Quo Vadis Demokrasi? - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Quo Vadis Demokrasi?

Eugene Mahendra Duan, guru SMP YPPK Santo Antonius Nabire, Papua Tengah. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Eugene Mahendra Duan

Guru SMP YPPK Santo Antonius Nabire, Papua Tengah

DEMOKRASI. Dahulu, kata ini menggugah imajinasi banyak orang. Namun, kini semakin sering dipertanyakan relevansinya dalam tatanan politik kontemporer. Selama ini di Indonesia, demokrasi dianggap sebagai tonggak kehidupan politik tetapi lambat laun mengalami pergeseran makna dan substansi. 

Pilkada serentak yang akan dihelat pada 27 November 2024, yang seharusnya menjadi ajang pertarungan gagasan dan visi bagi masa depan daerah dan bangsa justru berpotensi menjadi ajang adu popularitas tanpa pondasi gagasan yang kuat. Pertanyaannya, ke mana arah demokrasi kita saat ini? 

Kembalinya oligarki

Fenomena yang paling mencolok dalam lanskap politik kita adalah kembalinya pengaruh oligarki dalam demokrasi. Para elite politik dan ekonomi yang berkuasa di balik layar sering kali mendikte arah politik nasional maupun daerah. 

Pemilihan kepala daerah yang seharusnya menjadi ajang kontestasi ide-ide brilian bagi kemajuan daerah cenderung didominasi kepentingan pragmatis segelintir orang yang memiliki akses pada sumber daya politik dan ekonomi. 

Calon-calon yang diusung sering kali bukanlah mereka yang memiliki gagasan dan integritas, melainkan mereka yang mampu mengamankan dukungan dari kelompok elite.

Fenomena ini tak lepas dari masalah struktural dalam sistem politik kita. Biaya politik yang sangat tinggi untuk mengikuti Pilkada membuat banyak calon kepala daerah harus mencari dukungan finansial dari pengusaha atau pihak-pihak yang berkepentingan. 

Buntutnya, politik gagasan kerap tersingkir oleh politik uang (money politics), di mana kandidat yang memiliki akses pada sumber daya ekonomi lebih berpeluang untuk memenangkan kontestasi. Sistem ini menciptakan lingkaran setan yang semakin mengukuhkan oligarki atas atas demokrasi.

Demokrasi sejatinya dibangun di atas dasar diskursus dan pertukaran gagasan yang rasional dan argumentatif. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, ada fenomena yang memprihatinkan. Gagasan besar dalam perdebatan politik kita tanggal. Kontestasi politik lebih banyak didominasi retorika palsu, janji-janji populis dan pencitraan tanpa makna dan substansi.

Hal ini terlihat jelas dalam perhelatan Pilkada. Banyak calon kepala daerah yang lebih fokus pada pencitraan diri —entah itu dengan memanfaatkan media sosial, iklan politik, atau strategi marketing yang canggih— daripada menawarkan gagasan konkret. 

Aneka gagasan tersebut berkiblat pada upaya mengatasi masalah-masalah mendasar. Sebut saja soal kemiskinan, pengangguran, pendidikan atau lingkungan hidup. Politik ide dan visi pembangunan sering kali terpinggirkan oleh politik elektabilitas, di mana popularitas lebih diutamakan daripada kualitas gagasan.

Pilkada 2024 yang seharusnya menjadi momentum untuk menghidupkan kembali politik gagasan justru memperlihatkan betapa kuatnya politik pragmatis di Indonesia. Partai-partai politik, yang diharapkan menjadi wadah bagi para kader terbaik bangsa untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, lebih banyak berfungsi sebagai mesin elektoral yang pragmatis. Mereka lebih mengutamakan kemenangan jangka pendek daripada membangun basis ideologis yang kuat untuk masa depan.

Media sosial

Kemajuan teknologi, khususnya media sosial, semakin memperparah memudarnya politik gagasan. Media sosial memang menawarkan ruang yang lebih terbuka untuk partisipasi publik, tetapi di sisi lain ia juga memperkuat budaya pencitraan dan superfisialitas dalam politik. Para kandidat lebih cenderung berfokus pada bagaimana mereka tampil di media sosial daripada merumuskan solusi konkret bagi masyarakat.

Algoritma media sosial yang memprioritaskan konten-konten sensasional dan viral membuat politik gagasan semakin sulit menembus ruang publik. Kandidat yang pandai memainkan citra diri, baik melalui unggahan foto, video atau pernyataan yang kontroversial sering lebih mudah mendapatkan perhatian publik daripada mereka yang serius mengajukan gagasan kebijakan yang kompleks dan mendalam.

Dampaknya, diskursus politik kita menjadi dangkal. Masyarakat lebih mudah terpengaruh oleh penampilan luar kandidat daripada menilai substansi dari apa yang mereka tawarkan. Politik, pada akhirnya, menjadi ajang kontes kecantikan di mana kandidat yang paling pandai menarik perhatian media dan publik menjadi pemenang.

Tantangan demokrasi

Melihat kondisi ini, kita perlu bertanya, apakah demokrasi kita masih berjalan di jalan yang benar? Quo vadis demokrasi? Apakah demokrasi kita sudah terjebak dalam jebakan oligarki dan politik pencitraan tanpa gagasan?

Tantangan demokrasi di masa depan adalah bagaimana kita bisa mengembalikan politik pada substansinya: pertukaran gagasan yang rasional untuk kepentingan rakyat banyak. Untuk itu, perlu ada reformasi mendasar dalam sistem politik kita, terutama dalam hal pembiayaan politik. 

Biaya politik yang tinggi membuat demokrasi semakin sulit diakses oleh mereka yang tidak memiliki modal besar, dan pada akhirnya hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu yang memiliki akses pada sumber daya ekonomi.

Selain itu, partai-partai politik juga harus kembali pada fungsinya sebagai wadah ideologi dan gagasan, bukan sekadar mesin elektoral. Partai harus berani mendidik kader-kadernya untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dengan gagasan dan visi yang jelas. Partai juga harus menjadi ruang untuk mematangkan wacana dan kebijakan publik, bukan hanya ajang pragmatisme politik jangka pendek.

Namun, reformasi sistem saja tidak cukup. Demokrasi sejatinya dibangun di atas partisipasi aktif dari masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat juga harus didorong untuk lebih kritis dan aktif dalam menilai calon-calon yang akan memimpin mereka. Pendidikan politik yang berkelanjutan sangat penting untuk menciptakan warga negara yang sadar akan pentingnya politik gagasan.

Masyarakat harus didorong untuk menilai kandidat bukan hanya dari popularitas atau pencitraan mereka, tetapi dari visi, program, dan gagasan yang mereka tawarkan. Hanya dengan demikian, kita bisa mengembalikan demokrasi kita pada jalurnya yang benar.

Di tengah kondisi politik yang semakin memprihatinkan, kita perlu bertanya: ke mana arah demokrasi kita? Demokrasi tidak boleh menjadi sekadar prosedur elektoral yang kosong dari substansi. Demokrasi sejati harus menjadi ruang bagi pertarungan gagasan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi seluruh rakyat. 

Jika kita tidak segera berbenah, demokrasi kita akan semakin jauh dari cita-citanya yang luhur, dan kita akan terus berada dalam bayang-bayang oligarki dan politik pencitraan.

Masa depan demokrasi ada di tangan kita semua—masyarakat, partai politik, dan pemimpin bangsa. Mari kita kembalikan demokrasi pada substansinya: gagasan untuk kemajuan bersama.

Tinggalkan Komentar Anda :