Dewan Adat Desak Gubernur Kambu Tolak Rencana Investasi Senilai Rp 24 Triliun di Kabupaten Sorong - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Dewan Adat Desak Gubernur Kambu Tolak Rencana Investasi Senilai Rp 24 Triliun di Kabupaten Sorong

Dewan Adat Sub Suku Moi, Anggota MRP Provinsi Barat Daya, dan koalisi masyarakat sipil saat menyatakan sikap menolak rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) berupa industri terpadu berbasis kelapa sawit PT Fajar Surya Persada Group bersama sejumlah konsorsium di Kabupaten Sorong, Papua Barat beberapa waktu lalu. Foto: Istimewa

Loading

SORONG, ODIYAIWUU.comDewan Adat Sub Suku Moi, Anggota Majelis Rakyat Papua Barat Daya, kaum intelektual, mahasiswa, dan perempuan serta koalisi masyarakat sipil mendesak Gubernur Papua Barat Daya Elisa Kambu, S.Sos menolak rencana pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) berupa industri terpadu berbasis kelapa sawit PT Fajar Surya Persada Group bersama sejumlah konsorsium.

Rencana PT Fajar Surya Persada Group bersama konsorsium tersebut digadang-gadang di Kabupaten Sorong, Papua Barat. Total investasi yang digelontorkan senilai kurang lebih Rp 24 triliun.

Rencana investasi tersebut akan menggunakan hutan adat masyarakat di Papua Barat seluas kurang lebih 98.824,97. Rencana itu dikhawatirkan akan mengancam hutan dan ekosistem serta memicu konflik di kalangan masyarakat adat di Papua Barat Daya.

“Proyek Strategis Nasional adalah bencana mematikan yang terorganisir, terstruktur, dan sistematis serta mengancam tanah, hutan, dan manusia Papua di Papua Barat Daya, termasuk masyarakat Kabupaten Sorong,” ujar Kepala Adat Tujuh Sub Suku Besar Moi Pendeta Paulus Kaflok Siphay Safisa, S.Th melalui keterangan tertulis dari Sorong, Papua Barat Daya, Jumat (6/6).

Menurut Safisa, Fajar Surya Persada bersama konsorsium tengah mengajukan permohonan kepada Gubernur Elisa Kambu guna mendukung pembangunan industri pangan terpadu berbasis kelapa sawit dalam rangka mendukung Proyek Strategis Nasional di Papua Barat Daya.

Konsorsium itu terdiri dari lima korporasi besar yaitu PT Inti Kebun Sawit, PT Inti Kebun Sejahtera, PT Sorong Global Lestari, PT Omni Makmur Subur, dan PT Graha Agrindo Nusantara.

Rencana investasi Industri ketahanan pangan berbasis kelapa sawit tersebut diperkirakan akan menggunakan ruang seluas 98.824,97 hektar dengan rincian sebagai berikut.

Total luas areal PT Fajar Surya Persada sekitar 176,34 hektar. Perinciannya, konsorsium PT Inti Kebun Sawit sekitar 18.425, 78 hektar, PT Inti Kebun Sejahtera 14.307,91 hektar, PT Sorong Global Lestari 12.115,43 hektar, PT Omni Makmur Subur 40.000 hektar, dan PT Graha Agrindo Nusantara 13.799,51 hektar.

Dalam keterangan tersebut, koalisi juga mencatat, aktivitas perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Sorong dengan janji kesejahteraan dan peningkatan ekonomi telah menipu masyarakat adat Moi untuk melepaskan wilayah adat mereka kepada perusahaan dengan nilai jual yang sangat kecil yaitu Rp 6.000 per hektar.

Selain itu kehadiran perusahaan tersebut, juga menimbulkan berbagai masalah sosial mulai dari pencemaran lingkungan seperti yang baru-baru ini terjadi di Sungai Klasof, Kabupaten Sorong. deforestasi, perampasan dan penggelapan tanah tanpa persetujuan masyarakat adat.

Kemudian, kekerasan yang dilakukan aparat keamanan yang ditugaskan untuk menjaga kantor-kantor perusahaan. Perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Kabupaten Sorong dalam prakteknya tidak menghormati hukum adat yang hidup dalam masyarakat Moi.

Hal tersebut dibuktikan dengan perusakan atau penggusuran dusun sagu dan tempat-tempat keramat yang terus terjadi. Dengan adanya aktivitas perusahaan perkebunan yang sangat masif, diperkirakan hutan adat suku Moi di daerah pesisir pantai selatan Kabupaten Sorong akan habis dan tinggal cerita bagi anak cucu.

“Kehadiran PT Fajar Surya Persada sebagai perusahaan swasta nasional yang bermaksud untuk membangun industri pangan terpadu seperti minyak nabati, margarin dan lain-lain berbasis kelapa sawit yang terintegrasi dengan industri biodiesel,” kata Safisa.

Saat ini, kata Safisa, Fajar Surya Persada sedang mengajukan permohonan dukungan kepada Elisa untuk membangun industri pangan terpadu berbasis kelapa sawit sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan rencana investasi sebesar kurang lebih Rp 24 triliun pada lahan seluas kurang lebih 98.824,97, kembali mengancam hutan masyarakat adat Papua di Papua Barat Daya.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malamoi Rorianus Kalami mengatakan, terdapat niat buruk korporasi untuk menjadikan lahan dengan luasan tersebut menjadi kawasan PSN. Tujuannya, mengkonsolidasikan dan mengatur semua unit usaha yang kemudian dikenal dengan praktik oligopoli atau suatu bentuk struktur pasar.

“Praktek oligopoli itu di mana hanya ada beberapa penjual yang menguasai sebagian besar atau bahkan seluruh pasar suatu komoditas. Dengan sistem tersebut posisi dan keberadaan korporasi semakin kuat dan keuntungan semakin besar. Sedangkan masyarakat adat terus tersingkir dan termarjinalkan dari ruang hidup mereka,” ujar  Rorianus Kalami.

Berdasarkan hal-hal tersebut di koalisi melihat ada sejumlah aspek penting yang patut dikritisi. Pertama, keberadaan dan pemberlakukan UU Otonomi Khusus Papua hingga saat ini belum mampu memberikan jaminan dan perlindungan bagi masyarakat adat Papua dan sumber daya alam yang seharusnya dikelola untuk kesejahteraan masyarakat adat Papua. Kedua, pengakuan masyarakat adat Papua kian terabaikan.

Ketiga, aktivitas semua perusahaan dan industri ekstraktif di Papua sama sekali tidak memberikan dampak positif bagi Masyarakat Adat Papua. Perusahaan-perusahaan tersebut hanya mengejar keuntungan dengan melanggar hak asasi masyarakat adat Papua.

Keempat, negara telah abai melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi, menghormati, dan melindungi hak asasi manusia bagi masyarakat adat Papua.

“Kami mendesak semua pihak agar pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua harus berpihak pada perlindungan dan penghormatan hak asasi masyarakat adat Papua, termasuk melibatkan masyarakat adat secara bermakna dalam seluruh proses perencanaan pembangunan dan pemberian izin usaha, sebelum izin diterbitkan di wilayah adat,” ujar Safisa.

Selain itu, koalisi meminta negara segera mengambil langkah-langkah aktif untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat adat Papua yang hingga kini terus tersingkir dan termarjinalkan dari tanah dan wilayah adat mereka akibat aktivitas perusahan dan industri ekstraktif.

“Pemerintah segera menghentikan seluruh aktivitas Proyek Strategis Nasional yang merampas ruang hidup masyarakat adat Papua dan melanggar hak asasi manusia. Kami mendesak Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya untuk tidak memberikan dukungan dan izin dalam bentuk apapun kepada semua perusahaan yang mengancaman keberlangusngan hidup masyarakat adat Papua dan lingkungan hidup,” ujar Safisa.

 Pemprov Papua Barat Daya juga didesak tidak memberikan dukungan untuk pembangunan industri pangan terpadu berbasis kelapa sawit sebagai Proyek Strategis Nasional dengan rencana investasi sebesar kurang lebih 24 triliun pada lahan seluas kurang lebih 98.824,97 yang direncanakan PT Fajar Surya Persada di wilayah masyarakat adat Moi dan masyarakat adat lainnya di Papua Barat Daya.

“Kami mendesak Pemprov Papua Barat Daya agar dalam setiap kebijakannya mengedepankan penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat Papua. Pemprov juga segera menetapkan kebijakan untuk pengakuan dan perlindungan wilayah masyarakat adat sebagai benteng terakhir hutan tropis dan warisan ekologis Papua,” katanya.

Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, dan semua pihak terkait untuk tidak lagi memaksakan proyek-proyek skala besar yang mengorbankan masyarakat adat Papua. Pemerintah mengembangkan program ekonomi kerakyatan yang berpihak pada melibatkan dan berkonsultasi dengan masyarakat adat akar rumput. (*)

Tinggalkan Komentar Anda :