JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Wakil Ketua Komisi XIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dr Andreas Hugo Pareira mengatakan, pemerintah perlu membentuk Desk Papua guna menyelesaikan berbagai persoalan secara lebih optimal. Kehadiran Desk Papua akan membantu pemerintah menuntaskan sejumlah masalah yang selama ini masih menjadi pekerjaan rumah.
“Saya memang pernah mengusulkan, kalau tidak salah, pada Menteri HAM agar ada Desk Papua sehingga isu-isu yang mungkin selama ini belum tertangani bisa diupayakan langkah koordinasi dan pelaksanaannya melalui Desk Papua ini,” ujar Pareira melalui keterangan tertulis yang diperoleh di Jakarta, Sabtu (21/6).
Pareira yang baru saja melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Sorong, kota Provinsi Papua Barat Daya mengatakan, Komisi XIII juga mendorong pemerintah untuk menambah Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua.
Penambahan Kanwil HAM di Papua dengan mempertimbangkan aksesibilitas wilayah serta tingkat kerentanan masyarakat. Saat ini, kantor Kementerian HAM Papua Barat masih mencakup wilayah kerja delapan provinsi, yaitu enam provinsi di tanah Papua serta Provinsi Maluku dan Maluku Utara.
“Dengan ini kita bisa mempertimbangkan prioritas wilayah mana saja Kanwil tersebut dibentuk. Karena wilayah sangat luas, maka usulan penambahan Kantor Wilayah Kementerian HAM di Papua ini kami anggap penting dan strategis,” ujar Pareira, anggota DPR RI Dapil Nusa Tenggara Timur 1 dan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Menanggapi hal itu, Staf Khusus Menteri HAM Thomas Harming Suwarta menyatakan bahwa pembentukan Desk atau Kelompok Kerja (Pokja) Papua memang telah menjadi salah satu program Menteri HAM Natalius Pigai. Ia mengklaim bahwa pembentukan desk tersebut akan segera direalisasikan dalam waktu dekat. “Artinya DPR memberi perhatian serius pada masalah yang ada di Tanah Papua,” ujar Suwarta.
Berdasarkan pemantauan atau monitoring media dan data Sistem Pengaduan HAM (SPH), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat sebanyak 40 kasus kekerasan terjadi di seluruh Papua sepanjang Januari–Juni 2025.
“Tren kekerasan di Tanah Papua masih terus berlanjut dan cenderung meningkat,” kata Kepala Komnas HAM Perwakilan Papua Frits B Ramandey melalui keterangan tertulis pada Minggu (15/6).
Puluhan kasus kekerasan tersebut didominasi oleh peristiwa kontak senjata dan penembakan (serangan tunggal) sebanyak 27 kasus. Terjadi pula penganiayaan sebanyak 11 kasus, pengrusakan sebanyak satu kasus, dan kerusuhan satu kasus, di mana satu peristiwa bisa menimbulkan lebih dari satu tindakan kekerasan.
Pada kasus kekerasan tersebut, Kabupaten Yahukimo menjadi daerah dengan jumlah kasus tertinggi, yaitu delapan kasus. Di Intan Jaya terjadi tujuh kasus, Puncak Jaya dan Kota Jayapura lima kasus, Puncak dan Jayawijaya tiga kasus, Yalimo dan Paniai dua kasus, sedangkan Kabupaten Jayapura, Nabire, Teluk Bintuni, Dogiyai, dan Kota Sorong masing-masing sebanyak satu kasus.
Dampak dari banyaknya kekerasan itu adalah 75 orang menjadi korban, yaitu 50 orang meninggal dan 25 orang luka-luka. Dari 75 korban tersebut, 10 orang meninggal dan satu orang luka-luka berasal dari kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sayap militer Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM).
Selain itu, 16 orang aparat keamanan juga menjadi korban: lima orang meninggal dan 11 orang luka-luka. Sebanyak 48 warga sipil juga turut menjadi korban; 35 dari mereka meninggal, sedangkan 13 lainnya luka-luka.
Jika dilihat berdasarkan wilayah, Papua Pegunungan menjadi provinsi dengan jumlah korban paling banyak, yaitu 25 orang meninggal dan sembilan orang luka-luka. Papua Tengah menempati peringkat kedua wilayah dengan korban terbanyak, yaitu 21 orang meninggal dan sembilan orang luka-luka. Di Papua terdapat dua orang meninggal dan tujuh orang luka-luka, sementara di Papua Barat Daya terdapat satu orang meninggal. (*)