SETELAH satu dekade absen, Presiden RI Prabowo Subianto dijadwalkan untuk berpidato pada Sidang Umum PBB ke-80 dalam sesi debat umum pada 25 September 2025. Banyak pihak berharap pidato tersebut akan menegaskan kembali dukungan Indonesia terhadap kemerdekaan Palestina, sebagai konsistensi moral dari politik luar negeri kita yang selama ini selalu menyuarakan keadilan internasional.
Dukungan terhadap Palestina bukan hanya simbol; ia telah menjadi bagian dari identitas diplomasi Indonesia. Negara kita lama menolak penjajahan, memperjuangkan hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri, dan menyuarakan solidaritas atas penderitaan yang diakui secara luas. Di panggung PBB, kaum tertindas dunia—dari Gaza sampai Tepi Barat—sering menjadi fokus Indonesia. Oleh karena itu, publik berharap Prabowo akan memperkuat narasi itu, membingkai Palestina tidak sekadar sebagai agenda politik luar negeri tetapi sebagai cermin konsistensi moral negara.
Di sisi lain, dalam negeri kita punya problem serupa yang sering disembunyikan di balik retorika besar. Papua, wilayah yang secara resmi bagian dari NKRI, tetap memiliki gerakan yang mendorong kemerdekaan atau minimal otonomi yang jauh lebih besar. Meskipun tidak semua pihak mendukung separatisme secara langsung, aspirasi itu nyata. Di forum internasional, terutama dalam Sidang Umum PBB, negara seperti Vanuatu berulang kali menyuarakan dukungan terhadap hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua. Keberanian kecil ini membuka luka lama yang sering diabaikan, bahwa aspirasi masyarakat Papua belum pernah benar-benar dijawab dalam dialog politik yang setara.
Ada kontradiksi yang tak mudah dikesampingkan. Di satu sisi, Indonesia dengan lantang membela Palestina atas nama hak asasi dan kedaulatan rakyat. Di sisi lain, ketika tuntutan serupa muncul dari dalam negeri, responsnya sering keamanan, pembangunan top-down, dan penolakan terhadap referendum atau opsi politik lepas dari kontrol pusat. Pendekatan ini terkadang menciptakan kesan bahwa Indonesia memegang standar ganda: membela hak rakyat asing, tetapi membatasi ruang rakyat sendiri untuk menyuarakan tuntutan yang dianggap bertentangan dengan integritas negara.
Konteks Palestina dan Papua memang berbeda—dengan sejarah, aspek internasional, dan karakter konflik yang khas masing-masing. Namun dari sisi moral, ada kemiripan yang mencolok: keduanya adalah rakyat yang merasa terbelenggu di tanah mereka sendiri, dengan kekayaan alam yang besar tetapi merasa sedikit mendapatkan manfaatnya. Prabowo saat berpidato punya peluang lebih dari sekadar simbol; dunia bisa memperhatikan, tidak hanya apa yang dikatakan Indonesia mengenai Palestina, tetapi juga bagaimana Indonesia memperlakukan Papua ketika berbicara tentang hak asasi.
Pidato Presiden di PBB ini akan menjadi ujian diplomasi sekaligus uji moral. Mendukung Palestina dengan keras tapi membungkam suara Papua akan dianggap standar ganda dan bisa merusak kredibilitas. Jika Indonesia ingin dipandang sebagai negara yang adil, maka keadilan harus berlaku di dalam negeri sama seperti di luar negeri. Papua adalah cermin—dan publik global akan melihat bagaimana kita memperlakukan “cermin” tersebut ketika kita berbicara lantang tentang keadilan di panggung internasional. (Editor)










