Refleksi Akhir Tahun Otonomi Khusus Papua - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Refleksi Akhir Tahun Otonomi Khusus Papua

Pasakalis Kosay, politisi senior Papua

Loading

Oleh Pasakalis Kosay

Politisi senior Papua

LATAR belakang lahirnya otonomi khusus (otsus) berawal dari krisis moneter 1997 yang berimbas pada krisis ekonomi dan politik yang memorakporandakan sistem pemerintahan Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun. Kondisi ini memaksa gerakan people power yang dimotori mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi seluruh Indonesia yang menuntut perlunya demokratisasi dan keterbukaan sistem penyelenggaraan negara dan memaksa Presiden Soeharto lengser dari kekuasaannya.

Hal ini membuat eskalasi politik nasional makin memanas dan menimbulkan benturan antara apara keamanan dengan mahasiswa yang berimbas jatuhnya korban jiwa sejumlah aktivis mahasiswa. Kerusuhan massa terjadi dan Jakarta seolah jadi lautan darah hingga memakan korban jiwa serta harta benda.

Gerakan people power tersebut terus meluas ke seluruh wilayah nusantara dengan tuntutan reformasi sistem ketatanegaraan dan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang lebih demokratis dan keterbukaan yang berorientasi pada partisipasi publik yang lebih nyata dan bertanggung jawab.

Dengan demikian, konstelasi politik nasional berubah. Presiden Soeharto pun segera meletakkan jabatannya lalu kekuasaan beralih kepada Wakil Presiden Habibie. Eskalasi politik semakin tinggi. Masing-masing daerah menuntut ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indknesia. Misalnya, Nanggroe Aceh, Papua, Riau, Kalimantan, Maluku, dan lain-lain. Euforia tuntutan merdeka orang daerah semakin menggebu-gebu membuat posisi pemerintah pusat sulit menemukan jalan keluar penyelesaiannya.

Eforia tuntutan merdeka inilah maka rakyat Papua bersuara keras ingin keluar dari Indonesia. Tuntutan melepaskan dari Indonesia dikoordinir para tokoh politik kharismatik Theys Eluay (Alm) dan kawan-kawan. Tuntutan merdeka membuat Pemerintah Indonesia menjadi bingung dan sulit mengendalikan keadaan politik saat itu.

Paket kebijakan

Akhirnya, pemerintah menawarkan beberapa paket kebijakan sebagai upaya meredam tuntutan melepaskan diri dari Indonesia tersebut. Paket kebijakan itu sebagai berikut. Pertama, melahirkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 terkait pemekaran provinsi yang membagi Irian Jaya saat itu menjadi tiga provinsi yaitu Provinsi Papua, Papua Tengah, dan Papua Barat.

Namun UU tentang pemekaran tiga provinsi ini ditolak rakyat Papua melalui Sidang Istimewa DPRD Provinsi Irian Jaya saat itu. Kedua, pengangkatan 2000 CPNS khusus orang asli Papua. Mereka ini sebagian ditugaskan di luar Papua dan sebagian besar di dalam Papua. Ketiga, mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan lain-lain.

Walaupun digulirkan sejumlah paket kebijakan untuk meredam tuntutan melepaskan diri dari Indonesia, namun tuntutan aspirasi Papua merdeka semakin mengkristal, sulit lagi. Maka, pemerintah dan DPR RI mencoba menawarkan otonomi khusus (otsus) sebentuk jalan tengah, win-win solution.

Tawaran ini kemudian disambut baik para tokoh Papua (Gubernur JP Salossa) kemudian ditugaskan kepada Rektor Universitas Cenderawasih untuk membentuk tim asistensi guna menyusun konsep dan mempersiapkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang pemberlakuan otonomi khusus.

Draf RUU tersebut kemudian disetujui DPR RI dan pemerintah lalu segera diproses dan dibahas menjadi Undang-Undang yang dikenal dengan sebutan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Undang-Undang tersebut kemudian diundangkan pada 11 November 2001 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.

Implementasi otsus

Secara efektif Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberlakukan sejak tahun 2002. Dalam tahun tersebut mulai diimplementasikan amanat UU otsus dimaksud dengan digulirkan dana otsus tahun pertama sebesar Rp 1,2 trilun. Selanjutnya dari tahun ke tahun dana otsus yang besarnya 2 persen dari dana alokasi umum (DAU) nasional terus mengalami peningkatan seiring kenaikan kapasitas DAU nasional yang berlangsung selama 20 tahun dan berakhir 2021 (2001-2021).

Perjalanan selama 20 tahun, banyak yang mengalami perubahan signifikan akibat hadirnya otsus. Namun demikian tidak bisa dipungkiri, banyak juga menyisakan aneka persoalan krusial yang sulit diselesaikan. Misalnya, isu pelanggaran HAM, kekerasan warga sipil dan konflik bersenjata, isu Papua merdeka, pembungkaman ruang demokrasi dan intimidasi verbal.

Masalah-masalah yang berdimensi politik, demokrasi, hukum, dan HAM sepertinya digantung pada kemauan politik negara. Negara tidak rela kalau masalah-masalah krusial seperti ini diselesaikan dalam ruang kebijakan negara. Negara berdalih, persoalan status politik papua sudah selesai. Kalaupu ada, itu hanya riak-riak akibat ketidakpuasan sebuah kebijakan negara.

Akibat skeptisme pandangan pemerintah terhadap masalah-masalah krusial tersebut, pemerintah secara sadar telah mengabaikan beberapa hal pokok yang diamanatkan UU Otsus. Misalnya, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan lambang daerah dan lagu daerah, dan lain-lain. Hal tersebut mestinya diatur agar memperkokoh integritas kehadiran otsus sebagai kebijakan negara yang merekatkan Papua dalam bingkai NKRI.

Hal-hal strategis lain yang diabaikan pemerintah adalah soal tuntutan dialog damai antara negara yang diwakili pemerintah dengan rakyat Papua. Isu dialog ini sebenarnya sudah mendapat perhatian luas setelah LIPI merekomendasikan sebagai langkah solusi penyelesaian masalah Papua secara komprehensif dan menyeluruh serta bermartabat. Lagi-lagi pemerintah tetap mengabaikannya sehingga masalah Papua tetap berada pada titik kulminasi dan sewaktu-waktu bisa pecah menjadi berantakan lalu menimbulkan resiko politik yang harus dibayar mahal.

Soal-soal hak dasar orang asli Papua yang berkaitan dengan peluang dan kesempatan bagi orang asli Papua bidang politik, pemerintahan, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan masih menimbulkan implikasi negatif. Terkesan ada dominasi dan intervensi pihak lain di luar orang asli Papua. Sebut saja dalam rekrutmen jabatan politik dan pemerintahan mulai dikuasai non Papua. Dengan demikian, orang asli Papua merasa tersisih dan secara tidak langsung sudah termarginalisasi.

Lalu bagaimana dengan ruh, semangat UU otsus yang tersurat maupun tersirat tentang pemberdayaan, perlindungan, dan penghormatan yang seluasnya bagi orang asli Papua? Soal ini tetap tinggal mengambang, tidak tegas. Mestinya, pemerintah pusat harus tegas mengatur dengan kebijakan bersyarat membatasi intervensi dan pembatasan hak bagi pihak lain di luar orang asli Papua.

Otsus jilid 2

Setelah disadari bahwa dalam Otsus Jilid 1 banyak menyisakan masalah, pemerintah memaksakan kehendak untuk harus memperpanjang masa pemberlakuan otonomi khusus di tanah Papua. Karena itu secara sepihak pemerintah dan DPR RI telah merevisi UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua menjadi UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Dalam perubahan kedua atas UU Otsus ini banyak terjadi perubahan yang signifikan. Apakah hal ini dilakukan sebagai solusi untuk perbaikan, penyempurnaan atau menimbulkan masalah baru? Entah apa yang menjadi dasar pertimbangan pemerintah kemudian mengamputasi kewenangan daerah.

Prinsip penyelenggaraan otsus adalah penyerahan seluruh bidang pemerintahan kepada daerah karena ada masalah serius yang berpotensi mengancam perpecahan keutuhan NKRI. Kasus Papua berpotensi mengancam perpecahan NKRI.

Karena itu negara memberlakukan otsus dengan penyerahan seluruh bidang pemerintahan kepada Papua untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat dengan inisiatif dan prakarsa sendiri sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

Dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, pemerintah hanya diberi kewenangan dalam lima bidang yaitu bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama dan peradilan. Selain dari itu seluruhnya diserahkan kepada daerah.

Akan tetapi dalam perubahan kedua UU Otsus, DPR RI dan pemerintah telah mencaplok kewenangan daerah menambah kewengan pemerintah. Pasal 76 tentang pemekaran provinsi misalnya, pemerintah telah mengambil alih pasal tentang pemekaran provinsi menjadi kewenangan pemerintah.

Oleh karena itu, pemerintah dengan leluasa melakukan pemekaran provinsi-provinsi baru di tanah Papua tanpa melibatkan partisipasi masyarakat Papua. Pemekaran provinsi-provinsi tersebut, dilakukan sebagai solusi atas berbagai masalah yang sedang berakumulasi dan berpotensi destruktif bagi Papua dalam Indonesia.

Jika dibedah secara cermat berdasar atas tinjauan hukum tata negara, sebuah undang-undang dengan status otonomi khusus tidak dapat dilekatkan pada beberapa provinsi. Idealnya, masing-masing provinsi memiliki UU otsus tersendiri. Namun demikian, realita politik di tanah Papua saat ini memiliki satu otsus dalam beberapa provinsi dengan undang-undang pembentukan provinsinya tersendiri. Hal ini sesungguhnya melawan logika hukum tata negara dan terjadi inkonsistensi terhadap prinsip pemberlakuan otsus dengan kewenangan khusus.

Maka dengan demikian akan ditanggung konsekuensi logis apabila ada benturan terjadi pada tataran operasional di lapangan di kemudian hari. Memang pembentukan provinsi-provinsi baru dinilai sebagai langkah strategis mendekatkan layanan kebutuhan dasar bagi masyarakat. Akan tetapi akan ditemui conflict of interest dalam hubungannya dengan implementasi amanat Undang-Undang.

Konsekwensi logis dari pengambilalihan kewenangan otsus ini, maka hal-hal prinsip dalam pelaksanaan UU pembentukan DOB akan ditemui dominasi intervensi pemerintah dalam urusan apapun bentuknya. Lebih-lebih dalam urusan politik, sudah pasti intervensi pemerintah akan lebih besar.

Jika ternyata benar terbukti adanya intervensi pemerintah dalam kemandirian dan kedaulatan rakyat, pasti akan menimbulkan masalah baru yang berdimensi politik. Tentu menimbulkan implikasi luas dalam kehidupan masyarakat.

Tinggalkan Komentar Anda :