Menuju Masyarakat yang Sehat - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Menuju Masyarakat yang Sehat

Kasdin Sihotang, dosen Filsafat Moral Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Kasdin Sihotang

Dosen Filsafat Moral Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta

ARE we sane? Pertanyaan ini diajukan oleh Erich Fromm mengawali bukunya berjudul The Sane Society (2002). Pertanyaan ini sederhana, namun menggugah hal yang sangat mendalam dan mendasar dalam hidup manusia. 

Dalam konteks berbangsa dan bernegara lebih-lebih memaknai 80 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, pertanyaan Erich Fromm itu pula dapat diajukan untuk semakin memberi mutu bagi kehidupan yang dijalani masyarakat Indonesia ke depan.

Simpton Masyarakat Sakit

Bercermin dari fenomena, bahkan faktisitas kehidupan sosial politik belakangan ini, jawaban atas pertanyaan Erich Fromm di atas tentu bernada negatif. Secara lain dapat dikatakan kondisi bangsa ini sedang sakit. Apa indikasi dari kondisi buruk demikian? Minimal lima hal yang bisa disebutkan memperlihatkan kondisi demikian. 

Pertama, kehidupan publik, lebih-lebih ruang publik digital sangat didominasi dengan bahasa sarkastis dengan pilihan diksi-diksi yang merendahkan dan menjatuhkan orang lain. 

Di ruang publik digital seseorang tidak merasa sungkan untuk mengeluarkan kata-kata kasar terhadap lawan atau siapa saja yang tidak disukainya tanpa pandang bulu dan tanpa kenal latar belakang dan jasanya bagi negeri ini. 

Konkritnya, nilai-nilai penghargaan terhadap harga diri orang lain, termasuk harga diri si pembicara itu sendiri hilang di telan emosi dan rasa dendam kesumat yang tidak berkesudahan. 

Kedua, maraknya penyimpangan dan penyalahgunaan di kala menjabat. Lebih-lebih hal ini sangat kentara dengan korupsi, yang dari waktu ke waktu terus terjadi, bahkan mengalami peningkatan dan perluasan ranah. 

Penghargaan atas hak-hak orang lain mati dan terkubur dalam maraknya perilaku koruptif, baik di kalangan pejabat maupun sejumlah kalangan lain. Lebih parah, para koruptor tidak merasa bersalah, malah merasa bangga tampil di ruang publik sebagai koruptor. 

Sungguh guilty culture dan shame culture telah terkubur dalam di sifat serakah, rakus dan tamak, Jelas-jelas ini pertanda masyarakat yang tidak beres. 

Ketiga, ekspansi dan eskalasi deforestasi yang mengganas dan semakin menggila. Akhir-akhir ini kasus perusakan lingkungan begitu marak dan hampir terjadi di seluruh Indonesia. Kasus yang terakhir adalah perusakan alam yang terjadi di Raja Ampat. 

Demikian halnya terjadi di Sumatera Utara, secara khusus di Humbang Hasundutan, Kecamatan Parlilitan. Alam dihancurkan dan dirusak. Semua itu karena merajalelanya sikap maruk dan rakus serta tamak para kapitalis, yang pelakunya kebanyakan adalah orang Indonesia sendiri. 

Mereka melakukan perusakan alam dengan pembabatan hutan tanpa henti dan tanpa pikir panjang akibat buruk dahsyatnya bagi masyarakat setempat, lebih-lebih bagi kehidupan ekosistem dan generasi berikutnya. Ini juga pertanda masyarakat kita tidak sehat.

Keempat, semakin maraknya bentuk-bentuk penipuan, yang tujuannya untuk meraup keuntungan bagi diri sendiri atau kelompok. Ini merupakan akibat dari pragmatisme dan semangat absolut atas bangkitnya sifat konsumerisme serta hedonisme dalam kehidupan nyata. 

Dengan sikap pragmatisme orang menganggap tidak perlu lagi perjuangan dan jerih payah, melainkan hasil dan perolehan cepat. Karena konsumerisme orang orang tidak lagi bisa membedakan mana kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, dan kebutuhan tersier. Yang penting bisa menikmati hari ini. 

Demikian halnya hedonisme. Penyakit ini membuat orang tidak lagi berpikir panjang tentang masa depan. Semboyannya adalah “Carpe Diem”, yang penting hari ini, besok urusan lain. Lagi-lagi ini menambah penyakit masyarakat.

Kelima, bangkitnya populisme yang baru. Banyak orang menjadi populer bukan dengan melakukan hal-hal yang positif, tetapi justru melalui hal-hal yang negatif, yang sebenarnya tidak lain tidak bukan sebagai cerminan dari sakitnya masyarakat.

Erik Fromm mensinyalir rangkuman atas kondisi itu terungkap dalam kalimat demikian: “Today, we across a person who acts and feels like an automaton: who never experiences anything which is really his; who experiences himself entirely as the persons he thinks he is supposed to be; whose artificial smile has replaced genuine laughter; whose meaningless chatter has replaced communicative speech; whose dulled despair has taken the place of genuine pain”. 

Inti kalimat panjang Erich Fromm di atas cukup jelas, yakni banyak orang bertindak mekanistik, irrasional, tanpa rasa. Mereka menjadi pribadi yang bertindak dan merasa persis seperti mesin otomatis, yang tidak pernah mengalami sesuatu sebagai sunguh-sungguh miliknya, mengalami dirinya secara total sebagai pribadi yang ia bayangkan demikian, yang senyum palsunya menggantikan tawa yang tulus, yang omongannya hampa makna; yang rasa putus asanya nan muram telah menggeser rasa sakit yang sesungguhnya. 

Tindakan Kuratif

Bagaimana menyembuhkan kondisi masyarakat yang sakit demikian? Menjawab pertanyaan ini bukanlah sesuatu yang gampang. Namun sekurang-kurangnya ada empat hal yang perlu diangkat untuk tujuan baik itu. 

Pertama, konsientisasi humanisme. Maksudnya apa? Konsientisasi maksudnya adanya upaya penyadaran terus menerus tentang hakikat diri sebagai subjek yang berharga. Paulo Freire dalam bukunya, Pedagogy of the Oppresed (1972) mengatakan bahwa konsientisasi merupakan proses pembentukan diri terus menerus dengan menyadari realitas masyarakat di sekitar dan dalam realitas itu subjek ditempatkan sebagai pribadi yang perlu dihargai dan dihormati. Tidak ada orang yang ingin direndahkan. 

Sebaliknya, setiap orang perlu martabatnya diangkat dan dihormati. Ini berarti setiap orang perlu membangkitkan kesadaran dalam dirinya bahwa orang lain adalah berharga sebagaimana juga dirinya berharga bagi orang lain. Ini sesungguhnya persis seperti dinyatakan Confusius dalam the Golden Rulesnya, yakni jangan melakukan kepada orang lain apa yang tidak kau inginkan dilakukan orang lain bagi dirimu. 

Secara positif dapat dikatakan bahwa berbuat baik kepada orang lain, agar orang lain melakukan hal yang sama kepada dirimu. Tentu pola pikir etika teleologis ini perlu didukung dengan etika deontologi, yakni menghormati orang lain sebagai kewajiban moral karena orang lain itu adalah manusia yang berharga pada dirinya sendiri.

Kedua, revitalisasi nilai-nilai kebangsaan. Bangsa Indonesia sesungguhnya memiliki kekuatan dan fundasi dalam soal ini, yakni Pancasila. Franz Magnis Suseno melihat secara jeli bahwa nilai Pancasila merupakan fundasi kehidupan manusia Indonesia. 

Nilai-nilai Pancasila merupakan etika dalam kehidupan sosial. Artinya, nilai-nilai Pancasila menjadi dasar berperilaku. Inti dari nilai-nilai Pancasila adalah penghargaan terhadap martabat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial yang didasari oleh semangat demokrasi dan etika sosial yang berbasis pada keadilan. 

Dalam hal ini orang tidak saja hanya memikirkan diri sendiri, tetapi juga memikirkan kehidupan orang lain. Ketika hal ini tumbuh dan berkembang dan menguasai pola pikir setiap pribadi, di situlah tercipta masyarakat yang sehat.

Ketiga, revitalisasi nilai religius. Selain nilai Pancasila, kekuatan bangsa Indonesia juga terletak dalam nilai-nilai religius. Sebenarnya nilai ini juga terakomodir dalam Pancasila, namun tentu muatannya lebih fundamental. 

Sementara penekanan konkret dan aplikasinya justru terejawantah dalam ajaran agama. Tidak ada agama yang mengajarkan kejahatan, sebab pada esensinya agama hadir untuk membuat manusia hidup lebih baik. Dalam pembentukan masyarakat yang sehat, dalam konteks keIndonesiaan, menghidupi nilai-nilai religius menjadi sangat berperan. 

Mengapa? Karena hidup religiositas tidak hanya bersifat vertikal dalam artinya hanya terkait dengan relasi pribadi dengan Sang Pencipta, tetapi juga bersifat horizontal, dalam wujud sikap-sikap positif terhadap bangsa. Konkretnya hidup religius itu berbuah dalam sikap-sikap positif terhadap sesama. 

Dengan demikian hidupnya nilai-nilai religius menjadikan masyarakat hidup secara sehat karena di sana ada penghargan pada nilai-nilai manusia, pengakuan bahwa sesama yang lain adalah sama-sama ciptaan.

Perwujudannya

Bagaimana hal-hal di atas terwujud dalam realitas sosial?  Pertama, keterbukaan satu sama lain dalam relasi sosial yang didasari cinta. Erich Fromm sangat meyakini bahwa kehidupan bersama akan sehat ketika cinta hidup di situ. 

Cinta merupakan kondisi yang paling dasar dan mensyaratkan integritas dan individualitas. Cinta merupakan kesatuan dengan pribadi seseorang atas pengalaman kebersamaan, kerukunan dan penghargaan atas kehidupan yang lain. 

Kedua, bangkitnya daya cipta diri, yang diistilahkan Fromm dengan transendensi. Manusia memiliki kemampuan berpikir yang tinggi dan ini modal sangat besar dalam menghidupkan kreasi dalam kehidupan bersama. 

Ketiga,  keberakaran. Yang dimaksudkan di sini adalah manusia menggali nilai-nilai kehidupan yang ada dalam diri dan masyarakatnya dan mengangkat itu sebagai pijakan serta menghidupinya dalam relasi sosial. Keberakaran itu adalah mencintai dan menghargai kehidupan. 

Keempat, memberi ruang bagi orientasi dan rasionalitas. Manusia memiliki arah hidup dan akal budi menjadi fundasi yang memberikan arah hidup itu. 

Kelima, bangkitnya nilai-nilai etis dalam relasi sosial seperti sikap menghargai orang lain dan kepribadiannya. Indonesia sesungguhnya memiliki modal yang begitu besar dalam hal ini, yakni nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai religius. Franz Magnis Suseno, dalam bukunya Pancasila, Agama dan Demokrasi (2024) menegaskan hal itu.

Lima hal di atas merupakan perwujudan dari masyarakat yang sehat. Dalam kelima hal itulah humanisasi dan hominisasi dimungkinkan. Di sana hidup semangat menghargai kehidupan, yang disebut oleh Fromm dengan biofilia. Masyarakat yang sehat justru ditandai dengan penghargaan akan kehidupan itu. Dasarnya adalah nilai-nilai Pancasila diperkokoh dan dimurnikan oleh nilai-nilai religius. Semoga.

Tinggalkan Komentar Anda :