Spiritualitas Politik
OPINI  

Spiritualitas Politik

Yakobus Dumupa, SIP, MIP, alumni Program Magister (S-2) Ilmu Pemerintahan STPMD ‘APMD’ Yogyakarta. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Yakobus Dumupa

Alumni Program Magister Ilmu Pemerintahan STPMD ‘APMD’ Yogyakarta

KATA lain untuk “spirit” adalah roh. Roh adalah daya yang menggerakkan. Apakah roh yang menggerakkan orang untuk berpolitik? Ketika pertanyaan itu dihadapi oleh para politisi, mereka memberi jawaban yang beragam.

Ada yang ingin terlibat dari dalam sistem untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Sekolah-sekolah harus dilengkapi dengan fasilitas perpustakaan, laboratorium komputer, ruang konferensi, dan lain-lain.

Kemudian guru-gurunya memerlukan semacam kunjungan belajar ke sekolah-sekolah bermutu untuk mendapatkan acuan dasar. Sementara para siswanya, selain membutuhkan perlengkapan sekolah, ternyata membutuhkan intervensi gizi yang serius.

Sedangkan politisi yang berlatar belakang ilmu teknis sipil memikirkan masyarakat membutuhkan infrastruktur publik yang baik. Ia memiliki kecakapan untuk memastikan kualitas infrastruktur yang dibangun untuk masyarakat. Masyarakat membutuhkan sarana yang cukup untuk mengupayakan perbaikan kualitas hidup.

Politisi yang lain melihat kondisi kesehatan warga yang memprihatinkan. Angka kematian bayi dan angka kematian ibu ia cermati. Mutu pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta perlu ditingkatkan.

Kecukupan tenaga dokter masih harus ditambah. Ia ingin memastikan warga mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas dan dapat diakses dengan cukup mudah.

Sementara politisi yang lain tergerak oleh orang-orang yang tidak mendapatkan bantuan hukum untuk mempertahankan hak-hak mereka. Masyarakat menanggung bencana karena lingkungan hidupnya tercemar oleh limbah industri.

Air bersih menjadi susah didapatkan. Pangan-pangan yang bersumber dari keanekaragaman hayati hutan lenyap. Penyakit-penyakit akibat lingkungan yang terpolusi bermunculan. Namun, masyarakat tidak mengetahui cara menggugat pelaku pencemaran itu.

Kemuliaan dan harapan

Politik mengandung kemuliaan. Politik menawarkan harapan. Orang-orang tertindas membayangkan pembebasan. Orang-orang lapar membayangkan makan yang cukup. Anak-anak yang sakit membayangkan kesembuhan. Anak-anak belia mengalami hidup dalam kegembiraan, bebas dari teror, intimidasi, maupun diskriminasi.

Orang-orang yang lanjut usia dapat menghabiskan masa hidup mereka dengan rasa tenang dan mendapatkan perawatan yang diperlukan. Para pengungsi kembali pulang ke tanah airnya. Orang-orang yang diperlakukan tidak adil mendapatkan martabatnya kembali.

Para dokter di rumah sakit dapat memberikan pelayanan yang terbaik. Sementara, orang-orang sakit datang ke rumah sakit dengan penuh percaya akan mendapatkan perawatan dan kesembuhan. Harapan-harapan kaum lemah untuk mendapatkan kemerdekaan menjadi daya gerak politik.

Dalam politik terkandung cita-cita kehidupan bersama yang sejahtera. Orang-orang berkumpul, bertukar gagasan, berdebat, saling kritik, tetapi semua dilakukan dengan hasrat mengupayakan kehidupan bersama yang semakin sejahtera.

Kesejahteraan bersama adalah alasan yang paling mendasar dari politik. Tanpa itu, politik kehilangan maknanya yang hakiki. Tanpa itu politik kehilangan martabatnya.

Karena itu, politik mestinya berjiwa inklusif. Semuanya tercakup. Semua mendapatkan haknya. Semua memiliki derajat yang sama sebagai warga negara. Tidak boleh ada yang tertinggal, diabaikan, atau tercecer. Tidak boleh juga ada yang ditumbalkan demi memuaskan sebagian warga yang lain.

Bahkan, politik mesti menempatkan orang-orang yang paling menderita, paling sengsara, yang hak-haknya selama ini belum terpenuhi atau malah ditolak pada titik pusat. Politik mesti inklusif sekaligus berpihak.

Wajar sekali ketika politik mulai tidak menampakkan martabatnya, tidak lagi mengandung harapan-harapan yang mulia, orang-orang meninggalkan politik. Mereka tidak percaya pada politik.

Politik hanyalah omong kosong belaka. Politik hanya urusan beberapa orang. Politik tidak lagi memiliki pesona; tidak lagi menjadi sumber pengharapan untuk kaum jelata untuk memiliki kehidupan yang lebih adil.

Apa yang selanjutnya? Orang-orang tidak lagi menilai gagasan-gagasan politik secara jujur. Tidak akan banyak bedanya gagasan politik yang berkualitas dengan yang sekadar omong kosong. Tidak akan ada perdebatan politik yang sehat.

Tidak akan ada lagi sistem politik untuk memastikan warga mendapatkan hak-haknya secara adil. Tanpa spiritualitasnya, politik serupa jalan buntu. Ia ada di sana, tapi tidak akan ke mana-mana.

Tinggalkan Komentar Anda :