Di Rumah Aku Terpasung
Siapa yang kau lihat berdiri di sini?
Aku —diri yang terperangkap di persimpangan waktu
membawa sunyi, deru, dan luka yang tak pernah sembuh
Siapa yang kau lihat berdiri, tubuh terpasung?
Di rumah ini —rumahku yang kau jadikan kuburan sepi
mentari tak lagi bernyanyi
hanya sunyi merintih pada bulan yang mati.
Siapa yang kau lihat berdiri, membatu?
Aku, yang kau lipat hatinya menjadi tirai bisu
Aku, yang kau gantikan pikirannya dengan topengmu
Siapa yang kau lupakan tiap hari?
Aku, yang otaknya kau mainkan dari jauh
hatiku, kau jadikan bidak dalam permainanmu
Dan siapa yang bernyanyi di rumah ini?
Aku, dengan lagu-lagu yang kau tulis untuk melukaiku
dengan jantungku, kau pacu napas cadanganmu
Ketika aku mengetuk pintumu, apakah kau melihatku?
Aku, yang kau kuburkan tiap detik di matamu sendiri
Aku ingin menjadi aku, tapi kau runtuhkan aku dari bumi ini
Siapa yang mendengar nyanyianku yang sunyi?
Aku bernyanyi pada telingamu, yang kini membusuk
Di tanah leluhurku, aku berdiri, menyanyikan ratapan
pada tembok laknat yang kau bangun di tempat semadiku
Apakah kau tahu aku terluka?
Aku, yang diinjak hukum-hukummu yang palsu
Jati diriku tercerai-berai, hilang di tempat ini
Di rumah singgah ini, aku memandang jauh padamu
Kau paksa ruangku menjadi lubang sepi
kau ambil semuanya, kau tinggalkan kehampaan
Maka aku bertanya:
Kau siapa, yang menguras air susu ibuku?
Kau, yang berpura-pura tumbuh
lalu melupakan aku, menghapus nama ibu dari tanah ini
Kepada ketamakanmu, kuberikan pesan:
Cukup sudah!
Kembalikan sisa-sisa yang kau peras dengan rakus.
Aku ingin berdiri lagi
Membuka pintu rumah yang kau jadikan penjara.
Pegunungan Bintang, 3 Desember 2024
Di Kamar Luka
Di kamar luka, bocah kecil terbaring
kulitnya memerah, digigit semut hitam
Tangisnya mengalir, lirih dan samar
Di rumah yang sibuk merawat dunianya
Di tengah gemuruh iman dan nafsu
Seekor anjing menggigit sunyi
Langit yang bisu, menyimpan rahasia
saat bumi hanya memilih berpaling
Luka di tubuh kecil itu
tak sempat disentuh dunia kita
angin memilih menyisir percakapan lain
tentang iman yang gaduh di sela-sela lupa
Dua lubang menganga di depan bocah itu
bukan jalan, bukan pelarian
Yang mereka perbincangkan hanyalah iman
bukan jerit kecil dari ujung kamar ajal
Untukmu, sahabatku, Febby Wetipo
Yogyakarta, 2017
Jejakmu
Apa jejakmu di tanah ini
tempat suara lenyap, tak pernah kau dengar?
Langkah-langkahmu menggantang luka
mengoyak bumi hingga nafasku perih
Jejakmu, duri yang merentang panjang
menusuk waktu, meracuni ruang hati
Kata-kata kini bisu
seperti ular kehilangan bisanya
seperti sabda yang dilupakan tuannya
Pintu-pintu dusta terkunci dalam kematian
ruang kebenaran membatu dalam gelap
melahirkan manusia tanpa telinga
tanpa mata, tanpa rasa—
tanpa belas kasih
Nyawaku terasing di balik bayangan
tatapan yang luput dari terang
hati yang beku, bibir yang membisu
Rahim-rahimku sobek di tanganmu
mimpi-mimpiku gugur di jejakmu
Bahkan angin dan matahari
tak lagi menyapa rasaku
Hanya sepi yang tertinggal
karena jejakmu telah mematikan segalanya
Okpol, 11 November 2024
W. Yuventus Opki lahir di Kampung Yamok, 25 Juni 1988. Masuk SD YPPK Santa Maria Kukding dan tamat di SD YPPK Santo Vinsensius Mabilabol. Lulus SMP YPPK Bintang Timur Mabilabol.
Pada 2011 mengikuti matrikulasi dan kuliah di Jurusan Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Namun, masuk di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta tahun 2013 hingga meraih sarjana Sastra Indonesia tahun 2017.
Menulis antologi puisi berjudul Aku Melawan Lupa dan diterbitkan Galang Press Yogyakarta tahun 2016. Saat ini mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri Bulangkop dan SMP Negeri 2 Okpol. Penulis dapat dihubungi melalui nomor kontak +675 7970 3503 atau email: aplimapom3@gamil.com