaupun secara tradisional bermusuhan dengan Israel, kini memprioritaskan keamanan dan kelangsungan kekuasaan mereka yang dianggap terancam oleh ekspansi pengaruh Iran. Pemihakan ini juga mencerminkan pergeseran realpolitik di mana ancaman bersama lebih besar daripada permusuhan lama.
Risiko Perang Dunia Ketiga dan Gangguan Global
Risiko perang ini berkembang menjadi Perang Dunia Ketiga sangat nyata jika tidak segera diredam. Intervensi langsung dari kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Rusia, atau bahkan China, dapat menciptakan eskalasi yang tidak terkontrol. Penggunaan senjata nuklir, baik taktis maupun strategis, akan membawa dampak kemanusiaan dan ekologis yang tidak dapat dibayangkan.
Perang proxy juga dapat meluas ke banyak wilayah di dunia. Hezbollah bisa melancarkan serangan ke Israel dari Lebanon. Houthi bisa menargetkan jalur pelayaran di Laut Merah. Milisi Syiah di Irak bisa menyerang pangkalan militer AS. Bahkan kelompok-kelompok ekstrem di Asia Selatan dan Afrika bisa memanfaatkan situasi ini untuk membangkitkan kekacauan.
Dari sisi ekonomi, gangguan terhadap Selat Hormuz, yang merupakan jalur bagi sepertiga pasokan minyak dunia, akan mengguncang pasar global. Harga minyak dan gas bisa melonjak tajam, memicu inflasi dan krisis energi di banyak negara, termasuk negara berkembang yang sangat rentan.
Perang juga akan memicu gelombang pengungsi besar-besaran dari kawasan konflik ke Eropa, Asia Tengah, dan bahkan Asia Tenggara. Hal ini akan menimbulkan tekanan sosial, politik, dan ekonomi di negara-negara penerima.
Secara geopolitik, fokus dunia akan terpecah antara krisis di Timur Tengah, perang Ukraina, dan ketegangan di Laut China Selatan serta Selat Taiwan. Dunia akan kesulitan menjaga stabilitas jika terlalu banyak titik api muncul bersamaan. Di tengah semua itu, PBB dan lembaga internasional lain bisa kehilangan legitimasi jika gagal menjadi penengah yang efektif.
Penutup
Perang Israel–Iran bukan sekadar konfrontasi antara dua negara. Ini adalah panggung besar dari pertarungan geopolitik global, yang mempertaruhkan kredibilitas blok kekuatan dunia, keseimbangan kekuasaan, dan masa depan tatanan internasional.
Melalui peta aliansi yang terbentuk, kita melihat bahwa garis pemisah antara musuh dan sekutu kini tidak hanya berbasis agama atau ideologi, melainkan berdasarkan kepentingan strategis dan pragmatis. Dunia telah berubah, dan realitas geopolitik baru sedang dibentuk.
Namun, sejarah mengajarkan bahwa semua perang besar bermula dari kegagalan diplomasi dan kesombongan kekuasaan. Jika para pemimpin dunia tidak segera mengedepankan akal sehat, moral kemanusiaan, dan tanggung jawab global, maka yang menanti bukan hanya kehancuran kawasan, tetapi juga masa depan peradaban manusia.
Kini adalah saatnya dunia meneguhkan kembali nilai-nilai perdamaian, keadilan, dan solidaritas antarbangsa. Jangan biarkan perang ini menjadi nyala pertama dari api besar yang bisa membakar dunia. Perdamaian bukan hanya pilihan, tapi satu-satunya jalan yang layak diperjuangkan.