Oleh Jacob J Herin
Penulis buku The UN is Responsible for Human Rights Abuses in East Timor dan mantan wartawan The Jakarta Post di Dili
SEJAK tahun 1962 sampai saat ini terus terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) di hampir seluruh wilayah Asia seperti di Palestina, Israel, Iran, dan Suria. Sejak 1962 hingga saat ini militer Indonesia berperang melawan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Pemerintah Amerika Serikat mendukung Pemerintah Indonesia masuk ke wilayah Papua secara paksa. Rakyat Papua sama nasibnya seperti rakyat Palestina dimana mereka berjuang sejak tahun 1963 saat militer masuk di wilayah Papua hingga saat ini.
Indonesia telah melakukan berbagai pelanggaran HAM berupa pembunuhan, pemerkosaan dan perampasan tanah tanah rakyat. Berbagai konflik di wilayah ini sering dianggap berasal dari agama dan konflik-konflik itu terjadi terus menerus.
Penolakan terhadap kehadiran Indonesia di Papua juga semakin bertambah. Belakangan ini melalui media sosial banyak memposting bendera Bintang Kejora yang telah menggemparkan penduduk pendatang Indonesia di Papua Barat.
Pelanggaran HAM terhadap rakyat Papua Barat dilakukan sejak tahun 1945 oleh Presiden Ir Soekarno. Dalam sidang BPUPKI tanggal 10-27 Juli 1945 di Gedung Tyuuoo Sangi-in (sekarang kantor Departemen Luar Negeri) Bung Karno menyatakan, tidak dilibatkannya rakyat Papua dalam proses perundingan. Alasannya, rakyat Papua tidak mengerti politik.
Pernyataan Bung Karno adalah “tentang rakyat di Papua saya tidak mengenal kehendaknya. Malahan saya mau menerima, bahwa rakyat di Papua belum mengerti politik”.
Pertemuan di Saigon pada 12 Agustus 1945 di hadapan Drs Mohammad Hatta (Bung Hatta), dr KRT Radjiman Wedyodiningrat, dan Jenderal Hasaichi Taraci, Bung Karno menyatakan, “bahwa bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan Bangsa Indonesia.” Dalam satu Surat Keputusan (SK) Ir Soekarno bernomor: 8/Mei/1963 yang menyatakan, “melarang/menghalangi atas bangkitnya cabang-cabang partai baru di Irian Barat”.
Di daerah Irian Barat dilarang kegiatan politik dalam bentuk rapat umum, demonstrasi, percetakan, publikasi, pengumuman-pengumuman, penyebaran, perdagangan, artikel, pameran umum, gambaran-gambaran atau foto-foto tanpa ijin pertama dari gubernur atau pejabat resmi yang ditunjuk oleh presiden.”
Wakil Presiden RI Bung Hatta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Nederland tanggal 27 Desember 1949, tentang status politik Papua Barat tidak dimasukkan dalam kedaulatan Republik Indonesia.
Dalam konferensi itu Pemerintah Belanda dan Bung Hatta, utusan Pemerintah Indonesia menyatakan, “Belanda memutuskan untuk tidak menyerahkan kedaulatan Papua Barat ke dalam Republik Indonesia”. Bung Hatta menyatakan, “secara pribadi mengatakan bahwa masalah Irian Barat, tidak perlu dipersoalkan. Saya tahu bahwa Bangsa Papua pun berhak menjadi bangsa yang merdeka.”
Gubernur Papua Barat 1962-1964 Eliezer Jan Bonay menyebutkan, sejak Tentara Nasional Indonesia (TNI) masuk ke Pulau Irian Barat merupakan awal dari semua pelanggaran HAM.
“Secepatnya orang-orang Indonesia tiba di negeri kami (Papua) sama sekali sesuatu yang tidak kami harapkan mulai terjadi. Ada sejumlah kekejaman, pencurian, penculikan, penyiksaan, penganiayaan dan banyak hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya,” kata Bonay.
Setelah tanggal 1 Mei 1963 masyarakat di kota-kota seperti Jayapura, Biak, Manokwari dan Sorong menyaksikan berbagai fasilitas yang selama ini digunakan oleh rakyat di Irian Jaya itu diangkut ke daerah Indonesia lainnya menggunakan transportasi seperti kapal laut.
Barang-barang yang diangkut seperti tempat tidur, kasur, mesin cuci, kaca nako, wastafel, oven, sepeda, vespa, kipas angin, tangga pesawat terbang di Lapangan Terbang Internasional Mokmer, Biak dan Dok Apung di Manokwari.
Peristiwa selama masa Untea
Penangkapan, pengejaran, intimidasi, penyiksaan pembunuhan, terhadap orang-orang Irian Barat terjadi selama masa Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Temporary Executive Authority (Untea) oleh tentara dan polisi militer Indonesia.
Orang-orang Indonesia membuat lubang penjara di bawah air di Ifar Gunung, Distrik Danau Sentani. Tempat ini terkenal dengan nama perlawanan kejam tentara Indonesia terhadap orang-orang Papua yang tidak setuju dengan Indonesia. Hal itu seperti disampaikan Zakaria Sawor, orang asli Papua pejabat Departemen Pertanian dalam satu pertemuan HAM.
Adolf Henesby, seorang kepala sekolah menceritakan kesaksiannya pada Pengadilan HAM di Irian Barat yang diadakan di Port Moresby, Mei 1981. Pada suatu hari di April 1963 sekolah Adolf digerebek dan dicari, dikejar simbol-simbol nasional Papua oleh pasukan tentara Indonesia.
Bendera-bendera, buku-buku, kartu-kartu atau sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan orang-orang Papua diambil. Adolf ditangkap kemudian dibawa ke asrama tentara Indonesia dan diinterogasi tentang mengapa pihaknya masih memelihara atau menahan lambang-lambang Papua. Dia ditanya siapa orang-orang penting Papua yang menghalangi kedatangan orang Indonesia di tanah Papua.
Di wilayah Mapenduma, kawasan Pegunungan Tengah Papua Barat sebuah wilayah menjadi pusat Daerah Operasi Militer (DOM) 1999. Militer membuka markas di wilayah itu untuk mengejar gembong OPM pimpinan Kelly Kwalik dan Daniel Yudas Kogeya.
Tindakan kekerasan pelanggaran HAM seperti pemerkosaan, ancaman akan dibunuh, intimidasi dan penganiayaan terjadi pada perempuan. Para perempuan setempat tidak berdaya atas semua tindakan yang dilakukan oleh militer Indonesia.
Noakwe Gwijangge (60), seorang perempuan tua yang sudah “menopause” menjadi korban pemerkosaan oleh Martin, seorang anggota militer. Nirinera Gwijangge (25), istri Kepala Kampung Paltam/Mugi menuturkan bahwa dirinya diperkosa oleh 10 orang anggota pasukan karena diduga menyembunyikan keberadaan anaknya, Leon Nigiri dan suaminya, Alex Nigiri yang diduga bekerja sebagai OPM. Bahkan rumah dan harta bendanya dimusnahkan pada jam 24.00 malam waktu setempat.
Pada 15 Januari 1962 pertempuran di Laut Arafuru antara Angkatan Laut Belanda dengan Indonesia di daerah Pantai Barat mengakibatkan admiral Yos Sudarso dan KRI Macan Tutul ditenggelamkan oleh kekuatan Angkatan Laut Belanda.
Indonesia mendroping pasukan darat yang diterjunkan di hutan-hutan di seluruh wilayah Papua Barat untuk menduduki secara paksa wilayah itu hingga saat ini.
Kemudian, dilanjutkan dengan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua sesuai dengan Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 tentang hak menentukan nasib sendiri penduduk Irian Barat. Oleh karena itu, dilaksanakan Pepera dari tanggal 14 Juli-2 Agustus melalui sebuah Resolusi Nomor 2504 pada 19 November 1969.
Dr Fernando Ortiz, pengamat Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai pengawas dalam penentuan pendapat itu mengkhawatirkan upaya Bung Karno melakukan rekayasa Pepera. Pada tahun 1964 Presiden Soekarno mengumumkan bahwa Pepera tidak dapat diadakan karena seluruh rakyat Irian Barat dengan suara bulat menjadi masyarakat Indonesia.
Dalam perjanjian itu PBB mengirim 50 orang ahli untuk melihat Pepera di Papua, tetapi Indonesia hanya menyetujui 25 orang ahli. Penduduk Papua saat itu berjumlah 809.337 orang. Sedangkan yang ikut pemilihan umum (referendum) saat itu hanya 1,025 orang.
Penduduk yang tidak ikut referendum menyatakan bahwa mereka diteror, diintimidasi, intervensi, dan interogasi oleh militer Indonesia. Sejak saat itulah dendam rakyat Papua terhadap Pemerintah Indonesia karena tidak ingin Papua melepaskan diri dari Indonesia.
Ortiz yang menjadi saksi referendum di Papua dalam suatu Sidang Umum PBB dalam laporannya paragraf 164 halaman 260 menegaskan, pemberontakan rakyat Papua memegang teguh janji “kemerdekaan Papua“ oleh Pemerintah Belanda bekas jajahan di wilayah itu.
Sejak Indonesia menduduki Papua Barat penduduk asli Papua semakin berkurang hingga saat ini. Penduduk pendatang di Papua Barat sebanyak 60 persen dan penduduk asli tinggal 40 persen. Jumlah penduduk Papua tahun 2024 sebanyak 4. 542, 000 jiwa.
Mantan Gubernur Papua Barnabas Suebu dalam seminar di Aula Seminari Tinggi Ritapiret, Maumere, Flores tahun 2001 menyebutkan, hasil penelitian yang dilakukan Pemerintah Provinsi Papua menemukan telah terjadi pelanggaran HAM dan diskriminasi antara penduduk asli dengan para pendatang khususnya transmigran.
Faktor pendorong
Selain itu, ada sejumlah kondisi lain yang mendorong rakyat Papua Barat memilih melepaskan diri daripada tetap bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI).
Pertama, orang asli Papua Barat tidak merasa sebagai bagian dari Bangsa Indonesia. Perasaan sebagai orang lain dirasakan oleh semua lapisan masyarakat tanah Papua dalam semua aspek, terutama dari segi sosial budaya.
Walaupun bangsa Indonesia terdiri dari unsur-unsur yang berbeda-beda, tetapi rakyat Papua merasa bahwa perbedaan mereka adalah perbedaan yang tidak mungkin untuk hidup berdampingan dengan orang lain sebagai suatu bangsa.
Kedua, diperlakukan secara tidak adil dan diskriminatif. Beberapa kebijaksanaan pemerintah pusat dinilai oleh mereka sebagai kebijaksanaan yang tidak adil dan diskriminatif.
Misalnya, kebijaksanaan tentang pembangunan transmigrasi yang menganaktirikan penduduk lokal, bantuan pembangunan gedung-gedung ibadah oleh Presiden Soeharto kala itu hanya untuk pembangunan Masjid.
Selain itu, kebijaksanaan Departemen Agama kala itu yang diskriminatif, kebijaksanaan perimbangan keuangan pusat-daerah, khususnya kebijaksanaan fiskal yang diskriminatif.
Ketiga, tidak pernah menikmati sumber kekayaan alam di bumi Papua yang adalah milik rakyat Papua. Sebagai kelompok minoritas (secara suku dan agama) mereka berpikir bahwa aset yang mereka sumbangkan kepada bangsa dan negara RI sangat besar atau 20 persen wilayah daratan beserta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ibarat provinsi yang memberikan saham terbesar kepada Indonesia tetapi mereka sendiri hidup miskin di atas kekayaan alamnya sendiri.
Keempat, selalu ditindas dan banyak rakyat yang dibunuh bila mereka menuntut hak-hak mereka. Dalam berbagai upaya mempertahankan hak ulayatnya mereka selalu berhadapan dengan aparat negara lalu mereka kembali menjadi korban pelanggaran HAM.
Kelima, menolak proses integrasi ke dalam NKRI atas dasar Pepera. Rakyat Papua merasa bahwa Pepera adalah rekayasa Pemerintah RI, Belanda, dan Amerika Serikat.
Rakyat Papua tidak dilibatkan sebagai subyek hukum internasional dan pelaksanaannya tidak dilakukan secara demokratis sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek yang berlaku dalam masyarakat internasional.
Keenam, rakyat setempat telah sepakat tertuang dalam pernyataan politik pada Kongres II Rakyat Papua. Bahwa apabila mereka tidak memisahkan diri dari NKRI, mereka akan punah dan harta kekayaan alam yang mereka miliki juga akan habis dirampas orang lain.
Hal ini sangat mendorong seluruh rakyat Papua Barat untuk tiba pada niat dan tekad bersama, mengambil keputusan untuk memisahkan diri dari NKRI. Ketujuh, mereka akan berjuang terus mencapai kemerdekaan dengan cara yang damai untuk dan atas nama kebenaran serta keadilan bagi bangsa Papua.