Oleh Benyamin Gwijangge
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Cenderawasih, Jayapura
PAPUA boleh jadi menjadi tanah dengan koleksi aneka stigma dan kriminalisasi di atas benua besar itu yang diproduksi berbagai pihak saban waktu. Entah apa dosa tanah dan masyarakat di atas ‘benua’ yang kaya raya memberi makan anak cucu di atasnya, masyarakat di seantero Indonesia bahkan masyarakat internasional.
Setiap kali stigma dan kriminalisasi di atas tanah itu lengket lalu mendapat respon kritis bahkan protes masyarakat tanah Papua, malah seolah berlaku frasa klasik: anjing menggonggong, kafila berlalu. Stigma dan kriminalisasi terus diproduksi. Seolah pulau dan masyarakat yang mendiami nusa paling ufuk timur Indonesia itu, berlumur dosa sosial kemasyarakatan dan sejenisnya.
Pekan lalu, berita hangat mencuat dan menjadi pembicaraan luas. Akhir pekan lalu, anggota DPR RI yang membidangi juga urusan intelijen dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Oleh Soleh merespon ihwal kemunculan kelompok kriminal politik (KKP) di Papua.
Oleh menyebut munculnya KKP sebagai tanda bahwa Papua sedang dalam kondisi tidak baik. Begini kata Oleh: muncul KKP di Papua ini menandakan bahwa sesungguhnya keadaan Papua sedang tidak baik-baik saja. Tentu ini menjadi tambahan masalah, KKB (kelompok kriminal bersenjata) belum selesai dan sekarang muncul KKP (detik.com, Sabtu, 19/7).
Tak hanya suara wakil rakyat dari Gedung DPR/MPR RI, Senayan. Wakil Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Papua Brigjen Pol Dr Faizal Ramadhani, S.Sos, SIK, MH sebelumnya juga menyebut, polisi mengungkap kemunculan KKP di Papua. Kelompok yang menyebarkan separatisme itu dinilai berpotensi jauh lebih berbahaya dari KKB. “Kalau ini tidak ditangani dengan serius, bisa menumbuhkan simpati baru dan itu jauh lebih berbahaya,” ujar Faizal Ramadhani (detik.com, 18/7).
Faizal yang juga Kepala Operasi Satgas Damai Cartenz menambahkan, KKP menggaungkan propaganda Papua merdeka. Kelompok ini menyebarkan paham separatis melalui pendekatan ideologis dan intelektual. Kalau KKB menggunakan senjata, kata Faizal, KKP menggunakan wacana politik dan ideologis, menyasar kesadaran intelektual, termasuk kepada mereka yang awalnya tidak simpati.
Label Baru, Alat Represi Lama
Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apakah Papua sedang dihadapkan pada ancaman baru? Ataukah justru kita sedang menyaksikan penyempitan ruang demokrasi yang kian sistematis? Dalam sejarah Papua, istilah-istilah seperti OPM, separatis, dan KKB telah lama digunakan untuk menjustifikasi berbagai tindakan represif negara.
Kini, muncul istilah baru yaitu KKP. Istilah ini tidak memiliki definisi hukum yang jelas. Ia muncul begitu saja dari panggung wacana kekuasaan, tanpa dasar akademik, legal atau etik. Ini lebih bisa dilihat sebagai label baru tetapi alat represi jadul (lama)
Nah, yang lebih berbahaya istilah ini tampaknya dirancang bukan sekadar menyasar kekerasan, tetapi gagasan. Ia ditujukan kepada para pelajar, mahasiswa, dosen, peneliti, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), politisi, wartawan, tokoh adat, hingga birokrat Papua yang berani menyuarakan kritik atas kebijakan negara. Apakah orang-orang ini kriminal?
Apakah karena mereka menyuarakan ketimpangan, lalu pantas dituduh menyebarkan “propaganda separatis”? Pertanyaan reflektif ini perlu didiskusikan lebih dalam. Pernyataan bahwa KKP “lebih berbahaya dari KKB” karena menyasar kesadaran anak muda Papua sejatinya adalah bentuk ketakutan terhadap kesadaran politik.
Bukan senjata yang ditakuti, tetapi pikiran merdeka. Ini berbahaya bagi negara demokrasi. Mengapa? Ia mengubah kritik menjadi kriminalitas dan menggiring opini publik agar melihat suara keadilan sebagai konspirasi jahat.
Padahal, mengkritik negara bukan tindakan makar. Bertanya tentang pembangunan yang timpang bukan separatisme. Mengungkap pelanggaran HAM bukan pengkhianatan. Jika semua kritik dilabeli sebagai KKP atau sejenisnya, seluruh demokrasi di Papua sedang diringkus dalam stigmatis paling keji.
Problem Dasar
Papua memang tidak baik-baik saja. Bukan karena orang-orangnya bersuara, tetapi karena negara gagal mendengarkan. Problem dasarnya, negara alpa mengakui sejarah luka, gagal membangun secara adil hingga memberi ruang aman untuk berdialog.
Apa yang disebut sebagai “propaganda” oleh negara, seringkali justru adalah ekspresi kegelisahan masyarakat tanah Papua atas ketidakadilan. Suara mereka di atas ‘potongan surga yang jatuh ke bumi’ bukan senjata. Mereka membawa buku, pena, mimbar, dan noken. Tapi yang dihadapkan kepada mereka adalah label kriminal, stigma separatis, dan sejenisnya.
Rakyat Papua tentu tidak sedang membela kekerasan. Mereka menolak segala bentuk kekerasan bersenjata, menolak kekerasan simbolik dan struktural —termasuk kekerasan bahasa yang mengkriminalkan suara kritis dengan label KKP.
Di sini, perlu ditegaskan bahwa rakyat Papua bukan KKP. Mereka adalah warga negara. Mereka komit membela hak-hak orang asli Papua bukan karena membenci Indonesia, tetapi karena mencintai keadilan dan perdamaian (justice and peace). Rakyat Papua bicara bukan untuk mengacau, tapi untuk menyelamatkan demokrasi yang sedang dirampas oleh ketakutan yang tidak tidak logis.
Jika negara benar-benar ingin menyelesaikan masalah Papua, hapuslah politik labelisasi yang berbasis kecurigaan dan rasisme. Ruang dialog damai dengan kelompok yang dinilai berseberangan dengan narasi NKRI, lindungi pelajar dan intelektual dari pembungkaman, dan dengarkan suara rakyat Papua perlu dibuka lebar.
Rakyat Papua tak perlu lagi disodorkan stigma dan kriminalisasi karena mereka adalah warga yang sah. Demokrasi yang sehat tidak tunduk pada suara kritis. Ia justru tumbuh dari keberanian dan kerelaan mendengar yang berbeda atau berseberangan sekalipun.








