JAKARTA, ODIYAIWUU.com — Iklan promosi tas modern bermotif noken yang menghilangkan keaslian karya khas budaya Papua dan beredar di jagat maya menunjukkan, para pihak sama sekali tidak menghormati kearifan lokal masyarakat bumi Cenderawasih. Para pihak juga dinilai tidak menghargai mama-mama Papua pengrajin noken.
Padahal, noken sudah diakui sebagai Warisan Budaya tak Benda (Intangible Cultural Heritage) Organisasi Bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco).
Noken sebagai Warisan Budaya tak Benda Unesco juga jelas tercantum dalam Pasal 2 Ayat 2 Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya atau Convention for The Safeguarding of The Intangible Cultural Heritage tahun 2003.
Dalam aturan ini dijelaskan, warisan budaya tak benda merujuk pada praktik budaya yang melibatkan, ekspresi, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan, serta instrumen, artefak, objek serta ruang-ruang budaya yang terkait dengan kelompok masyarakat maupun perorangan.
“Produk tas modern bermotif noken yang menghilangkan keaslian dan kekhasan motif asli noken sama sekali tidak menghormati kearifan lokal masyarakat Papua juga tidak menghargai mama-mama Papua pengrajin noken,” ujar Titus Pekei, pencetus noken sebagai salah satu Warisan Budaya tak Benda Unesco Titus Pekei kepada Odiyaiwuu.com di Jakarta, Minggu (4/5).
Menurut Titus, protes juga disampaikan beberapa komunitas pengrajin noken di tanah Papua. Tas modern bermotif noken yang dipromosikan melalui jejaring maya dengan memodifikasi sesuai selera dinilai tidak menghargai orisinalitas karya intelektual dan produk khas budaya masyarakat tanah Papua, terutama mama-mama pengrajin lokal. Para pihak dituding membeli noken asli lalu menggunting dan menempelkan pada tas modern demi mengejar keuntungan ekonomi.
“Cara seperti itu semestinya tidak boleh terjadi. Noken asli yang dikenal memiliki bentuk dan ciri khas Papua sehingga harus dihargai dan dihormati sebagai karya cipta budaya lokal. Tidak boleh membuat model baru dengan mencopot bagian-bagian tertentu noken demi keuntungan ekonomi karena malah menghilangkan orisinalitas hasil cipta, karya dan karsa masyarakat Papua dengan sentuhan budaya warisan leluhur turun temurun,” kata Titus.
Titus mencontohkan, model tas modern bermotif noken yang disebarkan melalui media sosial dipotong dari jenis noken Anggrek atau noken Emas. Dugaannya, tas bermotif dua jenis noken itu setelah dibeli dari pengrajin lokal kemudian dipotong. Tindakan itu, selain melanggar hak cipta juga tidak menghargai buah karya tangan bernilai budaya dan adat masyarakat Meepago.
“Noken Anggrek suku Mee harus dihargai kekhasannya. Hasil karya cipta dan budaya masyarakat tidak boleh dirusak dengan memodifikasi semau atau sesuai selera pihak-pihak lain atas nama mengejar keuntungan ekonomi maupun finansial. Cara itu malah merendahkan karya budaya warisan leluhur turun-temurun,” kata Titus, putra asli Papua dan kandidat doktor Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Titus menegaskan, pemilik hak paten noken sebagai Warisan Budaya tak Benda Unesco merupakan hak komunal perajin noken dalam tujuh wilayah adat di tanah Papua. Celakanya, katanya, pelaku usaha di luar Papua bahkan industri modern cenderung meminggirkan pengrajin budaya hingga masyarakat budaya sekaligus membuat mereka kehilangan mata pencaharian.
“Saat noken diubah bentuknya secara signifikan menjadi tas modern bermotif noken demi kepentingan komersial, esensi atau makna budayanya hilang. Komodifikasi produk seperti itu tanpa pemahaman nilai-nilai budaya lokal dipastikan lebih cepat punah. Komodifikasi itu sekadar orientasi bisnis dan menutup mata atas identitas dan warisan luhur masyarakat, khususnya mama-mama pengrajin noken di tanah Papua,” ujar Titus.
Pada peringatan Hari Warisan Dunia (International Day of Monuments and Sites) Jumat (18/4), Titus memberi catatan penting terkait noken Papua sebagai salah satu warisan dunia. Peringatan Hari Warisan Dunia yang digagas International Council on Monuments and Sites (Icomos) dan Unesco bertujuan menjaring atensi komunitas global pentingnya menjaga kelestarian situs warisan dunia yang tersebar di berbagai negara.
“Tahun 2025 tema International Day of Monuments and Sites yang ditetapkan oleh Icomos adalah Disaster and Conflict Resilient Heritage. Tema ini mengingatkan masyarakat dunia arti penting melindungi warisan dari ancaman bencana alam maupun konflik sosial,” ujar Titus kepada Odiyaiwuu.com di Jakarta, Senin (21/4).
Namun, meski noken sudah diakui Unesco sebagai Warisan Dunia tak Benda, namun, katanya, arti penting warisan dunia belum membumi di tengah masyarakat Indonesia. Karena itu, perlu perhatian serius pemangku kepentingan (stakeholders) terkait untuk mensosialisasikan makna penting perayaan ini.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka diakuinya juga telah membentuk Kementerian Kebudayaan yang berarti pemerintah memiliki perhatian khusus tentang budaya dan warisan dunia.
“Ini suatu yang perlu diapresiasi, namun sekaligus membawa tanggung jawab sendiri untuk memperhatikan perkembangan warisan dunia yang ada di Indonesia. Tidak sekadar ada kementerian tetapi lebih dari itu pemerintah harus lebih aktif memajukan kebudayaan yang dirayakan dan dimaknai oleh masyarakat dengan program konkrit dan menyentuh masyarakat,” ujar Titus.
Titus menegaskan, hingga saat ini belum ada perhatian serius dari pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah di tanah Papua untuk memberi perlindungan dan pemberdayaan bagi perkembangan noken sebagai warisan dunia. Ada sejumlah program yang digagas pemerintah terkait noken, tetapi tidak menyeluruh dan diragukan keberlanjutannya.
“Mama dan bapa noken memang terus berkarya menghasilkan noken karena itu hal yang sudah diwariskan kepada mereka. Tetapi itu tidak berarti pemerintah membiarkan mereka tumbuh kembang sendiri. Perlu ada perhatian serius,” kata Titus.
Menurut Titus, perhatian pemerintah harus diarahkan pada ekosistem noken karena di sana terdapat saling keterkaitan satu sama lain dalam menciptakan suatu keserasian budaya yang berkelanjutan. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)