Oleh: Yakobus Dumupa
(Mahasiswa Program Doktor Antropologi, Universitas Cenderawasih, Jayapura)
PAUS Fransiskus telah memberi warna baru dalam arah perjalanan Gereja Katolik dan percakapan dunia modern tentang keadilan, perdamaian, dan keberlanjutan. Gaya kepemimpinannya yang sederhana, dekat dengan umat, serta keberaniannya dalam menyuarakan isu-isu sosial dan lingkungan menjadikannya figur yang melampaui sekat agama. Ajaran dan teladannya menjadi sumber inspirasi, tidak hanya bagi umat Katolik, tetapi juga bagi banyak orang yang merindukan dunia yang lebih adil dan manusiawi.
Di Indonesia, yang dikenal dengan keberagaman budaya, agama, dan tantangan sosial yang kompleks, semangat Paus Fransiskus menemukan ladang yang subur untuk ditanam. Namun, membumikan ajaran itu bukan soal mengutipnya dalam homili atau seminar semata, tetapi menerjemahkannya ke dalam praksis kehidupan sehari-hari—dalam keluarga, komunitas, pelayanan gereja, dan ruang publik. Gereja dan umat Katolik Indonesia dipanggil untuk menjadi wajah Injil yang hidup di tengah bangsa ini.
Tulisan ini mencoba menyoroti empat aspek utama dari ajaran Paus Fransiskus yang sangat relevan untuk Indonesia: perhatian kepada mereka yang di pinggiran, ekologi integral, dialog antaragama, dan semangat sinodalitas. Keempatnya bukanlah isu terpisah, tetapi saling terhubung dalam kerangka kasih, keadilan, dan solidaritas yang menjadi roh ajaran Kristus.
Menyapa Dari Pinggiran
Salah satu pesan paling kuat dari Paus Fransiskus adalah pentingnya memusatkan perhatian Gereja kepada mereka yang ada di pinggiran kehidupan. Baginya, Yesus selalu berpihak kepada orang miskin, orang berdosa, orang sakit, dan mereka yang tersingkir dari masyarakat. Paus mengajak Gereja untuk meninggalkan zona nyaman dan hadir secara nyata di tengah penderitaan umat manusia. Gereja, menurutnya, bukan museum bagi orang kudus, tetapi rumah sakit lapangan bagi mereka yang terluka.
Konteks Indonesia sangat cocok untuk meresapi pesan ini. Di banyak pelosok negeri, masih banyak orang hidup tanpa akses pendidikan yang layak, pelayanan kesehatan yang memadai, atau keadilan sosial yang setara. Masyarakat adat, buruh migran, korban kekerasan, dan kelompok minoritas kerap menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak. Gereja yang benar-benar mendengarkan ajaran Paus Fransiskus akan berani bersuara bagi mereka yang tak punya suara, dan bertindak nyata sebagai pelindung martabat manusia.
Membumikan ajaran ini menuntut perubahan cara berpikir dan cara bertindak. Paroki-paroki harus menjadi pusat perhatian pastoral yang tidak eksklusif. Pelayanan sosial bukan sekadar tambahan, tetapi menjadi inti dari spiritualitas kristiani. Umat diajak bukan hanya berdoa di balik tembok gereja, tetapi juga terlibat aktif dalam membangun solidaritas sosial di tengah masyarakat, tanpa melihat latar belakang agama atau suku.
Ekologi Integral: Merawat Bumi, Merawat Sesama
Dalam Laudato Si’, Paus Fransiskus menyebut krisis ekologis sebagai krisis spiritual dan moral. Ia menekankan bahwa kerusakan lingkungan berkaitan langsung dengan ketidakadilan sosial. Masyarakat miskin selalu menjadi korban pertama dari bencana ekologis, seperti banjir, kekeringan, atau polusi. Karena itu, merawat bumi tidak bisa dipisahkan dari merawat sesama manusia. Ini adalah satu kesatuan yang disebutnya sebagai “ekologi integral.”
Indonesia sebagai negeri yang kaya akan kekayaan alam sedang menghadapi ancaman serius: deforestasi, pencemaran laut, krisis air bersih, dan perubahan iklim. Dalam situasi ini, ajaran Paus Fransiskus menjadi relevan untuk mendorong kesadaran ekologis kolektif. Gereja dipanggil untuk tidak diam saat bumi dirusak demi keuntungan segelintir orang. Spiritualitas ekologis harus menjadi bagian dari pendidikan iman, liturgi, dan aksi nyata komunitas gerejani.
Membumikan ekologi integral juga berarti menjalin solidaritas dengan komunitas-komunitas lokal, terutama masyarakat adat yang selama ini menjaga hutan dan alam. Kearifan lokal perlu diangkat, bukan digusur. Perjuangan melawan eksploitasi alam menjadi bagian dari misi Gereja untuk membela kehidupan. Gerakan kecil seperti penghijauan, pengelolaan sampah, atau konsumsi ramah lingkungan bukan hal sepele, tetapi bentuk konkret dari pertobatan ekologis.
Dialog Antaragama: Merawat Persaudaraan
Paus Fransiskus berkali-kali menegaskan bahwa dunia membutuhkan lebih banyak jembatan, bukan tembok. Melalui berbagai pertemuan dan pernyataan bersama dengan pemimpin agama lain, ia menunjukkan bahwa iman sejati selalu membawa kita kepada kasih dan perdamaian. Dialog antaragama bukan taktik politik, melainkan panggilan iman yang dalam untuk melihat wajah Tuhan dalam diri orang lain yang berbeda keyakinan.
Indonesia dengan keberagaman agama yang luar biasa memiliki peluang besar untuk menjadi teladan dunia dalam membangun peradaban kasih. Namun kita juga menyaksikan berbagai tantangan: intoleransi, ujaran kebencian, dan kekerasan atas nama agama. Di tengah situasi ini, ajaran Paus Fransiskus mendorong umat Katolik untuk menjadi duta-duta dialog, bukan hanya melalui forum resmi, tetapi juga dalam pergaulan sehari-hari, di lingkungan RT, sekolah, tempat kerja, dan media sosial.
Gereja harus aktif membina kerjasama lintas agama dalam proyek-proyek sosial: bantuan untuk korban bencana, layanan kemanusiaan, atau pendidikan karakter. Semangat gotong royong dalam budaya Indonesia bisa menjadi landasan yang kuat. Membumikan dialog berarti menjadikan persaudaraan sebagai gaya hidup, bukan slogan. Dan yang terpenting, umat diajak untuk mengatasi ketakutan terhadap perbedaan dan menggantinya dengan rasa hormat yang tulus.
Gereja Sinodal: Mendengar, Berdialog, Berjalan Bersama
Paus Fransiskus memperkenalkan kembali wajah Gereja yang sinodal, yaitu Gereja yang berjalan bersama seluruh umat Allah. Ia menekankan pentingnya mendengarkan suara umat, membuka ruang dialog, dan memberi peran nyata bagi awam, perempuan, dan kaum muda dalam proses pengambilan keputusan. Sinodalitas bukan sekadar metode organisasi, melainkan cara hidup Gereja yang mencerminkan Injil.
Di Indonesia, di mana Gereja tersebar dalam berbagai budaya dan realitas lokal, semangat sinodalitas menjadi jalan menuju Gereja yang lebih relevan dan partisipatif. Banyak umat awam yang punya kapasitas, pengalaman hidup, dan kebijaksanaan lokal yang berharga. Sayangnya, dalam praktiknya, masih ada budaya hierarkis yang menutup ruang partisipasi. Ajaran Paus Fransiskus mengajak kita untuk meninggalkan gaya kepemimpinan yang kaku dan membuka diri terhadap dinamika zaman.
Membumikan sinodalitas berarti menjadikan Gereja tempat di mana semua orang merasa dihargai dan didengar. Dewan pastoral, kelompok kategorial, dan komunitas basis harus diberi ruang untuk menyampaikan gagasan, sekaligus diajak bertanggung jawab. Ketika Gereja sungguh menjadi rumah bersama, maka umat akan merasa memiliki dan terlibat aktif. Itulah Gereja yang berjalan bersama—dalam terang kasih Kristus.
Melanjutkan Api Ajaran Paus Fransiskus
Warisan Paus Fransiskus bukanlah kumpulan dokumen atau pidato, melainkan api spiritual dan moral yang perlu terus dijaga dan dilanjutkan. Dunia yang sedang dilanda krisis kemanusiaan, ketimpangan, dan krisis lingkungan membutuhkan lebih banyak saksi kasih dan pembawa damai. Umat Katolik Indonesia memiliki tanggung jawab moral dan iman untuk menjadi pelaku perubahan, bukan penonton sejarah.
Membumikan ajaran Paus Fransiskus berarti membawa nilai-nilai Injil ke dalam ruang publik, tanpa kehilangan kerendahan hati. Ini adalah panggilan untuk menjadi Gereja yang berani mendobrak ketidakadilan, Gereja yang menyembuhkan luka-luka sosial, dan Gereja yang merawat ciptaan. Semua itu hanya mungkin jika kita memulai dari hal-hal kecil: menjadi pribadi yang peduli, terbuka, dan bertindak berdasarkan kasih.
Kini, saat Paus Fransiskus telah kembali ke pangkuan Tuhan, semangatnya tidak boleh berhenti di altar atau buku kenangan. Ia harus hidup dalam gerakan, dalam perubahan nyata, dan dalam solidaritas yang melampaui tembok gereja. Karena hanya dengan itulah kita sungguh menjadi murid-murid Kristus di zaman ini.