Puisi tentang Empat Lelaki Karya Yoseph Yapi Taum

Dr Yoseph Yapi Taum, M.Hum. Foto: Istimewa

Loading

Lelaki yang Menari di Ladang Perang

Lelaki yang menari di ladang perang
Tubuhnya terhalang perisai dan darah
Kami tak melihat pesona tariannya
Meski genderang terus menghentakkan kaki

Siapa yang tenggelam itu wahai penari
Usaplah dulu keringat dan amis mesiu
Agar jelas kau tulis cinta mana yang terluka
Biar sempurna kami mengenal tarianmu

Ilalang tajam dengan balutan mantra
Mengusik sepi dan jiwa penari di ladang perang
Hujan di luar membuat langkah kakinya ragu
Irama dan liukan tariannya sempoyongan

Bulan pucat dan langit redup
Lelaki yang menari di ladang perang
Menghiasi malam dengan tarian binalnya
Memasuki ambang mimpi semesta

Ketika tarian itu akhirnya pupus
Genderang membisu di pucat malam
Cahaya di langit padam
Bahkan maut pun menolak menjemputnya

Lelaki yang menari di ladang perang
Tubuhnya terhalang perisai dan darah
Kami tak melihat pesona tariannya
Meski genderang terus menghentakkan kaki

Yogyakarta, 10 September 2018

Lelaki yang Melihat Laut
: Eulogi untuk FX Siswadi

Aku ingin bercerita tentang angin dan awan
yang meriasikan camar bagi datu-datu.
Suara mereka bagai tambur menyibak kelam
mewarnai langit dengan lidah-lidah api.

Kita sama pelaut yang tak pernah ragu
ke mana perahu bakal berlabuh.
Kita sama menari di ladang karang
dan berkawan dengan kaki langit.

Tetapi siapa menentukan pilihan?
Sedang angin dan ombak masih bercanda.
Siapa menggigilkan karang?
Sedang langit dan purnama masih bersinar.

Ada kalanya pelaut rindu rumah,
ia rindu bersandar dan menatap cahaya lilin.
Ada masanya pelaut terpesona pada rumput,
ia rindu berbaring dan menyentuh tanah.

Aku ingin bercerita tentang angin dan awan
yang merapikan barisan bagi datu-datu.
Nyanyian mereka gembira menyambutmu:
“Seorang pelaut telah pulang ke rumah bundar.”

Yogyakarta, 22 April 2018

Lelaki yang Diciumi Mawar

Ia berjalan tegak ke arah yang ditunjuk nakhoda sejati,
ke kota yang dihuni kawanan domba dan serigala yang lapar.
Ia lelaki yang mampu membaca isyarat di langit
dan mengenali palung-palung rahasia di dasar lautan.

Tanpa ragu ia membongkar gudang-gudang tua yang lapuk,
menghadang langkah perompak dan pemangsa,
menebar daun-daun palma bagi kanak-kanak yang menangis
dan membangun kemah bagi orang-orang sakit dan musafir.

Si pemburu menimbang perangkap dan mata tombak yang runcing.
Kota menjadi gelisah ketika sepasukan serigala melolong,
domba-domba yang kecut menghunus pedang
merapatkan barisan dengan hati sebening telaga,
lelaki itu memasuki perangkap.

Jalan masih panjang, tetapi segalanya menjadi samar.
Ketika sirene kota menghentikan langkah lelaki itu,
ribuan mawar bangkit bergegas menciumi kening lelaki itu.
Lelaki yang diciumi mawar beristirahat di sudut kota.

Yogyakarta, 31 Maret 2018

Lelaki yang Memanggil Bulan
: Danarto

Lelaki itu menyaksikan Rintrik menari dalam gelap
Meliuk-liukan tubuh tuanya sambil mengubur bangkai bayi zinah
Maka dipanggilnya bulan ke lembah yang beku
“Lihat, inilah lembah kematian yang hidup!”

Lelaki itu memainkan piano di tengah badai
agar Rutras setia pada Popok Wewe dan meninggalkan Hamlet
“Biar orang-orang disadarkan dari mabuknya
dan menegakkan langkahnya menuju langit yang kosong!”

Lelaki itu dengan tenang menuja ke bukit lepra
Menemui para pemuka agama mengajak mereka
Bercermin di riak kolam jiwa sambil menari
“Setiap kelahiran menjanjikan kematian!”

Di tengah padang gurun, di antara dua bukit lepra
Lelaki itu memanggil bulan
Sambil bersiul memanggil kegelapan
Membawanya di kolam jiwa

Lelaki itu berjalan menuju padang gurun
Dalam tidurnya ia memanggil bulan.
dan bersama Ahasveros menemui Jesus
“Demi segantang air, garis tanganku perlu diubah!”
Dan berubahlah lakon sandiwara atas sandiwaranya.

Bulan lelap di tengah badai,
Lelaki itu datang bersama Rintrik, Salome, Rutras
Hamlet, Yesus, dan Yahya Pembaptis
menyaksikan berkas-berkas cahaya dari langit
yang memudar dan tenggelam ke dasar jurang
kemudian ditutupi kabut dan badai
Sambil menari, dipeluknya sakratul maut.

Yogyakarta, 10 April 2018

Sumber: Ballada Orang-Orang Arfak, 2019

Dr Yoseph Yapi Taum, M.Hum lahir 16 Desember 1964 di Ataili, Wulandoni, Pulau Lembata, NTT. Yapi Taum telah menerbitkan antologi puisi tunggal, Ballada Arakian (2015); Ballada Orang-Orang Arfak (2019); dan (3) Kabar dari Kampung (2023).

Keempat puisi karya Yapi Taum: Lelaki yang Menari di Ladang Perang, Lelaki yang Melihat Laut, Lelaki yang Diciumi Mawar, dan Lelaki yang Memanggil Bulan —berpusat pada figur maskulin yang menghadapi takdirnya masing-masing dengan cara yang unik dan mendalam.

Puisi-puisi yang seluruhnya diambil dari antologi Ballada Orang-Orang Arfak mengajak pembaca untuk merenungkan makna perjuangan, kesenian, pengorbanan, dan spiritualitas melalui penggambaran keempat lelaki tersebut.

Identitas keempat lelaki ini bervariasi antara tokoh nyata dan figur arketipal. Dua di antaranya diidentifikasi secara eksplisit sebagai eulogi untuk tokoh-tokoh nyata dalam dunia sastra dan seni Indonesia.

Lelaki yang Melihat Laut adalah sebuah eulogi yang ditujukan untuk FX Siswadi, sementara Lelaki yang Memanggil Bulan didedikasikan untuk sastrawan Danarto. Dua lelaki lainnya bersifat lebih simbolis.

Lelaki yang Menari di Ladang Perang adalah sosok anonim yang terus menari di tengah kekacauan perang, sedangkan Lelaki yang Diciumi Mawar adalah figur mesianik yang berjalan mengikuti arahan “nakhoda sejati” untuk menolong sesama sebelum akhirnya “memasuki perangkap”.

Penafsiran terhadap keempat lelaki ini mengarah pada perenungan tentang kehidupan dan kematian. Lelaki untuk FX Siswadi ditafsirkan sebagai “pelaut” yang kini telah “pulang ke rumah bundar,” sebuah metafora untuk kematian dan kembalinya seseorang ke asalinya.

Lelaki untuk Danarto digambarkan sebagai pencipta dunia mistis yang pada akhirnya “dipeluknya sakratul maut” sambil menari bersama tokoh-tokoh ciptaannya. Sementara itu, dua lelaki simbolis lainnya mewakili perjuangan universal.

Penari di ladang perang adalah simbol keteguhan dalam penderitaan, yang tariannya pada akhirnya “pupus” dan bahkan “maut pun menolak menjemputnya”. Adapun lelaki yang diciumi mawar menjadi alegori pengorbanan suci; perjalanannya dihentikan oleh “sirene kota,” namun ia mangkat dalam penghormatan agung, “diciumi mawar” dan “beristirahat di sudut kota”.

Dr Yoseph Yapi Taum, M.Hum. Foto: Istimewa