Memutus Mata Rantai Kekerasan di Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Memutus Mata Rantai Kekerasan di Papua

Frans Maniagasi, pengamat politik lokal Papua. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Frans Maniagasi

Pengamat Politik Lokal Papua

PERISTIWA kekerasan yang dilakukan anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sayap militer Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) terjadi di Distrik Anggruk, Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan, pada Minggu (23/3) mengakibatkan ibu guru Rosalia Rerek Sogen meninggal. 

Enam rekan guru Sogen lainnya, yaitu Dionisia Taroci More, Vantiana Kambu, Paskalia Peni Tere Liman, Fidelis De Lena, Kosmas Paga serta tenaga medis Irawati Nebobohan, mengalami luka-luka. 

Tak lama berselang, pada Minggu-Senin (6–7/4) terjadi lagi pembantaian terhadap 11 pekerja tambang ilegal di areal pendulangan emas lokasi 22 di Muara Kum, Yahukimo oleh TPNPB-OPM. 

Sebelumnya, pada Minggu-Kamis (23/3–3/4) TNI melancarkan operasi skala besar menggunakan helikopter dan drone menebarkan teror dan mengorbankan masyarakat sipil Provinsi Papua di Sugapa, Hitadipa, Intan Jaya dan sekitarnya. Kejadian ini mengakibatkan ribuan orang mengungsi mencari perlindungan dari ancaman kematian (Jubi, 24/3). 

Peristiwa yang terjadi berturut-turut dalam bulan Maret hingga April bahkan sebelumnya, menyisakan pertanyaan penting yaitu bagaimanakah memutus mata rantai kekerasan di Papua. Pertanyaan lainnya: apakah kekerasan sengaja dibiarkan —terjadi pembiaran— dan cenderung diabadikan. Bagaimanakah upaya pemerintah untuk mengakhiri kekerasan di wilayah ini.

Berbagai pertanyaan itu membutuhkan jawaban yang pasti dan upaya konkrit agar konflik dan kekerasan dapat diakhiri. Ironinya, masyarakat Papua menyaksikan dengan mata telanjang dan transparan pemerintahnya sendiri berusaha keras dengan berbagai upaya diplomasinya mengakhiri kekerasan di Palestina. 

Bahkan Presiden Prabowo Subianto berencana mengevakuasi dan merelokasi para korban kekerasan rakyat Palestina di jalur Gaza ke Indonesia. Namun dalam negeri khususnya di tanah Papua, hal yang sama pun menuntut adanya solusi  menghentikan  kekerasan.

Pendekatan komprehensif

Untuk memutus mata rantai kekerasan di Papua memerlukan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan. Ada sejumlah langkah yang dibutuhkan. Pertama, dialog dan komunikasi yang efektif antara pemerintah, aparat TNI-Polri, masyarakat Papua, dan kelompok sipil bersenjata TPNPB-OPM yang terlibat dalam konflik dan kekerasan. 

Kedua, mesti ada pengakuan dan pengampunan mengakui adanya kesetaraan antara para pihak untuk menyelesaikan konflik dan kekerasan serta memberikan pengampunan kepada pihak yang terlibat dalam konflik. Ketiga, penegakan hukum mengoptimalkan pengamanan dan penegakan hukum dengan memprioritaskan pendekatan humanis dan berbasis hak asasi manusia. 

Pentingnya pendekatan yang komprehensif meliputi sejumlah aspek. Pertama, mengakui kompleksitas masalah Papua dan tidak menyederhanakannya dengan mengklaim solusinya hanya melalui pendekatan keamanan atau pembangunan.

Meminimalisasi berbagai sebutan dan cap yang diskriminatif terhadap orang asli Papua seperti separatis (me), kelompok kriminal bersenjata (KKB) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM). 

Istilah OPM ini genuinenya dari aparat keamanan (TNI-Polri) dan kejaksaan tatkala pertama kali yang menurut Mayjen TNI Samsudin (1984), Nazaruddin Sjamsuddin (1989), John RG Djopari (1993), dan Drooglever (2010) menyebut pemberontakan dilakukan TPNPB tahun 1965, yang dipimpin Awom dan Mandatjan bersaudara di daerah kepala burung Sorong dan Manokwari, Papua Barat. 

Kedua, melibatkan para pihak yang terkait dalam proses penyelesaian konflik dan kekerasan, baik pemerintah, aparat TNI-Polri, masyarakat Papua, dan kelompok TPNPB-OPM. Dengan memprioritaskan dan memastikan bahwa solusi yang dihasilkan bermanfaat bagi wilayah ini  dan para pihak yang berkonflik.

Belajar dari kesalahan

Memang mesti diakui pada awalnya akan diperhadapkan dengan tantangan tatkala pembicaraan untuk mengakhiri konflik dan kekerasan ini. Menurut pendapat penulis ada beberapa hambatan seperti klarifikasi sejarah “penyatuan” Papua pada 1 Mei 1963 dengan Republik Indonesia.

Implikasi historis-politis pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969, terutama dampak yang diwariskan yang dirasakan dan dialami oleh orang asli Papua hingga saat ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah Papua. Kemudian, penyelesaian berbagai kasus pelanggaran kejahatan kemanusiaan, baik yang dilakukan oleh aparat keamanan atas nama negara maupun TPNPB-OPM.   

Namun, sebagai bangsa yang besar menurut hemat penulis, pemerintah dalam hal ini Presiden Prabowo Subianto selaku kepala pemerintahan dan kepala negara maupun Panglima Tertinggi TNI mengambil inisiatif dan memprakarsai dialog dengan tokoh-tokoh kunci bangsa, termasuk di tanah Papua, dengan memberikan kewenangan penuh kepada pemegang otoritas di pemerintahan menunjuk salah satu pejabat.

Langkah ini juga seperti kasus Aceh di mana saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk Wakil Presiden Presiden Jusuf Kalla dan didukung oleh tim kerja yang solid untuk melakukan diskusi dengan berbagai komponen dan kelompok masyarakat. 

Komponen atau kelompok dimaksud, baik di dalam dan luar negeri, terutama juga meyakinkan pusat-pusat kekuasaan seperti TNI-Polri dan kelompok TPNPB-OPM, dan stakeholders terkait untuk memulai langkah-langkah membangun saling percaya (trust).

Tantangan ini mestinya dipandang sebagai peluang, bukan sebagai ancaman baik terhadap integritas keutuhan wilayah NKRI atau pun tuntutan Papua merdeka yang masing-masing seyogyanya tidak memegang prinsip dan memasang harga mati. 

Meminjam asas falsifikasi Karl Popper (1934), justru sesuatu yang salah itu dapat diuji sehingga memperoleh kebenaran atau belajar dari kekeliruan atau kesalahan untuk memperoleh kebenaran.

Kebenaran menjadi pengikat sebagai komitmen bersama tanpa mengklaim bahwa ada pihak yang salah dan benar. Namun, yang menjadi tujuan pada akhirnya rekonsiliasi mengakhiri konflik dan kekerasan sehingga pada muaranya memperkokoh national building keindonesiaan. Identik dengan penyelesaian masalah Aceh, mengakhiri konflik dan kekerasan menjadi prioritas utama. 

Komitmen dan keputusan merekonstruksi serta memperbaharui ikatan kebangsaan antara Pemerintah, masyarakat Papua, aparat TNI-Polri dan TPNPB-OPM guna mengantarkan pada kehidupan yang lebih damai tanpa adanya konflik dan kekerasan. 

Sehingga pemerintah, masyarakat Papua, aparat TNI-Polri, TPNPB-OPM terbangun relasi kemitraan yang efektif dan kolaboratif menampik jauh-jauh konflik dan kekerasan di atas tanah Papua. 

Dengan pendekatan komprehensif dan berkelanjutan diharapkan dapat memutus mata rantai kekerasan di Papua dan membangun masa depan yang lebih baik dalam kerangka NKRI. Semoga. 

Tinggalkan Komentar Anda :