Oleh Yosua Noak Douw
Doktor Lulusan Universitas Cenderawasih, Jayapura
RELASI antara pemimpin dan rakyat ibarat jembatan yang menghubungkan dua sisi jurang. Kuat atau rapuhnya jembatan itu sangat menentukan perjalanan sebuah bangsa. Pemimpin yang bijaksana memahami bahwa kekuasaannya bukan sekadar posisi, tetapi amanah yang lahir dari kepercayaan rakyat. Sebaliknya, rakyat yang cerdas menyadari pentingnya partisipasi aktif dalam mengawal jalannya pemerintahan.
Merawat relasi ini berarti membangun komunikasi yang jujur, transparan, dan saling menghormati. Pemimpin harus mau mendengar suara rakyat, memahami aspirasi mereka, dan membuat kebijakan yang berpihak pada kepentingan dan kebaikan bersama (bonum commune). Keputusan yang diambil hendaknya berdasarkan dialog, bukan sekadar instruksi satu arah. Rakyat pun perlu memberi dukungan konstruktif, kritik yang membangun, dan kepercayaan yang proporsional.
Dalam era digital saat ini, relasi pemimpin dan rakyat semakin kompleks. Media sosial memberi ruang partisipasi yang luas, tetapi juga bisa menimbulkan polarisasi dan kegaduhan tak produktif jika tak dikelola dengan bijak. Oleh karena itu, kemampuan pemimpin untuk merangkul perbedaan, menjaga keadilan sosial, dan membangun kepercayaan sangat krusial.
Relasi yang sehat bukan hanya ditandai oleh absennya konflik, tetapi oleh hadirnya keadilan, keterbukaan, dan rasa memiliki dari seluruh elemen masyarakat. Relasi yang kokoh antara pemimpin dan rakyat pada akhirnya menjadi fondasi utama stabilitas masyarakat, kemajuan pembangunan, dan ketahanan bangsa dalam menghadapi berbagai tantangan global.
Ruang Komunikasi
Hubungan antara pemimpin dan rakyat dibangun di atas fondasi komunikasi yang jujur, terbuka, dan berkesinambungan. Di sinilah aspirasi disampaikan, masalah diangkat ke permukaan serta harapan dibangun secara kolektif. Namun, ketika ruang komunikasi itu terputus —entah karena kesengajaan, kelalaian, atau ketidakmampuan— maka sesungguhnya benih-benih masalah mulai tumbuh secara perlahan tapi pasti. Hal ini dapat dilihat lebih jauh dalam sejumlah aspek.
Pertama, hilangnya kepercayaan. Komunikasi bukan sekadar pertukaran kata, tetapi jembatan kepercayaan. Ketika komunikasi terputus, rakyat mulai merasa tidak didengarkan, aspirasinya diabaikan, dan kepentingannya tidak diperhatikan.
Lama kelamaan, ketidakpercayaan tumbuh. Pemimpin dipandang sebagai pihak yang hanya mengurus kepentingan pribadi, kelompok elite, atau birokrasi semata. Begitu kepercayaan retak, legitimasi kepemimpinan menjadi rapuh, walau secara formal kekuasaan masih di tangan pemimpin.
Kedua, timbulnya salah persepsi dan kecurigaan. Tanpa komunikasi terbuka, informasi yang beredar di masyarakat mudah dipenuhi spekulasi, hoaks, dan fitnah. Rakyat membuat tafsir sendiri atas kebijakan dan tindakan pemimpin. Sementara pemimpin yang tidak mau mendengar atau memahami denyut hati rakyat justru semakin jauh dari realita di lapangan. Akibatnya, kesenjangan persepsi melebar, kecurigaan timbul, bahkan bisa memicu konflik sosial.
Ketiga, melemahnya partisipasi rakyat. Ruang komunikasi yang sehat mendorong partisipasi rakyat dalam proses pembangunan. Ketika ruang itu tertutup, rakyat menjadi apatis. Mereka merasa kontribusi, kritik, atau saran mereka sia-sia. Demokrasi pun menjadi formalitas tanpa makna substansi. Padahal, partisipasi aktif rakyat merupakan salah satu modal sosial penting dalam menciptakan pemerintahan yang kuat dan responsif.
Keempat, potensi konflik sosial. Khusus dalam konteks daerah majemuk seperti Papua, terputusnya komunikasi antara pemimpin dan rakyat bisa berujung pada ketegangan antar kelompok. Ketidakpuasan yang tak tersalurkan dapat berubah menjadi kecemburuan sosial, ketegangan etnis, atau bahkan perlawanan terbuka terhadap kebijakan pemerintah. Apalagi di daerah yang pernah mengalami luka sosial dan politik, komunikasi yang buruk bisa memicu trauma kolektif yang berbahaya.
Kelima, kebijakan tidak tepat sasaran. Pemimpin yang tidak mendengar suara rakyat akan gagal memahami kebutuhan nyata masyarakat. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan cenderung elitis, tidak efektif, bahkan kadang memunculkan resistensi. Pembangunan berjalan tapi tidak dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Hal ini makin memperlebar jarak psikologis antara pemimpin dan yang dipimpinnya.
Kualitas komunikasi
Memelihara kualitas komunikasi pemimpin dan rakyat harus menjadi komitmen utama. Pemimpin harus belajar mendengar sebelum memutuskan. Media komunikasi formal dan informal perlu dihidupkan: dialog terbuka, musyawarah kampung, forum masyarakat adat, media lokal, hingga platform digital yang sehat.
Sementara rakyat juga perlu diberi ruang aman untuk menyuarakan pendapat tanpa takut diintimidasi. Ketika komunikasi tumbuh sehat, kepercayaan akan tumbuh, partisipasi meningkat, dan stabilitas sosial terjaga.
Sejarah banyak mengajarkan kita bahwa kehancuran banyak rezim dimulai bukan dari krisis ekonomi, tetapi dari krisis komunikasi yang merusak kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya. Tanah Papua adalah mozaik indah yang kaya budaya, suku bangsa, dan alam yang luar biasa.
Di dalamnya hidup beragam suku asli Papua —baik dari wilayah pegunungan maupun pesisir— serta saudara-saudara non-Papua yang datang dari berbagai penjuru nusantara. Keanekaragaman ini bukanlah sekadar fakta demografis, melainkan realitas sosial yang harus dipahami secara arif dalam membangun relasi antara pemimpin dan rakyat.
Dalam konteks Papua, merawat relasi pemimpin dan rakyat berarti membangun jembatan kepercayaan yang kokoh di tengah keberagaman latar belakang sosial-budaya dan pengalaman sejarah yang tidak selalu mudah. Relasi ini tidak boleh hanya bersifat formal administratif, tetapi harus menyentuh ruang-ruang hati, menghargai martabat, dan mengakui eksistensi serta kontribusi setiap kelompok. Relasi dimaksud dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama, pemimpin di Papua —baik yang lahir dari masyarakat adat maupun dari unsur pemerintahan— perlu menunjukkan sensitivitas budaya. Setiap kebijakan yang dibuat harus dilandasi pemahaman mendalam atas adat istiadat, kearifan lokal, serta nilai-nilai yang hidup di masing-masing komunitas. Rakyat pegunungan memiliki dinamika sosial yang berbeda dengan rakyat pesisir. Sementara kehadiran masyarakat non-Papua membawa dimensi baru dalam interaksi sosial yang perlu dikelola secara bijak.
Kedua, keterbukaan komunikasi menjadi kunci. Pemimpin yang berhasil di Papua bukanlah mereka yang sekadar mengatur dari balik meja kekuasaan, melainkan yang mau turun ke akar rumput, berdialog, mendengar jeritan hati rakyat, dan membangun rasa memiliki bersama. Relasi pemimpin-rakyat di Papua harus menumbuhkan perasaan ‘kita semua bagian dari tanah ini’, bukan sekadar ‘kami dan mereka’.
Ketiga, keadilan sosial harus menjadi pondasi utama. Papua, dengan segala kekayaan alamnya, masih menyisakan ketimpangan yang mencolok. Relasi pemimpin dan rakyat akan retak bila ketidakadilan dibiarkan berlangsung. Karena itu, pemerataan pembangunan, afirmasi hak-hak dasar orang asli Papua, serta pemberdayaan seluruh elemen masyarakat —termasuk non-Papua yang sudah lama menetap— menjadi bagian tak terpisahkan dalam merawat relasi yang sehat.
Upaya merawat relasi pemimpin dan rakyat di Papua bukanlah proyek jangka pendek, tetapi sebuah proses panjang yang butuh komitmen, keikhlasan, kesabaran, dan ketulusan hati. Bila relasi ini dirawat dengan baik, Papua bukan sekadar menjadi tanah damai, tetapi juga contoh indah tentang bagaimana keberagaman dapat menjadi kekuatan sejati dalam membangun peradaban bangsa.