Oleh Don Bosco Doho
Dosen dan Pembimbing Mahasiswa Papua Penerima Beasiswa Freeport di LSPR, Jakarta
DI TENGAH megahnya barisan pegunungan yang menjadi tulang punggung Pulau Cendrawasih, sebuah kabar baik berhembus menyejukkan. Di Provinsi Papua Pegunungan, sebidang tanah seluas tujuh hektar telah disiapkan. Tanah itu bukan sekadar hamparan lahan kosong. Ia adalah kanvas, tempat fondasi sebuah mimpi besar akan diletakkan.
Di sanalah, salah satu pilar utama program pendidikan Presiden Prabowo Subianto, Sekolah Rakyat, akan mulai dibangun. Ini bukan sekadar proyek infrastruktur; ini adalah peneguhan janji, sebuah ikhtiar tulus untuk menyalakan kembali obor pendidikan yang akan menerangi jalan bagi generasi emas Papua menuju masa depan yang lebih cerah, adil, dan sejahtera.
Kabar ini membawa gelombang optimisme yang melintasi lembah, menyusuri sungai, hingga ke pesisir-pesisir terjauh di Tanah Papua. Gagasan tentang Sekolah Rakyat bukanlah sesuatu yang asing di telinga masyarakat tanah Papua. Sebaliknya, ia membangkitkan memori kolektif yang hangat dan penuh kebanggaan. Ia adalah gema dari masa lalu, sebuah konsep yang terbukti berhasil dan kini dihidupkan kembali dengan semangat dan visi baru yang lebih besar.
Catatan ini adalah sebuah undangan untuk merenung, berharap, dan bergerak bersama. Undangan untuk melihat bahwa Program Sekolah Rakyat ini bukanlah program “dari pusat untuk daerah” semata. Ini adalah upaya kita bersama, sebuah gerakan kebangkitan pendidikan yang akarnya tertancap kuat dalam sejarah Papua, dan pucuknya diarahkan untuk menjulang tinggi menggapai langit cita-cita anak-anak Papua.
Ayo kita telusuri bersama, mengapa Sekolah Rakyat ini adalah jawaban yang kita nanti, dan bagaimana ia akan menjadi jembatan emas yang menghubungkan warisan mulia masa lalu dengan kejayaan masa depan tanah Papua.
Akar Sejarah yang Kokoh
Untuk memahami kekuatan gagasan Sekolah Rakyat, tidak ada salahnya kita sejenak kembali ke masa lalu. Jauh sebelum hiruk pikuk modernitas menyentuh pedalaman tanah Papua, ada pelita-pelita kecil yang tak kenal lelah menyala di tengah kegelapan keterisolasian. Pelita itu adalah sekolah-sekolah sederhana yang didirikan oleh para misionaris dan zending.
Dari pesisir hingga ke lembah-lembah terpencil, para perintis dari misi Katolik dan zending Protestan datang bukan hanya membawa kabar baik spiritual, tetapi juga membawa sebuah hadiah yang tak ternilai harganya yang bernama pendidikan.
Para misionaris berhati mulia mendirikan apa yang pada hakikatnya adalah sekolah rakyat pertama di tanah Papua. Sekolah-sekolah ini seringkali sangat sederhana. Bangunannya terbuat dari kayu dan beratapkan daun sagu. Papan tulisnya terbuat dari batu tulis (lei), dan alat tulisnya adalah kapur atau arang.
Namun, di dalam kesederhanaan itu, bersemayam semangat yang luar biasa. Para guru, baik misionaris asing maupun “guru jemaat” lokal yang mereka latih, mengajar dengan dedikasi total. Mereka tidak hanya mengajarkan baca, tulis, dan hitung (calistung), tetapi juga menanamkan nilai-nilai disiplin, kebersihan, etos kerja, dan yang terpenting, keyakinan bahwa setiap anak memiliki potensi yang tak terbatas.
Sekolah-sekolah itu menjadi kawah candradimuka bagi generasi pertama pemimpin dan cendekiawan Papua. Di sanalah anak-anak dari berbagai suku, yang sebelumnya mungkin tidak pernah membayangkan dunia di luar kampung mereka, mulai mengenal huruf dan angka.
Mereka belajar tentang dunia yang lebih luas, tentang sejarah, dan tentang ilmu pengetahuan. Proses ini membuka mata dan pikiran mereka. Mereka adalah para perintis yang namanya diabadikan sebagai nama jalan, gedung, bahkan bandara, dan kisah mereka menjadi inspirasi.
Kisah-kisah sukses dari era ini melegenda dan terus diceritakan dari generasi ke generasi. Kita mendengar tentang bagaimana seorang anak dari pedalaman Lembah Baliem, yang pertama kali memegang buku di sekolah zending, kelak menjadi seorang pendeta terkemuka yang memimpin ribuan umatnya.
Kita mendengar cerita tentang seorang anak dari pesisir Merauke, yang belajar di bawah bimbingan pastor Misi, akhirnya menjadi seorang birokrat ulung yang turut membangun fondasi pemerintahan di daerahnya. Mereka adalah buah-buah pertama dari pohon pendidikan yang ditanam dengan keringat dan doa oleh para perintis.
Orang-orang tua di Papua hari ini masih mengenang dengan penuh hormat bagaimana sekolah-sekolah gereja ini berhasil mengubah nasib. Disiplinnya keras, aturannya ketat, tetapi hasilnya nyata. Sekolah tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga pusat komunitas. Di sana, anak-anak tidak hanya mendapat ilmu, tetapi juga makanan tambahan, perawatan kesehatan dasar, dan bimbingan karakter yang membentuk mereka menjadi pribadi yang utuh.
Sekolah-sekolah yang didirikan oleh zending, terutama oleh tokoh seperti IS. Kijne di Miei, Teluk Wondama, yang kemudian mendirikan Sekolah Pamong Praja Opleidingsschool voor Inlandsche Bestuursambtenaren (OSIBA) di Hollandia (sekarang Jayapura), melahirkan banyak tokoh pergerakan dan pemerintahan.
Inspirasi Hidup
Beberapa tokoh tanah di antaranya dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, Frans Kaisiepo (pahlawan nasional Indonesia). Mungkin ini adalah tokoh paling ikonik. Frans mengenyam pendidikan di sekolah guru yang didirikan misi Katolik di Biak dan kemudian melanjutkan ke sekolah pamong praja. Pengetahuannya yang luas, yang diperoleh dari pendidikan zending, memberinya wawasan kebangsaan yang kuat.
Beliau adalah tokoh yang mengusulkan nama “Irian” (yang dalam bahasa Biak berarti “uap yang naik dari panas” atau semangat untuk bangkit) dan merupakan representasi Papua dalam Konferensi Malino. Namanya kini diabadikan sebagai bandara utama di Biak.
Kedua, Silas Papare. Silas adalah pahlawan nasional Indonesia dan adalah seorang perawat yang dididik oleh Misi. Silas kemudian menjadi salah satu tokoh paling gigih yang memperjuangkan integrasi Papua ke dalam Republik Indonesia. Silas mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII). Jelas bahwa pendidikan telah memberinya kemampuan berorganisasi dan berdiplomasi.
Ketiga, Marthen Indey. Ia pahlawan nasional Indonesia. Awalnya Marthen adalah anggota polisi kolonial, namun pendidikan dan interaksinya dengan kaum nasionalis yang dibuang ke Boven Digoel membuka wawasan kebangsaannya. Latar belakang pendidikannya, meskipun tidak setinggi yang lain, memberinya keberanian untuk menentang Belanda.
Keempat, Markus Kaisiepo. Markus adalah kakak dari Frans Kaisiepo. Markus juga merupakan salah satu tokoh terpelajar pertama dari Biak. Bersama adiknya, Markus aktif dalam gerakan politik dan menjadi suara penting bagi masyarakat Papua pada zamannya.
Kelima, Nicolaas Jouwe. Nicolaas merupakan salah satu pendiri Gerakan Papua Merdeka (OPM). Ia juga merupakan produk dari sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda dan zending. Pendidikan telah memberinya kemampuan untuk berartikulasi politik di tingkat internasional. Meskipun menempuh jalan politik yang berbeda, tidak dapat dipungkiri bahwa ia adalah salah satu cendekiawan Papua generasi awal yang sangat berpengaruh.
Sejarah mencatat “Sekolah Rakyat” begitu berharga dan mudah diterima di hati masyarakat Papua. Ini bukan konsep impor yang asing, tetapi merupakan model yang telah teruji oleh sejarah dan terbukti mampu mengangkat harkat dan martabat manusia Papua.
Program “Sekolah Rakyat” yang digagas Presiden Prabowo Subianto pada dasarnya merupakan sebuah penghormatan terhadap warisan mulia ini. Ia mengambil spirit, dedikasi, dan keberhasilan model lama, lalu memperkayanya dengan sumber daya, teknologi, dan visi modern untuk menjawab tantangan zaman sekarang. Maka upaya menghidupkan kembali Sekolah Rakyat, berarti melanjutkan sebuah perjalanan bersejarah yang sempat terhenti, untuk membawanya ke tingkat yang lebih tinggi lagi.
Tantangan Adalah Panggilan
Harus diakui bahwa setelah era keemasan sekolah rintisan misi dan zending, tanah Papua menghadapi tantangan pendidikan yang kompleks dan berlapis. Mengakui tantangan ini bukanlah tanda kelemahan atau upaya untuk menyalahkan siapapun. Sebaliknya, ini adalah langkah pertama yang jujur dan penting untuk menemukan solusi yang tepat. Memahami masalah adalah separuh dari kemenangan.
Kenyataan membuktikan bahwa ada sejumlah tantangan. Pertama, kondisi geografis Papua. Tanah Papua dianugerahi keindahan alam yang luar biasa, namun medan yang berat dengan gunung-gunung terjal, lembah-lembah dalam, dan hutan lebat menjadi penghalang fisik yang nyata.
Banyak kampung dan distrik yang terisolasi, hanya bisa dijangkau dengan pesawat perintis atau berjalan kaki berhari-hari. Akibatnya, distribusi guru, buku, dan fasilitas sekolah menjadi sangat sulit dan mahal. Anak-anak di daerah terpencil seringkali harus menempuh perjalanan berbahaya setiap hari hanya untuk mencapai sekolah terdekat, yang mungkin juga kekurangan guru.
Kedua, ketersediaan dan pemerataan guru. Banyak sekolah di pedalaman Papua mengalami kekurangan guru, terutama guru yang berkualitas dan mau menetap dalam jangka waktu lama. Seringkali, satu sekolah hanya memiliki satu atau dua orang guru yang harus mengajar beberapa kelas sekaligus.
Kita salut pada dedikasi para pahlawan tanpa tanda jasa ini, namun kondisi ini jelas tidak ideal untuk proses belajar-mengajar yang efektif. Kesenjangan kualitas antara sekolah di kota-kota besar seperti Jayapura atau Merauke dengan sekolah di pedalaman Wamena atau Puncak Jaya masih sangat terasa.
Ketiga, infrastruktur dan fasilitas yang belum memadai. Meskipun pemerintah telah berupaya keras, masih banyak gedung sekolah yang kondisinya memprihatinkan. Ketiadaan listrik, akses internet yang terbatas, perpustakaan yang minim buku, dan laboratorium yang tidak ada, membuat anak-anak Papua sulit bersaing dengan rekan-rekan mereka di bagian lain Indonesia. Pendidikan modern membutuhkan fasilitas pendukung yang layak, dan ini masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Keempat, tantangan sosial-ekonomi dan kesehatan. Tingkat kemiskinan di beberapa wilayah membuat orang tua sulit untuk memprioritaskan pendidikan. Anak-anak terkadang harus membantu orang tua berkebun atau bekerja, sehingga tidak bisa rutin bersekolah. Masalah gizi juga menjadi faktor krusial. Anak yang kurang gizi akan sulit berkonsentrasi dan menyerap pelajaran. Otak membutuhkan nutrisi untuk berkembang, dan ini adalah fondasi dari kecerdasan.
Program Sekolah Rakyat yang digagas Presiden Prabowo adalah jawaban langsung atas panggilan ini. Model sekolah berasrama (boarding school) adalah bisa menjadi solusi cerdas untuk mengatasi masalah geografis dan kehadiran siswa. Dengan tinggal di asrama, anak-anak dari kampung-kampung yang jauh tidak perlu lagi menempuh perjalanan berbahaya setiap hari. Mereka bisa fokus belajar dalam lingkungan yang aman dan mendukung.
Fokus pada gizi dan kesehatan di dalam sekolah adalah jawaban untuk memastikan anak-anak memiliki energi dan kemampuan kognitif untuk belajar. Pembangunan fasilitas modern dan penempatan guru-guru terbaik adalah jawaban untuk mengatasi kesenjangan kualitas.
Dengan kata lain, program ini tidak hanya melihat masalah di permukaan, tetapi mencoba mencabutnya dari akarnya. Tantangan yang ada menjadi justifikasi, mengapa sebuah terobosan besar seperti Sekolah Rakyat ini mutlak diperlukan sekarang juga.
Sekolah Rakyat Era Baru
Di atas lahan tujuh hektare di Papua Pegunungan itu, dan di lokasi-lokasi lain yang akan menyusul di seluruh tanah Papua, akan berdiri sebuah model pendidikan baru yang revolusioner. Inilah Sekolah Rakyat era baru: sebuah sintesis antara kearifan masa lalu dan visi masa depan. Ini bukan sekadar sekolah biasa; ini adalah sebuah ekosistem pendidikan yang dirancang secara holistik untuk membentuk manusia Papua yang unggul, berkarakter, dan bangga pada identitasnya.
Untuk mewujudkan visi pendidikan yang unggul dan kontekstual maka ciri khas sekolah rakyat ini bermodel asrama dan diberikan makanan bergizi untuk kesehatan. Sekolah Rakyat juga menggunakan kurikulum unggul yang diperkaya kearifan lokal. Fasilitas dan guru-guru terbaik akan memberikan nilai lebih dari program ini.
Asrama di sini bukan sekadar tempat tidur. Ia akan menjadi “rumah kedua” yang penuh kehangatan dan disiplin positif. Di asrama, anak-anak akan belajar hidup bersama dalam keberagaman suku, menumbuhkan rasa persaudaraan sebagai sesama anak Papua.
Mereka akan belajar manajemen waktu, kemandirian, dan tanggung jawab. Jadwal harian yang terstruktur akan memastikan ada waktu untuk belajar, beribadah, berolahraga, mengembangkan bakat, dan beristirahat yang cukup.
Presiden Prabowo Subianto sangat memahami bahwa tidak mungkin membangun kecerdasan di atas perut yang lapar. Oleh karena itu, Sekolah Rakyat akan dilengkapi dengan dapur modern dan juru masak yang terlatih untuk menyediakan makanan bergizi seimbang setiap hari.
Program makan bergizi gratis akan menjadi bagian tak terpisahkan dari operasional sekolah. Akan ada pemeriksaan kesehatan rutin, program imunisasi, dan pendidikan pola hidup sehat. Kita ingin memastikan setiap anak tumbuh kembang secara optimal, baik fisik maupun mental. Anak yang sehat dan kuat adalah pelajar yang hebat.
Sekolah Rakyat akan menerapkan kurikulum nasional terbaik yang setara dengan sekolah-sekolah unggulan di Jawa. Mata pelajaran seperti Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika (STEM) akan menjadi fokus untuk mempersiapkan anak-anak Papua menghadapi tantangan global. Bahasa Inggris akan diajarkan secara intensif sejak dini.
Kurikulum akan diperkaya dengan pelajaran tentang sejarah Tanah Papua sebagai muatan lokal, bahasa-bahasa daerah, seni ukir dan tari, serta nilai-nilai adat dan kearifan lokal. Anak-anak akan belajar tentang kekayaan alam mereka, tentang cara melestarikan hutan dan laut, dan tentang sistem sosial tradisional mereka yang penuh nilai luhur.
Tujuannya adalah melahirkan generasi yang modern namun tidak tercerabut dari akarnya. Mereka akan menjadi individu yang bisa berbicara di forum internasional dengan percaya diri, namun hatinya tetap berdegup dalam irama tifa dan jiwanya tetap sejuk oleh angin pegunungan Papua.
Sekolah Rakyat akan dibangun dengan standar tertinggi. Akan ada ruang kelas yang nyaman dan dilengkapi teknologi digital, laboratorium sains dan komputer yang canggih, perpustakaan dengan ribuan koleksi buku fisik dan digital, lapangan olahraga serbaguna, serta ruang kesenian dan musik.
Akses internet berkecepatan tinggi akan membuka jendela dunia bagi para siswa, memungkinkan mereka belajar dari sumber terbaik di manapun. Ini adalah upaya untuk memastikan bahwa anak-anak di pedalaman Papua pun mendapatkan fasilitas yang sama baiknya, atau bahkan lebih baik, dari anak-anak di kota besar.
Semua paham kalau tulang punggung dari sekolah yang hebat adalah guru yang hebat. Pemerintah akan melakukan seleksi ketat untuk merekrut guru-guru terbaik dari seluruh Indonesia untuk mengajar di Sekolah Rakyat ini, dengan memberikan insentif dan fasilitas yang sangat layak.
Selain itu, program ini juga akan memprioritaskan dan melatih putra-putri asli Papua untuk menjadi guru-guru masa depan di tanah kelahiran mereka sendiri. Akan ada program pengembangan kapasitas guru secara berkelanjutan untuk memastikan metode pengajaran mereka selalu relevan dan efektif.
Sekolah Rakyat era baru adalah sebuah paket lengkap. Ia bukan sekadar tempat mentransfer ilmu, tetapi sebuah pusat pembentukan karakter, pengembangan bakat, pemeliharaan kesehatan, dan peneguhan identitas budaya. Ia adalah investasi jangka panjang yang paling strategis untuk masa depan Papua. Dari sekolah-sekolah inilah akan lahir para pemimpin, insinyur, dokter, pilot, pengusaha, seniman, dan atlet masa depan Papua, yang akan membangun tanah mereka dengan ilmu dan cinta.
Pendidikan Sebagai Jembatan Emas
Sebuah pepatah bijak mengatakan, “Berikan seseorang ikan, ia akan makan sehari. Ajari ia memancing, ia akan makan seumur hidupnya.” Filosofi inilah yang menjadi jantung dari program Sekolah Rakyat. Bantuan sosial dan pembangunan infrastruktur fisik memang penting, namun sifatnya seringkali sementara. Tetapi pendidikan adalah investasi yang abadi. Pendidikan adalah kail, bukan ikan. Ia adalah alat pemberdayaan yang paling ampuh, karena ia bekerja dari dalam diri manusia.
Investasi Kemanusiaan
Esensi sejati dari program Sekolah Rakyat adalah investasi pada kemanusiaan itu sendiri. Ia tidak berhenti pada pemberian bantuan, melainkan pada penciptaan kemampuan. Ia tidak membangun ketergantungan, melainkan menumbuhkan kemandirian dan martabat.
Karena ketika pengetahuan dan karakter telah tertanam di dalam jiwa seorang anak, ia akan menjadi agen perubahan bagi dirinya sendiri, keluarganya, dan komunitasnya seumur hidup. Maka hamparan lahan tujuh hektare di Papua Pegunungan itu kini bukan lagi sekadar tanah, ia adalah simbol dari komitmen, bukti dari sebuah niat tulus yang siap diwujudkan.
Obor pendidikan yang dulu dinyalakan oleh para misionaris, yang cahayanya telah melahirkan generasi pemimpin pertama, kini siap dinyalakan kembali dengan api yang lebih besar dan cahaya yang lebih terang. Batu pertama dari jembatan emas menuju masa depan gemilang Papua siap diletakkan. Perjalanan ini adalah awal dari sebuah harapan baru, sebuah ikhtiar bersama untuk memastikan tak ada lagi anak Papua yang tertinggal.