BEBERAPA hari lalu, dalam rangka menyongsong peringatan Hari Kemerdekaan RI yang ke-80, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato. Isinya adalah seruan optimisme, ajakan persatuan, dan harapan akan masa depan. Lebih spesifik lagi, beliau mengajak seluruh rakyat Indonesia mengibarkan bendera Merah Putih di mana-mana. Ini tradisi yang seharusnya menyatukan, membangkitkan kebanggaan nasional.
Namun, respons dari masyarakat justru tak terduga. Alih-alih menggaungkan semangat yang sama, fenomena lain muncul: pengibaran bendera Bajak Laut Topi Jerami dari serial One Piece. Ini bukan sekadar tren iseng. Ini adalah pernyataan, sebuah perlawanan diam yang menyuarakan kekecewaan mendalam.
Mengapa bendera nasional kita, simbol perjuangan dan kemerdekaan, seolah harus ‘mengalah’ pada simbol fiksi? Jawabannya terletak pada janji-janji kesejahteraan yang terasa kian jauh. Narasi indah tentang Indonesia maju, rakyat makmur, dan kehidupan layak, kini terasa hambar.
Realita di lapangan berbeda jauh. Beban ekonomi mencekik, biaya hidup melonjak, lapangan kerja sulit. Harapan kian menipis. Rakyat, yang semestinya jadi prioritas, justru merasa tersisih, sengsara, dan menderita. Ada jurang menganga antara retorika elite dan kenyataan pahit yang dihadapi.
Dalam konteks ini, Merah Putih seolah menjadi representasi dari negara dan pemerintah yang, di mata mereka yang kecewa, gagal menepati amanahnya. Bukan berarti membenci bangsa sendiri, tapi ini adalah frustrasi terhadap kepemimpinan yang dianggap abai.
”Merah Putih No!” bukanlah pengkhianatan terhadap Tanah Air. Ini adalah teriakan putus asa terhadap arah yang sedang dituju oleh nahkoda kapal besar bernama Indonesia.
Di sinilah bendera One Piece, dengan tengkorak bertopi jerami dan tulang bersilang, menemukan relevansinya. Bendera ini adalah simbol kebebasan tak terbatas, petualangan tanpa akhir, dan perlawanan terhadap otoritas korup.
Monkey D. Luffy dan krunya selalu berjuang melawan ketidakadilan, penindasan, dan sistem yang menindas. Mereka adalah gambaran impian yang terus dikejar. Mereka mewakili keberanian melawan arus, juga solidaritas antar sesama yang tertindas.
Rakyat yang merasa janji kesejahteraan hanyalah ilusi, menemukan semangat perjuangan mereka dalam bendera ini. Ini seruan agar semangat perlawanan terhadap kemiskinan dan ketidakadilan tak pernah padam.
Ini adalah bentuk perlawanan rakyat terhadap negara dan pemerintah yang dianggap tak menepati janji. Ini adalah teriakan dari mereka yang merasa suaranya tidak didengar melalui cara konvensional. Ketika ruang dialog formal buntu, simbolisme menjadi bahasa terakhir.
Bendera One Piece yang berkibar di mana-mana bukanlah seruan untuk anarki. Ini adalah pengingat keras bagi setiap pemegang kekuasaan. Ini cermin hati nurani rakyat yang mendambakan keadilan, kesejahteraan, dan pemerintahan yang benar-benar berpihak pada mereka.
Sudah saatnya pemerintah berhenti menutup mata dan telinga. Saatnya merespons jeritan diam yang terwakili oleh setiap kibaran bendera Bajak Laut Topi Jerami. Sebab, ketika simbol fiksi lebih lantang berbicara daripada janji nyata, maka krisis kepercayaan telah mencapai puncaknya. Ini bukan lagi soal pidato, tapi tentang tindakan nyata untuk mengembalikan harapan yang hampir padam. (Editor)