Pendidikan Multikultural: Integrasi Budaya Papua Dalam Kurikulum - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Pendidikan Multikultural: Integrasi Budaya Papua Dalam Kurikulum

Dr Yosua Noak Douw, S.Sos, M.Si, MA, doktor Lulusan Universitas Cenderawasih, Jayapura. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Yosua Noak Douw

Doktor Lulusan Universitas Cenderawasih, Jayapura

PAPUA, wilayah paling timur Indonesia, menyimpan kekayaan budaya, bahasa, dan sejarah yang sangat kompleks. Namun, dalam praktik pendidikan nasional, kerap kali nilai-nilai lokal ini terpinggirkan oleh dominasi narasi nasional yang sentralistik. 

Padahal, pendidikan seharusnya tidak hanya menjadi sarana mentransfer ilmu pengetahuan. Pendidikan juga menjadi wahana untuk membangun jati diri, harga diri, dan kesadaran budaya peserta didik.

Pendidikan multikultural hadir sebagai tawaran konseptual dan praktis untuk menjawab kesenjangan kultural yang dialami masyarakat Papua. Inti dari pendekatan ini adalah penghargaan terhadap keberagaman budaya melalui kurikulum yang inklusif, kontekstual, dan berpihak pada lokalitas. 

Integrasi budaya Papua dalam kurikulum bukan sekadar romantisme identitas, melainkan strategi nyata untuk menciptakan pendidikan yang berkeadilan, membangun kohesi sosial serta menjembatani jarak antara negara dan masyarakat adat.

Realitas Kultural

Indonesia memiliki lebih dari 718 bahasa daerah dan ratusan kelompok etnis, dan Papua menyumbang hampir seperempat dari total jumlah bahasa daerah di Indonesia. 

Menurut data SIL International (Ethnologue, 2024), Papua memiliki lebih dari 270 bahasa ibu yang hidup, menjadikannya kawasan paling linguistik di Asia-Pasifik. Namun, dominasi bahasa Indonesia dalam kurikulum formal menyebabkan banyak anak Papua mengalami alienasi sejak dini di ruang kelas.

Riset Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Children’s Fund (Unicef, 2021) menunjukkan, sekitar 40 persen anak usia sekolah dasar di Papua mengalami kesulitan memahami pelajaran karena mereka tidak menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. 

Hal ini mengakibatkan terjadi alienasi, keterasingan linguistik dan mempengaruhi kemampuan literasi dasar anak-anak Papua. Dampaknya bukan hanya pada rendahnya prestasi akademik, tetapi juga pada menurunnya rasa percaya diri dan identitas kultural peserta didik.

Di sisi lain, sejarah lokal Papua hampir tidak pernah mendapatkan ruang signifikan dalam pelajaran sejarah nasional. Buku-buku pelajaran lebih banyak mengulas sejarah Jawa, Sumatra, atau Sulawesi. Sementara peristiwa besar di Papua seperti Perang Koreri, kisah Pahlawan Martha Tiahahu dari Maluku-Papua atau sejarah relasi adat dan misi gereja di pedalaman hanya menjadi catatan kaki, jika tidak diabaikan sama sekali.

Kurikulum yang Buta Budaya

Kurikulum Merdeka yang sedang digalakkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia seharusnya membuka peluang besar bagi pendidikan kontekstual. 

Namun, implementasinya di Papua masih menghadapi tantangan struktural dan politis. Banyak guru berasal dari luar Papua dan belum memahami budaya lokal, sementara materi ajar tetap berpusat pada narasi nasional yang tidak selalu relevan dengan konteks komunitas lokal.

Profesor Maria Catarina Sumardjono dari UGM dalam diskusinya tentang pendidikan multikultural (2023) mengatakan, “ketika kurikulum disusun tanpa mempertimbangkan keberagaman budaya, maka yang terjadi adalah pembungkaman identitas lokal secara sistematis.” 

Sedangkan hasil kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2022 menemukan bahwa 84 persen siswa di daerah adat Papua merasa tidak terwakili dalam pelajaran sejarah dan budaya di sekolah.

Kondisi ini menyebabkan pendidikan bukan lagi sarana pemberdayaan, melainkan alat reproduksi ketimpangan. Maka, urgensi untuk mengintegrasikan budaya Papua dalam kurikulum menjadi semakin mendesak.

Pilar Identitas dan Partisipasi

Penggunaan bahasa ibu dalam pendidikan dasar telah terbukti secara ilmiah meningkatkan daya tangkap dan keberhasilan belajar siswa. Unesco dalam laporan Mother Tongue-Based Multilingual Education (2020) menjelaskan aspek penting pendidikan berbasis bahasa ibu.

Aspek dimaksud yaitu bahwa pendidikan berbasis bahasa ibu mempercepat kemampuan literasi, numerasi, dan membangun keterlibatan emosional anak dalam proses belajar. Di wilayah seperti Papua, di mana bahasa Indonesia bukan bahasa pertama, hal ini menjadi sangat relevan.

Pemerintah daerah di beberapa wilayah Papua sebenarnya telah mulai menerapkan pendekatan ini. Misalnya, beberapa sekolah dasar di Kabupaten Pegunungan Bintang dan Asmat, Provinsi Papua Pegunungan telah mengadopsi program literasi awal berbasis bahasa daerah, seperti bahasa Kimyal dan Kamoro. Hasil awal menunjukkan peningkatan pemahaman materi dan keterlibatan orang tua dalam proses pendidikan.

Sejarah lokal pun memiliki peran penting dalam membentuk identitas dan penghargaan diri. Ketika anak-anak Papua mempelajari sejarah suku, pahlawan adat serta perjuangan komunitasnya, mereka tidak sekadar belajar tentang masa lalu.

Lebih dari itu, anak-anak Papua juga menumbuhkan harga diri sebagai bagian dari bangsa yang majemuk. Hal ini memperkuat kohesi sosial dan memperkecil peluang marginalisasi budaya.

Jalan Tengah

Pendidikan multikultural tidak menolak nasionalisme melainkan memperluas definisinya. Nasionalisme yang menghargai keragaman budaya akan menghasilkan warga negara yang tidak hanya cerdas, tetapi juga toleran dan bangga terhadap identitasnya. 

Dalam kerangka inilah, integrasi budaya Papua dalam kurikulum merupakan strategi politik-kultural untuk menata relasi yang lebih adil antara negara dan masyarakat adat.

Konsep pendidikan multikultural mencakup sejumlah aspek. Pertama, pengembangan kurikulum berbasis budaya lokal, yang mencakup cerita rakyat, sejarah lokal, dan nilai-nilai adat. 

Kedua, penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pada tahap awal pendidikan dasar, terutama di wilayah terpencil. Ketiga, pelatihan guru dalam kompetensi budaya, agar mereka mampu mengajar secara kontekstual dan sensitif terhadap budaya setempat. 

Keempat, keterlibatan masyarakat adat dan tokoh lokal dalam penyusunan materi ajar, sehingga pengetahuan lokal diakui sebagai bagian dari ilmu yang sah.

Tantangan dan Peluang

Tentu saja, penerapan pendidikan multikultural tidak lepas dari tantangan. Keterbatasan guru lokal, minimnya literatur berbahasa daerah, serta resistensi institusi pendidikan yang masih sentralistik menjadi hambatan utama. Namun, tantangan ini bukan alasan untuk stagnan.

Justru, inisiatif lokal dan kebijakan afirmatif menjadi titik masuk yang strategis. Pemerintah daerah dapat menggandeng lembaga swadaya masyarakat (LSM), universitas lokal, dan komunitas adat untuk menyusun modul-modul ajar kontekstual. 

Pusat Kurikulum Nasional dapat membuka ruang bagi inovasi daerah dengan memberikan fleksibilitas dan dukungan dana. Papua bukan wilayah yang “kurang pendidikan”, tetapi wilayah yang selama ini tidak diberikan pendidikan yang sesuai. 

Integrasi budaya Papua ke dalam kurikulum adalah cara untuk mengakhiri praktik pendidikan yang diskriminatif secara simbolik dan epistemik.

Arah pendidikan Indonesia ke depan tidak cukup hanya mengejar skor Programme for International Student Assessment (PISA) atau angka kelulusan. Kita harus memastikan bahwa setiap anak, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Merauke, merasa dihargai, dipahami, dan dilibatkan secara utuh dalam proses pendidikan. 

Di Papua, hal ini berarti pendidikan yang mengenal nama-nama leluhur, yang mengajarkan tentang tanah adat, yang menghormati bahasa ibu, dan yang mengakui sejarah rakyatnya sebagai bagian dari sejarah bangsa.

Sebagaimana diungkapkan Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara, “anak-anak bukanlah bejana yang harus diisi, tetapi api yang harus dinyalakan.” Di tanah Papua, api itu hanya bisa dinyalakan jika bahan bakarnya berasal dari akar budaya mereka sendiri.

Tinggalkan Komentar Anda :