Puisi Bintang Kejora dan Bagai Burung Elang Karya Penyair Muda Pegunungan Bintang Yuventus Opki - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan

Puisi Bintang Kejora dan Bagai Burung Elang Karya Penyair Muda Pegunungan Bintang Yuventus Opki

W. Yuventus Opki, guru SMP Negeri Bulangkop dan SMP Negeri 2 Okpol, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan. Foto: Istimewa

Loading

Bintang Kejora

 

Di bawah desah dingin bintang

aku bertanya pada luka yang menganga.

Dalam derita yang kian membakar

kau bersandiwara, menari di atas duka

Di bawah cahaya bintang

sekelompok gagak menerkam sunyiku

dan derita itu datang

mengoyak jiwa sang Bintang Kejora

 

Ketika kutanya tentang luka

dinding-dinding kejora runtuh

meleleh seperti timah yang menyala

Di bawah cahayanya

aku tunduk bersajak bersama awan bermata basah

menyaksikan jiwa yang dibiarkan hancur

di lembah gundah gulana

 

Di bawah Bintang Kejora

kugenggam pena, melawan singa yang buas

yang terus menelan sahabat-sahabat kita

tanpa henti, tanpa ampun

Yogyakarta, 2018

Kepada Siapa

 

Padamukah aku bertanya?

Ataukah engkau yang harus bertanya padaku?

Atau mungkin kita bersama

menitipkan tanya pada angin

pada awan yang menjelma mimpi

pada rumput yang gemetar di hembus waktu

pada semut kecil yang gigih membawa beban?

 

Namun, kepada siapa lagi harus kuserahkan dukaku?

Pada siapa kutitipkan luka ini

tentang ikan-ikan kecil

yang hilang dalam perut hiu

sementara laut diam

dan langit tak memberi jawaban?

Sleman, 2018

Bagai Burung Elang

 

Bagai burung elang, kau nyanyikan lagu merdu

melampaui angin, menembus kabut biru

Namun gagak hitam, mabuk dalam kelam

memutus lidahmu dengan paruh kejam

 

Suaramu padam

terkubur dalam luka yang tak kunjung reda

Tiada lagi terang di sisa malam

hanya bayang kisah yang terjaga

 

Nyanyian emasmu

kusimpan dalam relung terdalam

seperti mantra yang tak pernah hilang

Untukmu, kakak Arnold C Ap

suara kebebasan yang tak akan pudar

Yogyakarta, 2018

Bayang di Tengah Kita

 

Bayang itu, bayang di tengah kita

masih membungkam, lupa pada janjinya

katanya, ia bercinta dengan Tuhan?

Namun nyatanya, ia adalah bayang yang sama

menyelinap di sela tawa kita

berpesta di atas duka yang kita rasa

 

Bayang itu tak pernah benar-benar jauh

selalu menyamar dalam rupa-rupa

berdusta dengan kata-kata palsu

di setiap langkah dan suara kita

Ia tak lelah menantang kebenaran

menghujam keraguan di hati yang lemah

 

Demikianlah, bayang di tengah kita adalah bayang jahanam

lupa pada kelu kesah yang kita tanggung

dan terus membungkam harapan yang kita bisikkan

Kapan ia mengalah?

Kapan ia berhenti membisukan suara-suara kita?

Yogyakarta, 2017

Kurator Jiwa Papua

 

Syairmu membara, terbang tinggi9 bagai raja wali

menembus ruang-ruang pengap

menggores luka sekaligus harapan di hatiku

untuk berkarya di atas tanah mama bumi, Papuaku

 

Nada-nada sendumu menghentak pantai tempat aku berpijak

syairmu mengalun, membentang bagai gelombang

melintasi gunung-gunung, menyejukkan jiwa yang dahaga

 

Syairmu menawan

menyentuh sanubari para pengembara

menghidupkan tarian ombak di lautmu

dan kicauan burung emas di puncak gunung

mengajarkan kedamaian pada hati yang gelisah

 

Namun syairmu juga adalah perlawanan

menentang setan merah yang haus ambisi

yang ingin menelan keindahanmu

Dengan iman dan kasih, syairmu bagaikan doa

memberi nafas kehidupan bagi musafir-musafir Papua

yang kini mengalunkan pesanmu

melagukan kebebasan yang kau titipkan

 

Syair lagumu berkisah tentang laut, gunung

dan sungai-sungai yang membawa emas

tentang surga yang terlantar di tanah pertiwi

tentang bumi emas yang kau jaga dengan hati

dan pesan abadi:

yang sejati hanyalah kebebasan

Yogyakarta, 2018

Kronologi dari Pangku ke Pangkuan

 

Dari pangkuan ke pangkuan

suatu kronologi tercipta

anggrek hitam dipertemukan dengan takdir yang kelam

 

Dari pangkuan ke pangkuan

anggrek hitam dikawinkan dengan sejarah

dari Sriwijaya hingga Majapahit

tercerai-berai, hilang arah

Spanyol, Portugal, juga terpisah

Belanda, Perancis, Inggris, Jerman, semua terpecah

Tidore, Maluku, Indonesia, akhirnya dipaksakan bersatu

 

Dari pangkuan ke pangkuan

anggrek hitam terlena, terkulai lemah

terbungkam oleh suara mawar putih yang membisu

Dari pangkuan terakhir, anggrek hitam terkekang

terperangkap dalam luka-luka yang mendalam

Di bumi pertiwi yang kita sebut Indonesia

anggrek hitam terpenjara dalam ruang gelap

darahnya mengalir di celah-celah tirani besi

 

Dari pangkuan yang terakhir ini

dari pangkuan ke pangkuan

sajak pena menjadi saksi bisu

tentang kawin paksa antara mawar putih dan anggrek hitam

tanpa restu, tanpa harapan

 

Dalam ruang yang berbeda

peristiwa ini terus diperdebatkan

tiada jalan yang ditemukan

hanya kegelapan yang semakin pekat

Dari pangkuan yang terakhir ini

tipu daya memusnahkan surga yang pernah ada

buku-buku sejarah kita dihapus

mata kita dibutakan

 

Nasionalisme Indonesia Raya menutup jalan kedamaian

dan dari pangkuan terakhir ini

masih ada darah yang menetes

merahkan bumi yang terluka

Sementara republik kita sibuk dengan istana dosa

Holandia, 2018

Pengkhianat Negeri

 

Dengan sabar hati, kami bersuara

demi tanah emas, kami berjuang

Demi identitas kulit hitam

kami bertahan, meski nyawa harus jadi korban

Dengan rendah hati, kami melawan

sang guru pengkhianat

 

Guru yang kami sebut pengkhianat

tak memiliki jiwa keTuhanan

tanpa belas kasih

ia melumpuhkan kita

menyebarkan cinta palsu yang mengalir sampai denyut nadinya

Yang kami terima darinya:

sejumlah duka, derita, jeritan

dan tubuh yang tersobek darah

 

Bangkitlah, para senja yang terdiam

ragamu milik rakyat ini

Nyalakan pelita di jalan-jalan gelap

berbaju sirakalah dalam jiwa yang teguh

bangkitlah, hai para senja yang terkubur

oleh laknat para pengkhianat negeri ini

Lumpuhkan kaki tangan sang guru pengkhianat

 

Pantaskah pengkhianat itu merampas hak kita?

Haruskah alam kita musnah

oleh tangan guru palsu itu?

Tak pantas ia merampas sendi-sendi kehidupan bangsa kita!

Bangkitlah!

Bangkitlah!

Dia tak pantas menjadi tuan atas negeri tercinta ini.

Berdirilah!

Berdirilah dan hancurkan ideologi sang pengkhianat!

Lebih baik kita hancurkan,

daripada kita hidup dalam penjajahan!

Okpol, 2018

Aku yang Dipanggil Monyet

 

Dia bilang aku monyet

tapi di balik kata itu, dia mencintai monyet

Dia bilang aku monyet

dan dilemparinya aku dengan pisang

Ketika aku bermain sepak bola

lagi-lagi pisang dilempar ke arahku

 

Walaupun aku kerap dipanggil monyet

aku merasa bangga dengan diriku

Aku teringat di Afrika

di sana, mereka pun memanggilnya monyet

Dan kini, aku pun disebut demikian

 

Apakah karena kulitku hitam?

Dan dia bukan hitam?

Tanahku hitam, tanah Afrika juga hitam

Karena hitam, dia sebut aku monyet?

 

Dia bilang aku monyet

tapi dia bisa bernapas karena monyet ada

Kalau enggan menyebut aku monyet

dia tetap berteman dengan monyet

 

Hai, kawan, izinkan aku berkata padamu:

“Wajah yang mirip monyet bukanlah kutukan.”

Aku berusaha hadir di hidupmu seperti indahnya pelangi

agar merah api tak terus menghantui perjalananmu

Walaupun itu semua, kau masih memanggilku:

“Monyet Papua.”

Yogyakarta, 2017

Surat untuk Kekasihku

 

Kekasihku

dengan segenap hati, aku datang padamu

dalam jiwa yang masih pedih, sujud memanggilmu

Di atas tanganmu, aku bermesra

meskipun aku jatuh, bahkan dalam pelukanmu

 

Sayangku

dengan hati yang pilu, aku menatapmu

terlena dalam lubang singa yang tak akan pernah puas

karena ia merasa berkuasa

 

Kekasihku

di bawah telapak kakimu

mengalir darah yang sama

seperti darah yang mengalir dari pintu-pintumu

Di sini, sahabat sejatiku, disembelih dengan pisau

 

Sayangku

dari kedalaman hati yang paling dalam

aku sampaikan padamu

melalui sepucuk surat ini

bahwa hingga kini

aku masih merasa dihina oleh saudara-saudara kita

 

Sayangku, aku kekasihmu

dengan surat ini, aku sampaikan padamu

beperkaralah padaku, peluklah aku

beri aku air kedamaian

akhiri sudah penderitaan dan korban-korbanku

 

Kekasihku

demikian suratku, kutulis dengan penuh rasa

Aku berharap, kau mampu membaca dan merasakannya

Ku ucapkan terima kasih, sayangku

Salam sayang dariku, untukmu

Yogyakarta, 2017

Surat Sakitku untuk Tuhan Yesus

 

Tuhan Yesus, setiap hari aku merasakan sakit

Dulu, kau mengirimkan aku ke dunia sebagai bayi

Tak ada luka, tak ada penyakit

Namun kini, tubuhku dipenuhi luka

dan rasa sakit yang tak kunjung reda

 

Kalaupun Engkau telah melihatku

mendengarkan suaraku

kenapa sakitku tak juga sembuh, Tuhan Yesus?

 

Tuhan Yesus, tolong sembuhkan hamba-Mu

dari segala duka dan derita ini

Demikianlah surat sakitku

dari bumi yang penuh penderitaan ini

Yogyakarta, 21 Maret 2016

Yuventus Opki lahir di Kampung Yamok, 25 Juni 1988. Masuk SD YPPK Santa Maria Kukding dan tamat di SD YPPK Santo Vinsensius Mabilabol. Lulus SMP YPPK Bintang Timur Mabilabol.

Pada 2011 mengikuti matrikulasi dan kuliah di Jurusan Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Namun, masuk di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta tahun 2013 hingga meraih sarjana Sastra Indonesia tahun 2017. 

Menulis antologi puisi berjudul Aku Melawan Lupa dan diterbitkan Galang Press Yogyakarta tahun 2016. Saat ini mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMP Negeri Bulangkop dan SMP Negeri 2 Okpol. Penulis dapat dihubungi melalui nomor kontak +675 7970 3503 atau email: aplimapom3@gamil.com

Tinggalkan Komentar Anda :