Akademisi UKSW Salatiga Bedah Budaya Suku Ngalum di Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Akademisi UKSW Salatiga Bedah Budaya Suku Ngalum di Papua

Sajian tarian khas Papua mengisi diskusi zoom meeting terkait budaya yang diselenggarakan Forum Diskusi Jawiyai Kya Himpunan Mahasiswa Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua, Sabtu (27/8). Foto: Istimewa

Loading

MANOKWARI, ODIYAIWUU.com — Komunitas masyarakat Suku Ngalum, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua memiliki aturan atau pedoman hidup berisi etika dan moral. Dalam kata bahasa Ngalum disebut alut.

Alut merupakan peraturan berupa norma dan sanksi dalam sistem nilai yang disebut iwol bertujuan mengatur tingkah laku manusia agar damai, tertib, adil sekaligus mencegah kekacauan dan menjaga alam. Alut dikelompokkan menjadi empat aspek yaitu alutmin, alutbali, alutki/alutkur dan alutkaer.

“Orang Pegunungan Bintang, khususnya Suku Ngalum mempunyai falsafah atau ideologi yang disebut iwol. Di dalam iwol ada peraturan, hukum adat yang disebut dengan alut. Alut merupakan hukum adat masyarakat Pegunungan Bintang di Papua,” ujar dosen Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Melkior Sitokdana saat tampil sebagai pembicara dalam zoom meeting yang diselenggarakan Forum Diskusi Jawiyai Kya Himpunan Mahasiswa Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua, Sabtu (27/8).

Melkior menguraikan, ada empat alut yang masih dirawat komunitas masyarakat Suku Ngalum. Pertama, alutmin, merupakan peraturan yang berhubungan dengan benda baik hidup maupun mati seperti pisang, buah merah serta burung sakral dan sebagainya.

Selain itu berhubungan dengan sikap dan perbuatan manusia. Misalnya berzinah, berkelahi, mencuri, membunuh, marah, membenci, berdusta, mengumpat, korupsi, mengadu domba, rakus, dan lain-lain. Semua itu merupakan bagian dari alutmin, sesuatu yang dilarang oleh adat.

Kedua, alutkaer yaitu peraturan terkait relasi antara manusia dengan manusia dalam kehidupan sosialnya. Ada beberapa klan yang memiliki hubungan kekerabatan atau ada suatu masalah yang belum diselesaikan atau dituntaskan sehingga ada peraturan mengatur hal ini. Misalnya, marga Singpanki dan Mimin dilarang berhubungan badan atau menikah karena memiliki relasi kekerabatan.

Ketiga, alutki/alutkur, yaitu peraturan yang berhubungan antara manusia dengan manusia dalam hal etika. Setiap orang diwajibkan saling menghormati antar golongan. Kaum muda harus menghormati yang tua. Begitu sebaliknya. Misalnya, mereka yang memiliki keahlian khusus dan telah mengikuti jenjang pendidikan tertinggi dalam kebudayaan manusia Ngalum disebut alutki (laki) ―alutkur (perempuan) sehingga dianggap orang-orang suci yang harus dihormati semua kalangan.

Keempat, alutbali, yaitu peraturan terkait relasi manusia dengan tempat dan alam. Misalnya batasan dalam tempat tinggal. Manusia aplim apom memiliki tiga jenis rumah yaitu bokam iwol (rumah khusus laki-laki), aip/abip (rumah keluarga), dan sukam (rumah khusus perempuan).

Di setiap rumah dibuat ruang khusus berdasarkan jenis kelamin maupun golongan. Selain tempat tinggal, ada peraturan tentang alam atau tempat tertentu yang disakralkan karena dipercaya sebagai tempat roh leluhur.

“Empat hal inilah yang merupakan bagian penting dalam mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat suku Ngalum dan merupakan hal dasar yang harus dipahami masyarakat komunitas suku itu dalam kehidupannya sehari-hari,” ujar Melkior lebih jauh.

Sistem religi

Melkior, akademisi kelahiran Pegunungan Bintang, Papua, lebih jauh menguraikan, masyarakat suku Ngalum percaya bahwa komunitas masyarakat adat itu diciptakan Atangki, Tuhan. Atangki adalah Tuhan Pencipta alam semesta beserta isinya, termasuk kaka (manusia) Aplim Apom.

Dalam pandangan manusia Aplim Apom, jelas Melkior, dalam diri setiap kaka terdapat roh (baersipyepki) pelindung, baik secara pribadi maupun dalam marga serta komunitas masyarakat adat.

“Dalam pemahaman manusia Aplim Apom, manusia terdiri dari jiwa dan badan, roh dan materi, kerohanian dan kejasmanian. Mereka percaya ketika manusia meninggal, baersipyepki akan pergi ke kandamil (asal usul marga) atau wokbintakumbin, tempat serba melimpah dan tidak berkesusahan,” jelas Melkior

Menurutnya, awi adalah roh pelindung masing-masing orang yang selalu menjaga mereka. Masyarakat Ngalum percaya roh tersebut ada di belakangnya. Masyarakat percaya, awi menjaga dan melindungi tubuh orang di belakang.

Oleh karena itu, menurut keyakinan suku Ngalum, dalam kehidupan sehari-hari dilarang melewati orang dari belakang karena diyakini ada awi-nya. Ketika melanggar atau melakukan tindakan tidak bermoral dan beretika, biasanya awi akan murka dan orang bersangkutan menderita sakit atau terkena tulah, kutukan.

Komunitas suku Ngalum juga mengenal dua onkor, pelimdung. Pertama, onkor khusus kaum perempuan yang disebut wanang awi a, pelindung perempuan. Onkor ini diyakini menjaga pintu masuk bagian perempuan, yotbor betlonkur sehingga anak-anak kecil biasanya dilarang untuk duduk atau tidur di bagian pintu masuk karena dipercaya sebagai tempat onkor. Selain pintu masuk, onkor jaga di pil a bakon, pintu pagar masuk. Onkor senantiasa menjaga keluarga dari ganguan seramki, iblis.

Bapki adalah leluhur masing-masing marga. Sering disebut kaka ibeaki.  Bapki sebagai pelindung setiap marga. Bapki adalah penjelmaan manusia menjadi makanan (hewan dan tumbuh-tumbuhan). Bapki ini disebut manusia pertama dari marga tertentu yang menjelma atau mengkorbankan dirinya untuk sesamanya.

Seperti Marga Urpon, manusia pertama yang ke wilayah utara menjelma menjadi sagu dan yang ke selatan menjelma menjadi buah merah. Demikian juga marga-marga yang lain ada yang menjadi ubi, keladi, kuskus, burung, kasuari, babi dan sebagainya.

Bapki ini yang dipercaya menjaga dan melindungi komunitas iwol. Untuk itu, dalam ritual-ritual adat di iwol senantiasa atas campur tangan bapki. Bapki juga yang menjaga dusun-dusun marga masing-masing,” kata Melkior.

Melkior yang juga Kepala Bidang Kemahasiswaan Fakultas Teknologi Informasi UKSW Salatiga menjelaskan, dalam kepercayaan komunitas suku Ngalum meyakini, kaseng adalah setan yang biasa menghuni sebagian hutan keramat. Kaseng tidak berbahaya, tetapi ketika manusia merusak hutan atau melanggar ketentuan maka kaseng bisa murka terhadap manusia dalam wujud bencana alam, longsor, hujan deras, gempa bumi, dan sebagainya.

Ada beberapa larangan, misalnya perempuan yang menstruasi atau baru bersalin dilarang pergi atau mendekat tempat hutan keramat, anak kecil/bayi tidak boleh menangis, dan sebagainya.

Sedangkan seramki adalah iblis yang senantiasa merusak kehidupan manusia. Iblis dipercaya hidup di tengah-tengah manusia. Menurut kepercayaan Ngalum, iblis adalah noputki. Artinya, awalnya di bokam tetapi karena merusak dan membahayakan kehidupan manusia, atangki mengusir seramki tinggal di luar (aip sal).

Seramki selalu ada di tengah-tengah manusia, selalu menggoda dan merusak hubungan antar sesama manusia dan manusia dengan alam leluhur. Sikap dan perbuatan yang kurang baik, seperti mencuri, membunuh, cerita keburukan orang lain, melanggar aturan adat, marah, berbohong dan lain-lain adalah pekerjaan seramki.  Nama seramki dilarang disebut karena sangat berbahaya dan diyakini dapat mendatangkan keburukan dalam hidup mereka.

Kaka baer adalah bayangan orang meninggal yang kesasar di dunia, bekerja sama dengan seramki untuk menakut-nakuti manusia. Untuk membatasi bayangan tersebut, biasanya setelah orang meninggal dimakamkan dibuat koninong (sesajen dari dedaunan bakar batu dan potongan daging) lalu ditempatkan di mata jalan untuk membatasi gangguan  roh jahat atau bayangan orang meninggal,” kata Melkior.

Forum budaya

Ketua jurusan Antropologi Universitas Papua Rina Kurana Awom menjelaskan, Forum Diskusi Jawiyai Kya dibentuk sejak tahun 2019. Diskusi kali ini bertujuan mengaktifkan kembali semangat para mahasiswa dalam mendiskusikan berbagai hal terkait kebudayaan masyarakat di tanah Papua.

“Sejak Forum Jawiyai Kya didirikan tahun 2019, kita sudah mengadakan sejumlah diskusi mengangkat aneka tema tentang kebudayaan di Papua. Selama diskusi para mahasiswa sangat antusias dalam sesi tanya-jawab,” ujar Rina.

Rina memberikan apresiasi kepada Melkior Sitokdana, akademisi yang sudah bersedia untuk menyajikan materi tentang nilai-nilai kebudayaan suku Ngalum. Pemaparan sangat menarik meski akademisi asal Papua ini tidak memiliki latar belakang ilmu pengetahuan Sosiologi dan Antropologi.

“Kami memberikan apresiasi kepada kakak Melkior Sitokdana yang bisa menjelaskan mengenai kebudayaan suku Ngalum. Padahal pemateri sendiri tidak mendalami bidang Sosiologi maupun Antropologi secara formal. Kami juga mangapresiasi karena beliau seorang akademisi yang punya kemampuan menulis buku terkait kebudayaan masyarakat suku Ngalum,” ujar Rina lebih jauh.

Rina juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat kegiatan diskusi, khususnya Forum Diskusi Jawiyai Kya, Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Antropologi, para dosen, dan sponsor dari Media Liga Kampus.Id.

“Atas nama jurusan Antropologi kami mengucapkan terima kasih kepada pemateri, anggota Forum Diskusi Jawiyai Kya, HMJ Antropologi, teman-teman dari Media Liga Kampus.Id dan Kururio yang mensuport diskusi ini. Semoga di masa akan datang kerjasama ini terus terjalin,” lanjutnya.

Koordinator Forum Diskusi Jawiyai Kya Erens Sawaki juga menyampaikan penghargaan kepada Melkior yang tampil membawakan materi terkait nilai-niilai spiritual, moral, dan etika yang masih terawatt dalam kehidupan komunitas masyarakat adat suku Ngalum.

“Sajian kaka Melkior selaku pemateri luar biasa bernas. Beliau mampu menjelaskan detail nilai-nilai kehidupan dan kebudayaan masyarakat adat suku Ngalum. Penjelasannya mudah dipahami karena diuraikan dalam bahasa ringan,” kata Erens Sawaki.

Alumni Jurusan Antropologi Unipa Vebilina Turot mengatakan, meski ia baru saja bergabung dalam zoom meeting, tetapi diskusinya luar biasa menarik. Ia berharap agar di masa akan datang diskusi dilakukan rutin.

“Diskusi ini juga sebagai bentuk penyadaran bagi kita generasi yang memandang budaya sebagai sesuatu yang sepele. Padahal, dampaknya luar biasa kalau kita tidak mengerti dan jika belum dipahami dengan baik,” kata Vebilina Turot.

Diskusi kali ini dihadiri para dosen serta mahasiswa jurusan Antropologi Universitas Papua serta para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Papua dan di luar Papua. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com).

Tinggalkan Komentar Anda :