Tahun 1927 Cristian Rettob bersama dua rekan guru memantapkan hati dan cintanya demi kemajuan peradaban masyarakat Mimika, Papua Tengah. Tahun 1939, Caspar Rettob menyusul Cristian, ayahnya ke Mimika. “Saat usia 19 tahun, ayah saya tinggalkan Kei menyusul kakek menjadi guru di Mimika,” ujar Johannes Rettob mengenang Caspar, ayahnya.
PADAHAL, saat menyusul Cristian Rettob ke Mimika, Caspar Rettob, ayah Pelaksana Tugas Bupati Mimika Johannes Rettob, adalah seorang guru muda di Kei, Keuskupan Amboina, Provinsi Maluku. Kala itu Caspar baru berusia 19 tahun. Namun, panggilan jiwa menjadi guru perintis pendidikan, pengajaran agama, pemberdayaan masyarakat lokal di Mimika, lereng Gunung Nemangkawi mendorong Caspar mengikuti jejak Cristian, ayahnya, menjadi guru.
John Rettob, sapaan akrab Johannes Rettob, tak pernah membayangkan, keputusan Cristian melangkah mantap menuju Mimika, Papua Tengah meninggalkan Kei, Maluku, tanah tumpah darahnya. Tak hanya Cristian, puteranya, Caspar Rettob juga mengikuti jejak sang ayah menuju Mimika saat masih berusia 19 tahun.
“Tahun 1927, Uskup Keuskupan Amboina mengirim para pastor dan guru-guru dari keuskupan menuju Fakfak dan Merauke untuk merintis karya Misi. Namun, puluhan tahun jauh sebelumnya, kehadiran kakek dan bapa saya di Mimika bermula dari kebijakan Keuskupan Amboina menugaskan guru-guru dari Amboina, termasuk dari Kei, kampung halaman kami sekitar tahun 1800-an,” kata John Rettob.
Para guru itu dikirim pihak Keuskupan Amboina untuk membuka daerah baru di Mimika. Para guru ini akhirnya ditugaskan Pastor Cornelis Yohan Le Cocq d’Armandville SJ, seorang misionaris Jesuit dari Belanda. Namun, tak lama setelah Pastor Le Cocq tinggal dan bermisi di Mimika, ia meninggal.
Pemukiman baru
John Rettob mengisahkan, tahun 1923, Keuskupan Amboina mengirim lagi para pastor dan guru-guru dari Kei untuk memulai merintis berbagai pemukiman baru sekaligus memulai karya sebagai guru, tukang, guru agama, dan lain-lain di Mimika. Hingga tahun 1927, para pastor dan guru dari Amboina ini menuju lagi ke Fakfak dan Merauke untuk merintis tempat-tempat karya perutusan baru.
“Nah, tahun 1927, kakek saya Cristian Rettob bersama dua temannya diutus ke Mimika. Mereka bekerja selama setahun tetapi belum berhasil membangun masyarakat dan sekolah sehingga mereka kembali ke Kei,” kisah John Rettob.
Pada tahun 1928, Alexander Rettob, kakek John Rettob yang lain dalam rumpun keluarga Rettob bersama tiga rekan guru yang lain bertugas di kampung Paripi. Mereka berhasil berbaur dengan masyarakat dan mulai merintis sekolah-sekolah. Saat itu, untuk pertama kali orang asli Mimika dibaptis menjadi penganut Katolik. Namun, saat itu ketiga kerabat Rettob bersaudara tinggal di Mimika. Kokonao merupakan pusat Pemerintahan Belanda.
Dalam perjalanan selanjutnya, ujar John Rettob, bukan hanya guru-guru yang dikirim dari Kei ke Mimika. Para guru dan tukang yang rata-rata masih berusia belia dikirim Keuskupan Amboina untuk membangun gedung sekolah, gereja, pastoran.
Kala itu, mereka tidak hanya ditempatkan di Kokonao tetapi mulai menyebar ke kampung-kampung. Para guru dan tukang muda itu juga baru sadar. Ternyata masih banyak kampung dan masyarakat asli Papua yang menyebar tak hanya di bibir sungai, di lekuk lembah namun menyasar juga pedalaman, jauh dari Kokonao. Tugas para guru dan tukang kian berat tetapi mereka mengabdi setulus hati.
Kemudian Keuskupan Amboina mulai mengirim guru-guru dan tukang ke Mimika secara bertahap sejak 1927 hingga kalau tak salah tahun 1957. Guru-guru dan tukang mulai berdatangan dari Kei dan wilayah-wilayah lain di Keuskupan Amboina. Total saat itu ada 75 guru.
“Bapa saya diutus ke Mimika saat berusia 19 tahun. Padahal, saat itu ia guru di Kei. Setelah menikah di kampung, ayah saya ke Mimika mengikuti kakek saya yang sudah duluan menjadi guru di sekolah dan mengajar agama. Ayah dan kakek saya bersama rekan-rekan gurunya mulai aktif membangun sekolah-sekolah di wilayah Mimika. Ayah saya tiba di Mimika tahun 1939 setelah opa (kakek) saya tiba di Mimika tahun 1927,” kata John Rettob.
John Rettob mengaku, ayahnya tiba di Mimika dalam usia yang relatif sangat muda. Saat sang ayah dan teman-teman gurunya dari Kei ke Mimika dan tinggal di Mimika, kabar ke keluarga di Kei putus total. Kerabat dan masyarakat di kampung malah menganggap ayahnya bersama rekan-rekan guru dan tukang adalah orang-orang hilang tanpa jejak.
“Kerabat dan keluarga besar di Kei sudah mengundang pastor untuk mempersembahkan Misa Requiem, Misa arwah karena mereka berpikir ayah dan kakek saya sudah meninggal. Misa requiem itu bisa dimengerti karena selama tinggal dan mengabdi di Mimika tak ada kabar dari ayah saya ke keluarga Kei. Apalagi saat itu juga tidak ada alat komunikasi. Sekadar surat-menyurat juga sulit karena tidak ada akses,” kenang John Rettob.
Daerah tertutup
Menurut John Rettob, sang ayah bersama teman-teman guru nyaris kehilangan kontak dengan keluarga dan kerabat di Maluku selama berpuluh tahun mengabdi di tengah masyarakat di pedalaman Mimika kala itu. Sekali lagi, hal itu terjadi karena sejak para guru dari Kei tiba, wilayah Mimika saat itu merupakan daerah yang sangat tertutup dengan dunia luar.
Mimika kala itu belum ada teknologi komunikasi yang bisa memudahkan para guru dan guru agama atau tukang-tukang berkomunikasi dengan orang-orang di kampung halaman mereka. Warga masyarakat lokal di Mimika juga masih hidup di kampung-kampung di pedalaman tanpa bisa berkomunikasi dengan para guru karena faktor bahasa. Kondisi itu membuat para guru dan warga lokal tak saling kenal atau menyapa satu sama lain.
John Rettob mengaku, meski medan pelayanan dan pengabdian sulit dan menantang, para guru dan tukang dari Kei pantang menyerah. Tak berlebihan, sebanyak 75 guru dari Kei mampu bertahan dan mengabdi hingga tahun 1957. Begitu pula sang ayah Caspar Rettob. Meski baru menginjakkan kaki di Mimika tahun 1939, Caspar memilih tinggal dan menghabiskan sisa usia di Mimika.
“Ayah saya sudah menyatu dengan masyarakat lokal. Ia tak mau pulang kampung. Ya, kami semua juga lahir di Mimika. Saat ayah saya tiba di Mimika tahun 1939, dia tinggal di Mimika dan menjadi kepala sekolah pertama di SD Kekwa, Distrik Mimika Tengah hingga Perang Dunia II,” ujar John Rettob.
Saat Perang Dunia II, kisah John Rettob, Jepang memusatkan seluruh armadanya di Kekwa. Hingga kini masih ada bekas peninggalan Perang Dunia II milik Jepang di Kekwa. Saat itu, Jepang tidak bisa masuk ke Kokonao karena pusat kekuatan Belanda di Kokonao.
Menurut John Rettob, saat ayahnya mengajar di Kekwa, ia bersama teman-teman guru asal Kei merintis sekolah dasar (SD) untuk anak-anak penduduk lokal karena mereka semua belum bisa berbahasa Indonesia. Para guru bekerja keras agar anak-anak lokal bisa berbahasa Indonesia.
“Jadi, ayah dan teman-temannya selain menjadi guru, mereka juga harus bisa menjadi tukang, guru agama, tenaga medis, katekis, dan lain-lain. Pekerjaan-pekerjaan itu harus mereka lakukan demi anak-anak lokal Mimika. Tujuannya, anak-anak lokal ini bisa berbahasa Indonesia, cerdas, rendah hati melalui pendidikan untuk bekal masa depan mereka,” kata John Rettob. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)