Cerpen Yulizar Lubay: Bayang-bayang Kebun Karet - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Cerpen Yulizar Lubay: Bayang-bayang Kebun Karet

Foto ilustrasi: Krishnamurti Suparka

Loading

Di tengah siaran berita nasional tentang bahaya gerhana matahari total, warga Kampung Kebun Karet digegerkan dengan penemuan mayat seorang lelaki yang tergeletak di pinggir jalan sepi. Ketakutan menyebar cepat sekali. Di warung-warung kopi, warga mulai membahas tentang seseorang atau beberapa orang yang berjuluk Bayang-bayang. 

Di warung kopi, para lelaki duduk melingkar dengan suara ditekan, kadang dengan tangan tetap mengaduk kopi yang sudah dingin, kadang dengan mengeraskan volume radio yang memutar lagu dangdut Rhoma Irama. 

Dua hari kemudian, di pagi yang dingin karena gerimis tu- run sampai siang, jantung Ismaria seperti ditujah pisau dapur. Salah seorang warga bertubuh jangkung dengan punggung melengkung berkata kepadanya, “Sekarang giliran suamimu. Dia ada di kebun karet dekat jembatan kuning.” 

Pagi itu Ismaria tak berminat untuk bertanya lebih lanjut. Ia berjalan cepat di tanah yang becek dan lengket. Ia sangat mengenali kebun karet itu seperti mengenali urat di punggung tangannya sendiri. 

Pohon-pohon karet berbaris diam dan basah seperti sedang menyesal karena telah telat membaca doa tolak bala. Ismaria menyibak semak-semak. Ada sesuatu di bawah tumpukan daun gugur: sandal, kaki, dan tubuh yang telentang. Sepasang mata beloknya terbelalak, tapi tak mampu menatap ke sana. Mulutnya terbuka, seperti hendak menyebut nama, tapi sesuatu yang lebih mengerikan telah lebih dulu menahannya. 

Ismaria terduduk lama sekali di rumput basah. Ia tak mampu menyentuh apa-apa, tak mampu bersuara. Angin membawa bau anyir ke hidungnya yang sedikit mancung. Ia memejam, lalu bersusah payah berdiri. Ismaria tak sanggup membawa tubuh itu pulang. Ia berjalan sambil menunduk layu, masuk ke rumah, dan berbaring gelisah di ranjang 

Malam harinya, Ismaria merebus air. Api di tungku mendesis pelan. 

Setelah mendidih, Ismaria menuangkan air itu ke cangkir kaleng kecil berwarna hijau dan putih. Ia menyeduh teh manis. la melangkah, mengambil kursi kayu, lalu duduk dekat jendela. Sinar bohlam kuning tak cukup mampu untuk menerangi wajahnya yang berduka. 

Orang-orang berdatangan, lalu bertanya hati-hati. Ada yang membawa beras, gula, atau sekadar ucapan duka. Ismaria mengangguk, dan hanya sanggup mengangguk. Kata-katanya telah berhasil dirampas oleh dua biji tangkil panas yang menembus kepala dan dada suaminya. 

Dua hari berselang, satu tubuh tanpa nyawa ditemukan. Lalu satu tubuh lagi tiga hari kemudian. Lalu satu tubuh lagi pada empat hari berikutnya. Ada yang di tengah kebun karet, di tepi kali, dan di pinggir jalan sepi. 

Anak-anak mulai dilarang bermain setelah senja. Ibu-ibu menutup pintu dan jendela sebelum isya. Para suami berhenti berkumpul di warung kopi. Ada yang membakar tanda pengenal. Ada yang meninggalkan rumah tanpa pesan. Semua tahu, tapi tak berani bilang. Semua melihat, tapi tak berani memberi kesaksian. 

Ismaria juga tak berani melapor ke siapa-siapa. Termasuk ke Lurah Hasan, apalagi ke pihak kepolisian. 

Namun, tanpa bisa diduga, Lurah Hasan datang menawarkan bantuan kepada Ismaria. Ia berdiri di depan pintu seolah seperti saudara dekat. Matanya tak pernah menatap mata Ismaria. Mata itu menatap lurus ke arah dada si janda. Ia bicara dengan suara rendah penuh muslihat dan tangan bersedekap. “Kalau perlu apa-apa, bilang saja sama saya.” 

Ismaria tak menjawab. Ia tahu, Lurah Hasan sangat membenci Sarman, suaminya. 

“Sudah takdirnya begitu.” Si Lurah berkata singkat. 

Ismaria menghela napas berat. Ia hanya tahu bahwa Sarman pemberani, dan keberanian adalah musuh besar Lurah Hasan. Ismaria tahu pula dengan pasti bahwa kebencian bisa menjalar secepat api. 

Setelah Sarman ditemukan mati di kebun karet, Lurah Hasan makin sering mampir ke rumah Ismaria. Kadang ia membawa buah, kadang juga hanya sekadar bertanya kabar. Tapi Ismaria cuma diam. Lurah Hasan merasa dirinya seperti berbicara kepada sebatang pohon karet. 

Beberapa bulan setelah kematian Sarman, Jati, anak lelaki semata wayang Ismaria dan Sarman, dikirim Lurah Hasan ke ibu kota. Si Lurah yang mengurus semuanya ongkos bus, tempat tinggal, dan pekerjaan Jati sebagai kuli ba- ngunan. “Anak laki-laki harus belajar hidup mandiri,” kata Lurah Hasan setelah menyodor- kan beberapa lembar uang dalam amplop kepada Ismaria. 

Ismaria tak punya alasan kuat untuk menolak. Semua sudah disusun Lurah Hasan. Perem- puan itu hanya diberi kabar saat semua persiapan telah dibereskan Si Lurah. Sementara itu Jati, setelah beberapa lama merantau, hanya pulang sekali. Selanjutnya tak ada kabar lagi, kecuali kabar bahwa beberapa waktu kemudian mayatnya ditemukan mengambang di pinggir kali. “Jati punya gambar di tangan kanan. Orang yang punya gambar di badan pasti hidupnya ndak aman. Sama seperti Sarman,” kata Lurah Hasan kepada Ismaria pada suatu malam yang dingin. 

Semasa hidup, Sarman memang pernah jadi singa pasar dan terminal. Anak buahnya bahkan jadi tukang palak saat film-film layar tancap kerap diputar di lapangan. Selain itu, diam-diam, Sarman juga melatih semua anak buahnya belajar silat di tengah kebun karet. Mereka membangun pondok kayu di sana. Diam-diam pula Lurah Hasan pernah sekali melihat latihan mereka. Namun, begitulah, tak banyak yang tahu soal gambar di badan Sarman kecuali anak buahnya, Lurah Hasan, Taji, dan Ismaria. 

Setelah kematian Sarman, yaitu sehari setelah terjadi gerhana matahari total, seorang tamu asing datang dari kota dengan pakaian rapi dan sepatu hitam. Wajahnya dingin dan kaku. Si Tamu sempat berkunjung ke rumah Ismaria dan bertanya soal penemuan mayat di Kampung Kebun Karet. Ismaria tak bisa bicara, hanya menatap kosong ke arah wajah tamunya. 

Setelah pertemuan itu, si tamu tak pernah datang lagi, atau jangan-jangan Ismaria yang tak tahu dan tak peduli bahwa si tamu belum pergi dari kampung itu dan menginap di rumah Lurah Hasan. 

Hari-hari berjalan lambat dan menekan, terutama saat malam. Ismaria sudah tidak berduka, tapi masih sering merasa hampa. Ia jadi lebih rajin duduk melamun sambil memandang kegelapan melalui jendela. 

Saat Ismaria memandang kegelapan pada suatu malam, seekor burung hantu tiba-tiba bertengger di jendela rumahnya. Burung itu diam cukup lama sebelum kembali terbang entah ke mana. Ismaria tak takut, ia justru mengantuk dan tertidur sampai pagi dengan mimpi melihat mayat Jati mengambang di kali. 

Suatu sore, tanpa sengaja Ismaria melihat seorang lelaki asing berdiri di beranda rumah Lurah Hasan. Tubuhnya tegap, berseragam serba putih, dengan sepatu yang juga putih. Matanya bersinar seperti sinar mata harimau kelaparan. 

Lelaki itu melihat Ismaria sebentar, tersenyum samar, lalu masuk ke rumah Lurah Hasan. Ismaria merasa seperti pernah bertemu lelaki itu. Kening Ismaria berkerut, mencoba mengingat-ingat. Ia menghela napas cepat sebelum berbalik badan dan melangkah pulang ke rumah. 

Setelah pertemuan sekilas hari itu, Ismaria jadi sering melihat bayangan orang yang pernah dilihatnya di rumah Lurah Hasan berkelebat di mana-ma-na; di kebun karet, di tengah pasar, di terminal, dan jembatan. Ismaria memanjatkan doa tolak bala sebanyak yang ia bisa. 

Seiring berjalan waktu, warga Kampung Kebun Karet terbiasa menyebut orang asing itu dengan julukan Bayang-bayang Tak ada yang tahu nama aslinya, tak ada yang tahu asal-usulnya. 

Pada malam-malam yang tak diketahui Ismaria dan penduduk kampung, orang yang dipanggil Bayang-bayang itu sering sekali mengobrol secara rahasia dengan Lurah Hasan. Dalam obrolan itu, nama dan alamat beberapa orang disebutkan. Setelah obrolan selesai, Bayang-bayang cepat berkelebat keluar sambil mengantongi daftar nama yang diincar. Esok paginya, berita duka lekas me- nyebar ke mana-mana, tanpa suara, dingin, dan menyesakkan dada. 

Orang-orang kampung tahu apa yang terjadi, tapi mereka hanya bisa berdiam diri. 

Hari terus berjalan, hingga semua nyawa anak buah Sarman dikabarkan melayang, dan Bayang-bayang sudah tak lagi rajin berkelebat dan berkeliaran. 

Di Kampung Kebun Karet, tak pernah ada pemakaman bagi Sarman dan kawan-kawannya. Namun, seperti yang bisa dilihat, beberapa belas batang pohon karet di kebun itu diikat dengan kain kuning yang dijadikan tanda duka Entah siapa yang melakukannya. Mungkin warga kampung. Mungkin pula Ismaria. Tak seorang pun dapat memastikannya. 

Tak satupun warga mau menyentuh kain kuning yang terikat di batang-batang pohon itu. Tak seorang pun pula berani menyadap getahnya. Untuk sementara waktu, pohon-pohon itu dibiarkan berdiri menjadi saksi, sampai mereka tua dan hampir mati, sampai mereka ditebang bertahun-tahun kemudian untuk dijadikan kompleks perumahan. 

Sementara itu, Lurah Hasan, pada suatu malam yang ganjil, tiba-tiba saja muncul di depan rumah Ismaria. Sepasang matanya liar dan napasnya memburu diamuk nafsu. 

Bukannya mengetuk, Lurah Hasan justru menggedor dan mendobrak pintu rumah Ismaria yang kayunya memang sudah lapuk. Hanya sebentar Is- maria bisa mempertahankan kehormatannya. Ia terpaksa menangis saat Lurah Hasan menindih sambil menjambak rambutnya yang panjang sebahu, menggumulinya, lalu pergi begitu saja dari rumahnya. Is- maria menangis untuk pertama kalinya sejak ia menikah dengan Sarman dan suaminya itu ditemukan mati di kebun karet. 

Penduduk kampung tahu apa yang terjadi pada Ismaria, tapi mereka tak bisa berbuat ара-ара. 

Dengan segala upaya, Ismaria lalu memutuskan untuk menua dengan satu tekad bulat membunuh diri jika sampai Lurah Hasan berani memerkosanya lagi. Namun, entah apa sebabnya, setelah malam yang menjijikkan itu, Lurah Hasan tak pernah lagi datang ke rumah Ismaria. Satu kabar burung beredar bahwa Lurah Hasan beserta keluarganya telah pindah ke ibu kota bersama Bayang-bayang Hidup enak dan mapan dengan gaji besar. 

Sementara itu, suatu malam, beberapa tahun kemudian, saat berita nasional rajin mengabarkan bahwa kemiskinan telah berhasil dientaskan, sambil duduk meminum teh manis hangat, Ismaria tua membuka jendela. Kenangan pahit menyeruak tiba-tiba, lalu menjulurkan lidahnya. 

Ismaria menghela napas, mencoba merelakan semua miliknya yang sudah pernah dirampas. 

Lampung, 2025 

Yulizar Lubay, lahir di Lampung, 1986. Menulis cerpen sejak 2010. Cerpennya yang berjudul “Kabar Gembira” terhim pun dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2022. Sehari-hari bergiat di Komunitas Berkat Yakin Lampung sebagai aktor teater.

Sumber: Kompas, Minggu, 29 Juni 2025

Tinggalkan Komentar Anda :