Sagu dan Beras: Ketersingkiran dan (Kemungkinan) Kebangkitan Pangan Lokal (Bagian Keenam) - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Sagu dan Beras: Ketersingkiran dan (Kemungkinan) Kebangkitan Pangan Lokal (Bagian Keenam)

Telaga Makami, potensi alam dan destinasi wisata di Dogiyai, salah satu kabupaten di wilayah adat Meepago, Provinsi Papua. Alam Papua menyediakan potensi menjanjikan namun perlu juga mendapat perhatian Pemerintah Pusat melalui komitmen anggaran bersumber APBN. Sumber foto: Dok. Fb Yakobus Dogomo

Loading

Oleh Johanes Supriyono
Antropolog

MENGAPA sawah menjadi perwujudan kekuatan negatif? Kita perlu mengetahui faktor-faktor yang mendorong konversi hutan tropis menjadi lahan padi —juga kebun sawit, permukiman transmigran, dan lain-lain.

Pertama, inisiatif pengubahan lahan hutan itu bertolak dari keputusan pemerintah, bukan dari antara orang Papua sendiri. Orang-orang Papua tidak diakui sebagai pemilik tanah sehingga persetujuannya tidak dibutuhkan. Pembangunan pada masa silam, sebelum Orde Baru tumbang, lebih terasa sebagai pemaksaan dengan kekerasan dan lebih sering melibatkan kekuatan militer yang membungkam masyarakat lokal. Kenyataan ini tidak eksklusif di Papua, seluruh tempat di Indonesia mendapatkan perlakuan yang serupa. Barangkali derajat yang membedakan satu tempat dengan tempat yang lain.

Kedua, tujuan konversi itu nyaris tidak mengakomodasi kepentingan atau kebutuhan orang-orang Papua sendiri, bahkan malah membahayakan kehidupan orang Papua. Hutan sebagai ruang hidup orang Papua, dimana mereka memanen sagu, mengambil sumber pangan hewani, serta menjadi unsur penting proses kebudayaan mereka tidak terlalu dianggap.

Bagi orang Mee, bagian-bagian dari hutan merupakan wilayah keramat dimana roh-roh bersemayam. Tempat-tempat tertentu tidak boleh diakses. Pandangan lokal semacam ini kerap diabaikan. Perspektif hutan sebagai kapital yang layak dieksploitasi lebih mengemuka. Alih-alih memberikan harapan lebih baik bagi kehidupan yang sedang berjalan, pencetakan sawah-sawah atau perkebunan apapun —yang selalu disertai dengan kampanye seputar kesejahteraan masyarakat setempat— adalah tindakan yang tidak berbeda dari penghancuran ruang hidup orang Papua.

Ketiga, dalam kehidupan sehari-hari sawah belumlah menjadi arena hidup orang-orang Papua. Jika sekarang kita menemukan generasi Papua yang lebih muda sudah akrab dengan budaya bertani padi, seperti kita lihat di Merauke, itu adalah hasil dari proses belajar. Akan tetapi, kita boleh menengok sejarah sebagaimana dikisahkan oleh orang-orang sederhana untuk mengetahui untuk siapa awalnya sawah itu dibangun. Dan, kita tahu secara cepat bahwa sawah-sawah itu memang bukan untuk orang Papua karena memang orang Papua belum tahu bersawah.

Akan tetapi, dalam imajinasi pemerintah orang-orang Papua mesti pula bisa hidup sebagai petani untuk bekerja mengolah sawah, menyemai padi, menanam bibit, menyiangi, sampai dengan memanen dan bahkan mengupas sekam sampai menjadi beras. Caranya orang-orang Papua ditempatkan di antara penduduk migran supaya bisa melihat dan mencontoh mereka. Maka, temuan ini menggarisbawahi hal yang penting: selain konversi lanskap dari hutan menjadi sawah, konversi terhadap orang-orang Papua untuk menjadi penggarap sawah. Pada lapisan yang lebih dasar ini adalah konversi kebudayaan masyarakat Papua.

Keempat, kehadiran sawah-sawah itu menyertakan pula para migran dari luar Papua yang berkumpul dan terorganisasi serta memiliki keterhubungan dengan aparat-aparat negara. Mereka adalah orang-orang yang hadir di Papua dalam rangka program pemerintah dan mendapatkan sebagian jaminan dari pemerintah berupa jatah pangan, jatah tanah, dan proteksi. Tentu saja yang saya maksud dengan “keterhubungan” itu tidak identik dengan garis komando yang tegas dan bersifat konstan. Namun, secara simbolik mereka adalah kelompok yang diorganisasi, dimobilisasi, dan digerakkan oleh agenda-agenda pemerintah.

Koloni-koloni para migran, yang sampai sekarang masih disebut singkatannya SP, menyodorkan kenyataan kultural yang baru kepada orang-orang Papua. Terlepas dari berbagai masalah yang dihadapi, koloni para migran menjadi kekuatan kultural, kekuatan ekonomi, dan kemudian juga politik, yang membutuhkan respon dari kalangan orang Papua. (Bersambung)

Tinggalkan Komentar Anda :