Ignas Seda: Transmigran yang Pernah Makan Dedak Padi di Merauke
Sosok  

Ignas Seda: Transmigran yang Pernah Makan Dedak Padi di Merauke

Ignas Seda. Foto: Dok penulis

Loading

Transmigran di Papua seperti Kabupaten Merauke, Provinsi Papua (kini Provinsi Papua Selatan) tempo doeloe, kerap dianggap sebagai kelompok paling sial. Tertinggal dalam banyak hal di lokasi sentra pertanian (SP) adalah kenyataan.

GAMBARAN kemiskinan, ketertinggalan, kelompok paling dikasihani kala itu, ujar Ignas, selalu melekat. Ibarat pil pahit. Setiap diminum untuk kesehatan. Namun di luar itu, transmigran adalah komunitas yang berjasa besar dalam pertumbuhan kampung, penopang ekonomi warga kampung tak hanya di pelosok hutan namun juga di kota-kota distrik hingga kabupaten di tanah Papua.

Ignas masih ingat saat dibawa bapa dan mama dari kampung, perbatasan Maumere dan Ende mengikuti transmigrasi di Merauke. Kala itu ia baru berusia lima tahun dan adiknya masih kecil. Mereka naik pesawat herkules dari Maumere menuju Merauke.

“Awal-awal terasa sangat sulit. Saya ingat bapa dan mama saya ambil dedak padi. Bapa saya ikat di karung kemudian ditumbuk halus lalu dimasak dan kami makan bersama,” kata Ignas Seda, anak transmigran di Merauke, kabupaten paling timur Indonesia.

Orangtua Ignas dan sejumlah keluarga dari Flores, Nusa Tenggara Timur, mengikuti program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah tempo doeloe. Tanah Papua adalah pilihan paling pas sekadar mengubah nasib dan peruntungan hidup kelak.

Arti pendidikan

Tatkala tinggal di lokasi transmigrasi di Merauke, ayah dan ibunya setia menggeluti pertanian yang diberikan pemerintah. Oleh kedua orangtua, Ignas kecil masuk sekolah dasar hingga menengah di Merauke.

Prinsip ayah dan ibunya, semiskin-miskinnya keluarga pendidikan adalah jawaban strategis menghadapi tantangan hidup masa depan. Pendidikan formal adalah impian sang ayah, seorang transmigran di pelosok Merauke.

Tuhan menjawab doa dan usaha kedua orangtua. Pendidikan dasar hingga memengah dlewati dengan baik. Prestasi sebagai anak transmigran memihak Ignas.

“Saya kuliah di Sekolah Tinggi Teknologi Masamus Merauke. Selama kuliah saya hanya tidur sejam. Saya pergi bertemu seorang tukang roti. Saya tawarkan diri bekerja membantu menyiapkan adonan bersama karyawan lain,” kisah Ignas.

Ia menyampaikan, kalau dikasi uang, bisa membantu biaya kuliah. Pemilik pabrik roti itu melihatnya agak lama. Dalam benak Ignas, mungkin si pemilik pabrik merasa ibah dengan tampang anak Flores ini. Lalu beliau oke.

“Uang hasil kerja saya simpan untuk biaya kuliah sampai selesai meraih gelar sarjana telnik sipil. Bahkan tiga adik saya juga saya bayar uang sekolah mereka,” ujar Ignas.

Celakanya, hanya berselang setahun bekerja di usaha roti itu Ignas diberhentikan. Pangkal soalnya, ada insiden kerusakan mesin saat rekannya mengganti jam kerja karena Ignas ijin mengikuti ujian.

Si pengusaha itu menderita puluhan juta akibat keteloderan teman Ignas yang mengganti jam kerjanya. Ignas meminta jam kerjanya digantikan sementara karena ia akan mengikuti ujian.

Namun naas. Saat adonan masuk oven, sang teman lupa menutup pintu oven sehingga oven ambruk. Meski kesalahan itu dilakukan temannya saat bekerja, Ignas juga ketiban sial karena tercatat nama karyawan yang bertugas saat itu meski diisi orang lain.

“Saya akhirnya berhenti tepat satu tahun. Saya kemudian menjadi buruh bangunan sekadar mencari uang tambahan untuk membantu orangtua biaya makan minum keluarga,” ujarnya.

Tak ada kesulitan. Ia bergaul dengan siapa saja. Berteman tanpa memandang suku ataupun asal usul. Sikap itu perlu dan harus agar bisa diterima di mana saja. Disiplin ilmu teknik selama kuliah juga sangat membantu.

“Kalau dulu awal-awal di Merauke makan dedak padi, sekarang tak ada lagi. Tuhan menyediakan nasi berlimpah melalui kerja keras. Saya membuktikan juga bahwa transmigran adalah kelompok penting dalam ikut menciptakan pertumbuhan ekonomi baru di sentra-sentra lahan pertanian dan hutan di seluruh pelosok hutan belantara Merauke,” katanya.

Potensi lokal

Perlahan Ignas mulai memikirkan bagaimana potensi Merauke dan sekitarnya perlu dikembangkan melalui tangan para transmigran seperti keluarganya maupun transmigran lainnya seperti di Kabupaten Mappi, Boven Digoel,  Asmat atau Pegunungan Bintang.

Kabupaten-kabupaten itu sangat potensial. Pertumbuhan ekonomi warga masyarakat terutama di kampung-kampung maupun distrik mulai terasa. Namun, kesulitan yang dihadapi warga masyarakat di sejumlah lokasi transmigrasi adalah akses jalan yang menghubungkan satu wilayah dengan wilayah lainnya.

“Saya beranikan merintis usaha sendiri. Saya berpikir, masyarakat lokal punya jiwa pekerja keras. Namun, bagaimana memasarkan produk ke kampung lain atau kota kalau akses jalan masih menjadi persoalan serius? Saya kerap protes dalam hati. Hasil pertanian masyarakat di kampung atau distrik di lokasi transmigrasi sangat banyak. Tapi ongkos transportasi lebih mahal,” ujar Ignas.

Presiden Jokowi dan kementerian perhubungan, ujar Ignas, perlu memikirkan menyediakan kereta api khusus di wilayah Kabupaten Merauke, Mappi, Boven Digoel dan Pegunungan Bintang.

“Kereta api itu khusus untuk mengantar hasil pertanian agar kebutunan warga di kabupaten-kabupaten itu terpenuhi,” kata Ignas, pengusaha lokal yang saat ini tengah merintis Trans Coffee, kopi dalam kemasan yang dicampur jahe ala Flores, kampung halaman.

Trans Coffee

Terkait Trans Coffee yang ia rintis, pihaknya sempat berupaya bertemu Menteri Pertanian Republik Indonesia Syahrul Yasin Limpo dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim  Iskandar (kala itu).

Tujuannya, para menteri terkait memberikan perhatian khusus bagi usaha-usaha warga masyarakat lokal seperti para petani di lokasi transmigrasi melalui program-program pemberdayaan masyarakat di desa-desa atau kampung-kampung di tanah Papua.

Perhatian para menteri ini untuk menjawabi komitmen Presiden Joko Widodo memajukan warga masyarakat Papua yang bermukim di pelosok-pelosok hutan dan gunung.

“Saya sudah berusaha bertemu dengan Pak Syahrul Yasin Limpo dan Pak Abdul Halim. Saya berniat bicara langsung agar mereka bisa memberikan perhatian kepada masyarakat di sana, tertama para petani di lokasi transmigrasi,” katanya.

Menurut Ignas, etos kerja masyarakat sudah ada, tinggal para menteri memberikan rangsangan dalam bentuk modal usaha agar warga juga maju seperti saudara saudari di wilayah lain.

“Trans Coffee yang saya rintis saat ini, misalnya, menjadi kopi yang sangat diburuh karena citarasanya berbeda. Saya keluar masuk hutan dan kampung membeli kopi petani. Sayangnya biaya transportasi dan jalan masih jadi ganjalan berat,” kata Ignas.

Kisah keunikan Merauke dan tanah Papua, Ignas abadikan dalam Cahaya Lentera, novel berlatar kehidupan di lokasi transmigrasi. Novel itu sudah mengisi perpustakaan tak hanya dalam tapi juga luar negeri.

Dalam novel karyanya itu, Ignas melukiskan tokoh Aprie Angeline dari kota Sorong. Aprie kuliah di jurusan kedokteran di sebuah universitas negeri kenamaan di Indonesia ternyata membuat Apri depresi dan jatuh dalam masa kekelaman.

Semangat gadis itu tak surut. Ia berusaha mencari jalan agar dapat mencapai kesuksesan namun dalam bentuk yang lain. Jatuh bangun bisnis, terjun ke dunia sinetron sampai meraih kesuksesan dalam bisnis dan berpenghasilan ratusan juta rupiah.

“Dengan sisa keyakinan yang masih ada saya terus memproduksi semangat setiap hari. Sedikit pun pikiran saya tak boleh memberi tempat pada keraguan. Saya yakin, di dalam kesulitan seperti apa pun, Tuhan adalah lentera terbaik dan paling bisa diandalkan. Saya selalu mengajak Tuhan ke mana pun saya melangkah,” kata Ignas.

Presiden Jokowi, kata Ignas, tentu tahu sulitnya kondisi Papua yang bertabur ngarai, jurang, lembah. Namun, Papua, surga kecil itu akrab bagi orang-orang kecil; surga penuh susu dan madu. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)

Tinggalkan Komentar Anda :