Oleh Johanes Supriyono
Antropolog
MENURUT perkiraaan saya, yang sangat terkait dengan pengalaman di Papua yang ekstensif, peningkatan produksi sagu tidak semeriah produksi beras. Usaha sistematis untuk berkebun sagu terasa kurang terdengar. Hutan sagu yang sekarang ada merupakan hutan alami—bukan hasil program-program pembangunan pemerintah.
Sebaliknya, kita menyaksikan hilangnya sebagian hutan sagu alami karena pembangunan. Juga kita kerap mendengar desakan-desakan masyarakat untuk melindungi hutan sagu mereka yang terancam oleh ekspansi perkebunan tanaman industri, seperti yang dirasakan oleh orang-orang Kamoro di Kampung Kiyura, Mioko, dan Iwaka.
Kemudian, jika kita membuka-buka dokumen kebijakan pembangunan pemerintah, boleh jadi kita hampir tidak menemukan rencana pembangunan yang terkait dengan pengembangan pangan lokal orang Papua. Sebaliknya, kita bisa mendapati rencana pemerintah untuk mengubah Irian Jaya (nama pada waktu itu) menjadi seperti bagian Indonesia yang lainnya.
Misalnya, dokumen pembangunan Rencana Pembangugnan Lima Tahun (Repelita) I tahun 1969 mencantumkan tujuan untuk mengembangkan pusat-pusat perekonomian baru di Irian Jaya yang antara lain adalah pembangunan persawahan. Dan, itulah yang terjadi dan masih berlangsung.
Apa yang masih kita saksikan di Kabupaten Merauke, Kabupaten Nabire, dan beberapa kabupaten lain di Papua dan Papua Barat adalah kelanjutan dari gagasan sejak lima puluh tahun lalu.
Kebijakan negara untuk memberikan tunjangan beras kepada para pegawainya, sampai ke pelosok-pelosok, memiliki dampak tak terduga tapi cukup penting. Apalagi diskursus yang menyertai mengagungkan beras dibandingkan pangan lokal yang selama berabad-abad telah menjadi konsumsi utama penduduk. Wacana yang beredar di antara orang-orang Papua di dataran tinggi menempatkan beras di posisi sentral dan lebih unggul daripada ubi jalar.
Anak-anak guru, misalnya, yang mendapatkan jatah beras dari negara tergolong lebih bergengsi daripada anak-anak dari kalangan tidak makan nasi. Nasi menjadi simbol status sosial yang lebih tinggi. Diskursus ini menempatkan nasi sebagai tahap yang lebih jauh, lebih maju, daripada pangan-pangan yang lain. Orangtua-orangtua menasehati anak-anak mereka untuk rajin belajar supaya kelak mereka makan nasi —seperti orang-orang terdidik yang lain.
Apakah yang dirasakan oleh anak-anak Papua yang belum bisa makan nasi berhadapan dengan anak-anak yang sudah makan nasi? Rupanya diskursus itu menjadi jalinan kuasa yang sangat halus untuk merongrong harga diri orang Papua. Seorang teman menuturkan perasaannya sebagai remaja Papua yang kala itu belum setiap hari bertemu nasi. Ia sudah merasa kalah tanpa diapa-apakan. Rasa inferior menghinggapi dirinya dan membuatnya tidak cukup berani untuk bergerak lebih jauh. Perasaan itu mengungkung dirinya di sebuah sudut dan merasa begitulah tempat untuk dirinya.
Saya jujur mengungkapkan ketidaktahuan saya soal intensi di belakang wacana nasi yang lebih unggul daripada pangan-pangan lokal lain di Papua. Apakah terdapat intensi tak tertulis untuk menghancurkan harga diri orang Papua melalui pangan, siapa yang tahu. Begitu juga apakah kebijakan pangan dimaksudkan sebagai bagian dari kebijakan kultural untuk mengintegrasikan kebudayaan Papua dengan kebudayaan nasional sebagai bangsa pelahap nasi, saya belum mengerti.
Pamor nasi sebagai makanan kelas atas memudar bersamaan dengan beras yang kian mudah didapatkan. Pemerintah membagi-bagikan beras untuk keluarga-keluarga dengan gratis. Itu berarti jumlah beras yang dipasok ke Papua menjadi lebih banyak daripada sekian puluh tahun yang lalu. Begitu pun jumlah beras tunjangan.
Semakin banyak kabupaten berkat pemekaran-pemekaran daerah baru sejak era Otonomi Khusus, semakin banyak pula orang asli Papua dan migran yang bekerja sebagai aparatur sipil negara. Dan, sebagian besar mendapatkan tunjangan beras, yang secara implisit mengisyaratkan peluang mereka menyantap makanan lokal menjadi lebih kecil. Secara kritis saya menalar: semakin banyak keluarga mendapatkan beras, semakin kecil kemungkinan mereka mengonsumsi pangan lokal. (Bagian Keempat)