Oleh Laurens Ikinia
Dosen asal Tanah Papua dan Wakil Direktur Institute of Pacific Studies UKI Jakarta
RAKYAT Indonesia merasakan sukacita yang membara atas kunjungan apostolik Paus Fransiskus. Sukacita itu dialami oleh umat Tuhan dari berbagai latar belakang keyakinan atau agama. Hal itu terungkap dalam berbagai kesaksian yang disebarluaskan di berbagai sosial media sejak Sri Paus tiba hingga meninggalkan Jakarta, 3-6 September. Media baik cetak maupun elektronik, platform media sosial kebanjiran momen-momen perjumpaan dengan Sri Paus.
Setiap postingan potret dan video perjumpaan dengan Paus berusia 87 tahun tersebut mendapatkan respon yang positif. Keharuan yang dirasakan tidak hanya oleh umat Katolik dan Protestan. Saudara-saudari umat Muslim yang merupakan penganut mayoritas juga turut menyambut dan merasakan gema kehadiran sosok pria sederhana nan bersahaja itu.
Menyaksikan secara langsung kehadiran Sri Paus di Jakarta, penulis akhirnya dengan yakin bisa mengatakan kehadiran Bapa Suci telah menghadirkan sukacita yang dahsyat dan akan dikenang saban waktu. Mereka yang mengalami sukacita pun tidak hanya oleh karena perjumpaan secara langsung. Ada yang terharu ketika menyaksikan tayangan di media atau sosmed.
Bapa Paus dengan penuh kerendahan hati menyediakan dirinya disapa oleh umatnya dan memberkati mereka yang mendekatinya. Mereka yang menerima sapaan Bapa Suci pun berlatar jenjang usia yang berbeda-beda. Mulai dari bayi dalam kandungan, anak-anak balita dan remaja, para pemuda, orang dewasa, para lansia dan saudara-saudari penyandang disabilitas dan difabel.
Ekspresi haru yang terungkap pun beragam. Ada yang menangis, ada yang melompat kegirangan, ada yang merinding, ada pula yang keringatan dan seterusnya. Dalam waktu yang bersamaan ada rasa haru, bahagia, bersyukur, dan seterusnya. Intinya, aneka perasaan berkelindan.
Mereka yang berjumpa dengan sosok yang selalu mengenakan juba putih itu tidak hanya dari wilayah Jakarta dan sekitarnya. Mereka datang dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Mereka adalah perwakilan dari setiap keuskupan. Di Indonesia, ada 37 keuskupan yang tersebar dari regio Sumatera hingga tanah Papua.
Ada pula umat yang datang ke Jakarta dengan inisiatif sendiri dengan tujuan melihat seorang Paus, penerus Santo Petrus. Tentu momen-momen spesial yang telah diabadikan akan terus menggumpal dalam batin menapaki ziarah hidup setiap umat khususnya dalam hidup menggereja.
Lawatan apostolik Si Paus kali ini bagaikan gelombang air laut yang datang dan hendak membersihkan bekas ukiran yang meresahkan pemandangan dan suasana indah di tepi pantai nusantara. Hati umat beriman di Indonesia diluluhkan oleh cinta kasih, kesederhanaan, kerendahan hati, dan karisma Bapa Suci.
Paus bernama asli Jorge Mario Bergoglio adalah sosok intelektual yang piawai. Sebelum menjadi seorang Kepala Negara Vatikan dan Pemimpin Gereja Katolik se-dunia yang berpusat di Roma, ia berkecimpung di berbagai bidang. Di antaranya, dunia pendidikan dan pengkaderan, pewartaan dan penggembalaan serta tugas perutusan lainnya. Jadi sebelum ia memegang tongkat estafet yang ditinggalkan oleh Santo Petrus dan lainnya, ia sudah mengetahui kondisi kehidupan umat Tuhan di luar dari Takhta Suci.
Paus yang berasal dari Argentina itu menghayati semangat hidup Santo Fransiskus dari Asisi. Oleh karena itu, sejak ia menerima pentahbisan sebagai seorang imam Jesuit, ia hidup sederhana sebagaimana yang diajarkan oleh Santo Fransiskus dari Asisi. Kesederhanaan Bapa Paus itu telah menjadi gaya dan semangat hidupnya. Ia mewartakan cara hidup sederhana melalui tindakan langsung.
Mata publik terbuka ketika melihat sarana dan prasarana yang digunakan, aksesoris yang dikenakan, fasilitas yang digunakan, bahasa dan gestur yang terlihat kesemuanya menyatakan kesederhanaan yang tak terduga. Perjalanan dari Roma ke Jakarta, rombongan Bapa Suci menggunakan pesawat komersil. Kemudian, selama di Jakarta, Ia menumpangi Toyota Kijang Innova Zenix Hybrid dan tinggal pula di Wisma Kedutaan Vatikan. Hal itu tentu berbalik terbalik dengan apa yang lazim dilakukan oleh para kepala negara dan para petinggi lainnya.
Setidaknya, bagi setiap orang yang menyaksikan kunjungan bersejarah itu mata hatinya terbuka untuk hidup sederhana dan hidup berbagi kasih dengan sesama yang membutuhkan. Apalagi Indonesia yang mengalami tantangan kesenjangan yang besar antara kaum yang kaya dan miskin. Antara mereka yang memiliki posisi atau jabatan dan para pencakar. Kondisi ini sudah barang tentu bukan sesuatu yang asing bagi Bapa Paus karena dia datang dari negara berkembang yang cenderung memiliki latar belakang mirip.
Selama Bapa Suci di Jakarta, protokol yang mengawali beliau pun tetap menunjukkan sikap yang ramah dan tidak terkesan kaku dan ketat. Umat dimanjakan untuk mengabadikan momen perjumpaan dengan sosok gembala umat yang murah senyum.
Sayangnya, Paus penutur bahasa Spanyol, Inggris, Italia, Latin, Prancis, Portugal, dan Jerman itu tidak bisa berbahasa Indonesia sehingga tidak berinteraksi secara langsung dengan umat yang menjumpainya. Dari raut wajah Bapa Paus, ia tampak bahagia ketika melihat umatnya, apalagi anak-anak dan saudara-saudara penyandang disabilitas dan difabel. Hal ini menunjukkan cinta seorang gembala kepada domba-domba yang tidak terpandang oleh dunia.
Kunjungan apostolik kali ini bertema Faith (Iman), Fraternity (Persaudaraan), dan Compassion (Bela rasa). Tema itu kemudian diterjemahkan dalam berbagai rangkaian kegiatan. Paus berbicara tentang berbagai hal yang berdimensi lokal hingga internasional. Dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka Jakarta, Paus sebagai Kepala Negara Vatikan memberikan pujian atas kebhinekaan dan Pancasila yang dimiliki bangsa Indonesia.
Kedua Kepala Negara itu menegaskan pentingnya toleransi dan perdamaian di dunia. Lebih khususnya konflik yang menimpa umat Tuhan di Palestina. Pertemuan kedua kepala negara itu tentu memberikan sinyal positif pada upaya perdamaian yang sudah disuarakan oleh berbagai negara. Seruan ini diharapkan tidak hanya untuk Palestina, tetapi juga untuk belahan dunia lain yang konflik bersenjatanya masih terkesan endemik.
Selain pertemuan dengan Presiden, Bapa Suci melakukan dialog dengan para pemuka lintas agama di Masjid Istiqlal. Dalam berbagai persoalan penting yang dibahas, dua isu penting yang mengancam dan menyerang keberlangsungan hidup umat manusia dan alam semesta yakni ancaman terhadap kemanusiaan dan dampak kerusakan lingkungan hidup menjadi sorotan utama dan pekerjaan rumah yang harus dikerjakan bersama.
Paus kelahiran Buenos Aires pada 17 Desember 1936 itu meninggalkan banyak nasehat bijak untuk umat Tuhan di Indonesia. Pesan-pesan yang disampaikan oleh Bapa Paus merupakan penjabaran dari empat karya beliau sejak terpilih sebagai Paus tahun 2013. Empat karya yang dimaksud dikelompokan menjadi dua ensiklik yakni Lumen Fidei (Cahaya Iman) dan Laudato Si’ (Puji Bagi-Mu), dua anjuran apostolik yaitu Evangelii Gaudium (Sukacita Injil) dan Amoris Laetitia (Kegembiraan Cinta).
Paus Fransiskus sepertinya melihat Indonesia sebagai negara yang tepat untuk membicarakan Ensiklik Laudato si’. Ensiklik Laudato si’ merupakan ajakan Bapa Suci kepada umat manusia untuk bertanggung jawab terhadap alam semesta. Ia mengajak agar manusia tidak mengeksploitasi dan menyiksa.
Manusia hendaknya menghormati alam semesta karena ia memberi tumbuh-tumbuhan dan memelihara kita selayaknya seorang ibu. Maka, merawat lingkungan atau alam semesta adalah sebuah panggilan yang perlu direspon penuh kerendahan hati.
Dalam dialog lintas agama, Bapa Paus mengatakan, Indonesia memiliki sumber daya alam yang kaya dan pertambangan emas terbesar di dunia. Secara tidak langsung beliau menunjukan Tanah Papua. Nama tanah Papua atau orang Papua terkesan sangat sakral bagi Bapa Suci untuk disebutkan. Hal itu terlihat dari setiap kesempatan beliau berbicara ke publik.
Tanah Papua masih memiliki hutan tropis yang luas dan dikenal sebagai bagian dari paru-paru dunia. Namun, akhir-akhir ini hutan Papua mengalami penggundulan yang sulit dibendung oleh kekuatan suara domba-dombanya. Paus yang bertahan hidup dengan kekuatan satu paru-paru itu concern dengan persoalan lingkungan hidup.
Sangat disayangkan, dalam momen yang penuh sukacita itu, tidak semua umat Tuhan dan anggota gereja merasa belum puas. Ketidakpuasan itu datang seketika harapan dan aspirasi umat Katolik Papua yang tertuang dalam buku Doa Dan Harapan Umat Katolik Papua Kepada Bapa Suci Paus Fransiskus, tidak sampai pada tangan Bapa Paus selama di Jakarta.
Selain itu, sekelompok orang muda yang sedang mengenyam pendidikan di kota studi Jakarta dan sekitarnya yang merupakan domba-domba dari penerus Rasul Petrus itu dibatasi untuk bertemu dengan gembala mereka. Momen menyedihkan itu mengingatkan kita dengan peristiwa yang tercatat dalam Injil, di mana para rasul membatasi anak-anak untuk datang mendekati Yesus dan menerima berkat dari-Nya.
Salah satu orang muda yang hadir dengan busana tradisional Papua di depan kantor kedutaan Vatikan di Gambir, Jakarta mengatakan, “Kami tidak mendapatkan kesempatan untuk bertemu gembala kami dan menceritakan kondisi kehidupan kami secara langsung, tapi kami tetap bersyukur. Kami menjadi bagian dari anak-anak yang dihalangi oleh para rasul untuk bertemu dengan sang Gembala Agung, Yesus Kristus.”
Tanah Papua pulau indah. Gunung-gunung dan lembah-lembah penuh misteri. Sungai-sungai yang deras mengalirkan emas. Cendrawasih burung emas. Negeri tempat burung surga menari. Mungkinkah Bapa Paus Fransiskus akan berbicara terkait kondisi tanah Papua?