Oleh Samuel Pakage
Intelektual dan pemerhati masalah Papua
PROGRAM transmigrasi di Indonesia memiliki sejarah panjang sebelum kemerdekaan. Pada masa penjajahan Belanda dikenal dengan sebutan kolonisasi karena penduduk Pulau Jawa sangat padat. Program transmigrasi masih terus dilakukan setelah Indonesia merdeka hingga saat ini.
Setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno melakukan transmigrasi pertama kali tahun 1950 (Orde Lama). Tahun 1960 Soekarno menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 29 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi sebagai dasar hukum pelaksanaan program transmigrasi.
Selanjutnya, tahun 1965 Soekarno mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 1965 tentang Gerakan Nasional Transmigrasi. Pada masa Orde Baru, Soeharto mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 1972 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Transmigrasi dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 1973 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi.
Tidak sampai di situ, tahun 1997 Presiden Soeharto menandatangani UU Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian sehingga UU Nomor 3 Tahun 1972 dinyatakan tidak berlaku. Soeharto kemudian menandatangani PP Nomor 3 Tahun 2014 sebagai peraturan pelaksanaan UU No 15 tahun 1997 tentang Ketransmigrasian.
Sesuai tuntutan perkembangan dan orientasi transmigrasi (perpindahan penduduk), kepentingan politik dan lain-lain, aturan-aturan sebagai dasar hukum ketransmigrasian pun mengikuti perkembangan dari tahun ke tahun.
Karena itu, dilakukan perubahan atau amandemen UU, PP, Keppres, Inpres bahkan Keputusan Menteri Transmigrasi dan lain-lain hingga era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sehingga dasar hukum terakhir program transmigrasi yaitu UU Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian.
Dihentikan sementara
Data menunjukkan, antara tahun 1970 hingga 1980-an (era Soeharto), program transmigrasi berhasil memindahkan jutaan orang dari Jawa ke luar wilayah Indonesia lainnya, termasuk Papua. Setelah Soeharto lengser tahun 1998, program transmigrasi dihentikan dengan beberapa alasan.
Pertama, potensi terjadinya polarisasi antara penduduk asli dan transmigran. Polarisasi ini dapat terjadi ketika suku atau kelompok tertentu mendominasi wilayah baru sehingga menimbulkan ketegangan dengan penduduk lokal.
Kedua, potensi konflik lain yang timbul adalah munculnya kesenjangan sosial serta masalah tanah dengan masyarakat adat setempat. Kondisi ini bisa menciptakan kompetisi positif dan kemakmuran, namun di sisi lain dapat menjadi bibit konflik di berbagai daerah.
Pada tahun 2015 Jokowi secara tegas menghentikan program transmigrasi ke Papua, namun kenyataannya di akhir masa jabatannya Jokowi mengeluarkan PP Nomor 19 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmugrasian (Kompas.com, 4/6 2015).
Presiden Jokowi berhasil menghidupkan kembali program transmigrasi yang sebelumnya dihentikan sejak lengsernya Soeharto tahun 1998 dengan menandatangani PP Nomor 29 Tahun 2024 tentang Ketransmigrasian dan saat ini dilanjutkan Presiden Prabowo Subianto.
Arahan Prabowo kepada Menteri Transmigrasi Iftitah Sulaiman yaitu mengadakan program transmigrasi ke wilayah indonesia timur, terutama Papua, agar Papua betul-betul menjadi bagian utuh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam konteks kesejahteraannya, persatuan nasional dan dalam konteks yang lebih besar (Kompas.com. 22/10 2024).
Di dalam PP Nomor 19 tahun 2024, gubernur, bupati, dan walikota di tanah Papua diberikan tanggung jawab untuk mensukseskan, melaksanakan atau mengamankan program transmigrasi di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota. Dengan demikian, peraturan pemerintah ini telah mengikat gubernur, bupati, dan walikota untuk patuh dan dapat melaksanakan program transmigrasi.
Perintah peraturan pemerintah kepada gubernur, bupati, dan walikota tanpa mempertimbangkan UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua sebagaimana sudah mengalami perubahan maupun Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku. Pasalnya, UU Otsus Papua maupun Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) pun mengikat gubernur, bupati, dan walikota di tanah Papua untuk patuh dan melaksanakan.
Posisi gubernur, bupati, dan walikota sangat dilematis dari dua kepentingan yaitu kepentingan pusat dan kepentingan daerah. Isi peraturan pemerintah tersebut telah memaksakan kehendak pemerintah pusat agar program transmigrasi dapat terlaksana di Papua meski kenyataannya bertentangan dengan UU Otsus Papua maupun Perdasi.
Contoh beberapa pasal dalam PP Nomor 19 Tahun 2024 yang mengikat gubernur, bupati, dan walikota di seluruh tanah Papua yaitu Pasal 1 Ayat 24 yang menyatakan, pencadangan tanah adalah penunjukan area tanah oleh bupati/walikota atau gubernur yang disediakan untuk pembangunan kawasan transmigrasi.
Sedangkan Pasal 4 Ayat 5 menyatakan, pemerintah daerah provinsi bertanggung jawab atas pelaksanaan transmigrasi lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi. Lalu Ayat 6 berbunyi, pemerintah daerah kabupaten/kota bertanggung jawab atas pelaksanaan transmigrasi dalam lingkup kabupaten/kota.
Pasal 5 Ayat 1 berbunyi, kawasan transmigrasi ditetapkan oleh menteri; Ayat 2 menyatakan, penetapan kawasan transmigrasi sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dapat dilakukan berdasarkan usulan dari pemerintah daerah.
Pasal 15 Ayat 1 menyatakan, penyediaan tanah untuk pembangunan kawasan transmigrasi dilaksanakan melalui proses pencadangan tanah oleh Pemerintah Daerah yang wilayahnya dibangun dan dikembangkan kawasan transmigrasi.
Ayat 3 menyatakan, dalam hal tanah yang dicadangkan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dan 2 ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota. Ayat 4 menyatakan, dalam hal tanah yang dicadangkan berada dalam 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi, pencadangan tanah ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 23 Ayat 1 menyatakan, tanah masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c didahului dengan pelepasan hak dari masyarakat hukum adat.
Ayat 2 menyatakan, pelepasan hak sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dilaksanakan dengan memberikan (a) prasarana dan sarana permukiman yang bermanfaat bagi masyarakat adat yang bersangkutan; dan/atau (b) kesempatan untuk memperoleh perlakuan sebagai transmigran di permukiman transmigrasi.
Ayat 3 menyatakan, pelaksanaan pelepasan hak sebagaimana dimaksudkan pada Ayat 2 didahului dengan musyawarah yang dituangkan dalam berita acara. (bagian pertama, bersambung)