Resensi: Menjelajahi Lekuk Tanah Papua: Dari Demokrasi Honai Hingga Kolonisasi Baru Bernama Transmigrasi

Resensi: Menjelajahi Lekuk Tanah Papua: Dari Demokrasi Honai Hingga Kolonisasi Baru Bernama Transmigrasi

Buku Lubang Hitam Kebudayaan Papua: Suara Kaum Tak Bersuara dari Seberang Papua karya Ben Senang Galus. Foto: Ansel Deri/Odiyaiwuu.com

Loading

PAPUA bukan sekadar benua dengan aneka suguhan wajah mempesona di setiap lekuknya. Ia lebih dari itu: bergelimang berbagai suku dengan adat serta ragam budaya yang menyebar dari pantai, bibir sungai, danau hingga menyentuh lereng gunung menjulang tinggi menyentuh langit bumi Cenderawasih. Bahkan lebih dari itu, tanah Papua ibarat perawan mempesona yang membunuh rasa pria pujaan yang tengah dimabuk asmara.

Di sisi lain lekuk tanah Papua bergelimang aneka konflik dan kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat. Konflik dan kekerasan dimaksud terjadi sejak Papua masuk dalam dekapan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak pelaksanaan Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Penentuan Pendapat Rakyat yang digelar pada 14 Juli-Agustus 1969. Pepera tak lain adalah pemilihan umum menentukan status rakyat West Papua memilih untuk merdeka sebagai sebuah negara berdaulat atau bergabung dengan ibu pertiwi.

Bila bergerak lebih ke dalam, menyentuh setiap sudutnya, siapapun akan takjub melihat dan menyaksikan aneka kekayaan alam tanah Papua. Sebaran aneka flora dan fauna yang menyebar di tujuh wilayah adat yaitu Mamta, Sairery, Doberay, Bomberay, Anim Ha, Lapago dan Meepago. Dunia pun tahu, Papua adalah benua yang kaya raya lalu menyedot raksasa tambang dunia, raksasa tambang dunia Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc yang berbasis di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat melalui PT Freeport Indonesia yang melebarkan sayap usaha mining serta aneka kandungan perut bumi di lereng gunung Nemangkawi, Papua Tengah.

Ben Senang Galus dalam Lubang Hitam Kebudayaan Papua: Suara Kaum Tak Bersuara dari Seberang Papua (2024) membedah aneka topik tak sebatas konflik dan kekerasan yang melilit tanah Papua dalam artikelnya yang dimulai (sesuai urutan) dari Demokrasi Honai: Sebuah Keniscayaan hingga Transmigrasi: Kolonisasi Baru di Papua, yang merupakan artikel penutup buku bersampul gelap ini. Selain tentu aneka tema lain yang terhimpun dalam buku ini tak absen dibahas Senang, yang hemat saya terlihat penulis sangat kuat dalam analisa atas persoalan yang menyertai tanah Papua hingga saat ini.

“Buku ini membahas berbagai ragam tema tentang Papua. Berbagai isu dan masalah keseharian orang Papua dibahas secara terbuka. Mulai dari isu imperialisme ekologi, masalah tambang sampai pada masalah transmigrasi. Jujur, saya memang belum pernah ke Papua. Namun, dengan perkembangan teknologi penulis terbantu mendapatkan informasi begitu cepat,” ujar Ben Senang Galus, kolumnis, penulis, dan dosen di sejumlah perguruan tinggi di Yogyakarta kelahiran Desa Lante, Manggarai, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

Kebijakan politik negara atas tanah Papua juga menjadi sorotan penulis dalam buku ini. Sejatinya, kata penulis (Senang) dalam Demokrasi Honai: Sebuah Keniscayaan, muara politik (pembangunan) diarahkan untuk memuliakan kemanusiaan atau meminjam terminologi kata bahasa Latin, quantum glorificavit humanum rei publicae re vera. Demikian pula, lanjut Senang, politik sebagai cara untuk membangun peradaban suatu bangsa menjadi lebih beradab. Partai politik (parpol) merupakan salah satu instrumen dalam mewujudkan demokrasi memiliki peran strategis melalui fungsi-fungsi parpol (hal. 1). Aneka tema yang disajikan dalam buku ini, termasuk konflik kekerasan negara atas tanah Papua, juga mendapat apresiasi dari internal tanah Papua. 

Menurut Dr Socratez Yoman dalam pengantar buku ini mengatakan, dalam upaya penyelesaian konflik kekerasan negara, ketidakadilan, rasisme, kolonialisme, neo imperialisme, kapitalisme, militerisme, dan lain-lain serta perampokan hak politik dan sumber daya alam serta dominasi kaum migran di tanah Papua telah menjadi bagian kepedulian, pergumulan, kerinduan dan perhatian semua pihak. Baik dari kalangan ilmuwan, akademisi, pemikir, analis, peneliti, penulis, pegiat kemanusiaan, sejarawan hingga rohaniwan. Sejumlah nama juga disebut Socratez dalam buku ini, yang dipandang punya care atas aneka persoalan yang membelit tanah Papua selama ini. Apresiasi juga dialamatkan kepada Senang, penulis buku ini. 

“Isi buku Ben Senang Galus ini juga secara implisit memberikan penguatan hasil penelitian LIPI 2019 bahwa di Papua ada persoalan ketidakadilan yang sangat kompleks. Indonesia sebaiknya menyelesaikan luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia yaitu empat pokok akar masalah Papua. Terlihat bahwa pemerintah dan TNI-Polri bekerja keras dengan berbagai bentuk untuk menghilangkan empat akar persoalan Papua,” ujar Socratez, hamba Tuhan sekaligus Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua.

Empat akar persoalan Papua merujuk Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future terbitan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI (2009) sebagai berikut. Pertama, masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia. Kedua, kekerasan dan pelanggaran HAM yang berlangsung di Papua dari 1965 melalui operasi militer nyaris tak ada pertanggungjawaban dari negara. Ketiga, perasaan terdiskriminasi dan termarjinalkan yang diakibatkan oleh penyingkiran orang-orang Papua dalam rumusan pembangunan di tanah mereka. Keempat, kegagalan pembangunan di Papua. 

Dalam aneka sajian tema Senang dalam bukunya ini tak lepas dari empat akar masalah pokok di atas. Bahkan Senang mencoba menelusuri aneka persoalan lain yang tengah dihadapi masyarakat tanah Papua belakangan. Tentu pula tak lepas dari berbagai kemajuan yang dialami masyarakat, terutama sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang telah mengalami revisi kedua kali. Kebijakan afirmatif negara dan otonomi khusus tentu diharapkan menjadi juruselamat masyarakat dan tanah Papua dari aneka gelimang ketertinggalan yang mendera benua yang ‘dibaptis’ sebagai potongan surga yang jatuh ke bumi. Senang sudah membaginya dalam aneka sajian dalam buku ini. Karya intelektual Senang menjadi legasi bagi sesama, terutama basudara nun di timur, tempat pertama matahari menyapa bumi.  Salam Literasi! Wa wa wa…..

Ansel Deri

Orang udik dari kampung, tinggal di Jakarta

Judul Buku            : Lubang Hitam Kebudayaan Papua: Suara Kaum Tak Bersuara 

                                  dari Seberang Papua

Penulis                   : Ben Senang Galus

Pengantar              : Dr Socratez Yoman

Desain sampul      : Iqbal

Penerbit                 : Edited Press, Yogyakarta

Cetakan pertama  : Desember 2024

Tebal                       : viii + 258 halaman

ISBN                        : 978-0-4356-5678-5

Tinggalkan Komentar Anda :