Oleh Agus Sumule
Dosen Universitas Papua, Manokwari, Papua Barat
ADA salah satu indikator yang tersedia di internet yang jarang digunakan untuk mengukur sudah sejauh mana kita berhasil membangun dari kampung. Indikator itu adalah pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) tingkat kampung). Indikator itu tersedia gratis di website Kementerian Desa Republik Indonesia dan bisa diakses oleh siapa saja.
SDGs merupakan serangkaian tujuh belas tujuan global yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tahun 2015. Tujuan-tujuan ini adalah bagian dari Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030.
Sasaran dari SDGs adalah mengakhiri kemiskinan, melindungi planet ini, dan menjamin kesejahteraan bagi semua orang. Hal ini dirancang untuk mengatasi tantangan global seperti kesenjangan, degradasi lingkungan serta perdamaian dan keadilan.
Ada tujuh belas komponen dalam SDGs. Tetapi, Pemerintah Indonesia menambahkan satu komponen lagi untuk dimasukkan di SDGs Desa/Kampung. Di atas adalah pencapaian SDGs tingkat kampung di Provinsi Papua Barat Daya. Yang paling maju adalah kampung-kampung di Kabupaten Maybrat.
Dari delapan bekas komponen SDGs kampung, Maybrat berhasil menempatkan 50 persen kampung-kampungnya sebagai pencapai sepuluh komponen SDGs. Dari 259 kampung di Maybrat ada 50 persen lebih kampung yang sudah bebas dari kemiskinan.
Kampung-kampung ini tanpa kelaparan, penduduknya sehat, pendidikannya bermutu, memiliki akses ke energi listrik, tanpa kesenjangan, kawasan permukimannya aman dan nyaman, damai berkeadilan, kelembagaan kampungnya dinamis dan adaptif.
Keterlibatan perempuan
Mengapa pencapaian SDGs di Maybrat bisa begitu mencolok? Salah satu penyebabnya adalah karena keterlibatan perempuan sebesar 63,20 persen. Prosentase kenaikan itu jauh lebih tinggi dari kabupaten-kabupaten lainnya di Provinsi Papua Barat Daya.
Hal lain yang menarik dari pencapaian SDGs kampung di Maybrat adalah persentase orang asli Papua tertinggi di Papua Barat Daya, yaitu 94,33 persen. Hal ini menarik bila kita perhatikan berbagai data kemajuan pengentasan kemiskinan di berbagai provinsi dan kabupaten/kota di wilayah Papua.
Dari berbagai provinsi dan kabupaten/kota, kita akan memperoleh kesan bahwa tingkat kemiskinan yang rendah hanya bisa dicapai kalau orang Papua itu minoritas di salah satu daerah. Contohnya adalah Merauke.
Tingkat kemiskinan di Merauke paling rendah seluruh wilayah Papua, yaitu hanya 10,16 persen. Prosentase ini tidak jauh dari rata-rata kemiskinan nasional Indonesia yang sudah mencapai 9,03 persen. Tetapi angka kemiskinan itu bisa rendah karena jumlah pendatang sangat dominan di Kabupaten Merauke.
Sensus penduduk yang diselenggarakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 menunjukkan, jumlah orang asli Papua di Merauke hanya 37,21 persen. Tahun 2024, jumlah orang asli Papua di Merauke pasti sudah jauh lebih sedikit. Apalagi, ke depan Merauke menjadi sasaran pembangunan proyek strategis nasional (PSN) food estate (padi) dan sugar plantation (tebu) dalam jumlah jutaan hektar.
Kesimpulan apa yang bisa ditarik bagi wilayah Papua dari pembahasan pendek ini? Pertama, orang asli Papua mampu untuk berprestasi memajukan dirinya sendiri, sepanjang upaya itu dilakukan dari kampung-kampung. Pemerintah dan rakyat Maybrat sudah dan sementara menunjukkan hal tersebut.
Kedua, anggapan banyak pihak bahwa transmigrasi adalah cara jitu untuk membawa kemajuan ke Papua adalah cara berpikir yang keliru. Maybrat membuktikan, dengan penduduk asli yang (sangat) dominan di suatu kabupaten, mereka bisa lebih mampu mencapai SDGs kampung.
Hal ini bila dibandingkan, misalnya, Kabupaten Sorong yang jumlah penduduk pendatangnya mencapai 62 persen lebih dari total penduduk di kabupaten tersebut.
Ketiga, mungkin ini yang dimaksud oleh Pendeta IS Kijne ketika beliau mengatakan, bahwa “…di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua. Sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan makrifat untuk memimpin bangsa ini, mereka tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri….” (Bukit Aitumeri, 25 Oktober 1925)
Rakyat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Maybrat sudah membuktikan kemampuan orang Papua untuk bekerja keras dan membangun dirinya sendiri. Dimulai dari kampung-kampung. Apalagi Maybrat sekarang sudah memiliki empat atau lima Sekolah Sepanjang Hari (SSH) tingkat sekolah dasar. Pencapaian SDGs kampung itu pasti akan lebih cepat di tahun-tahun mendatang.
Kolose 3:23-24 (MBNT): Bo bawya ro anu nno to, nno re kbe raa mmat tna bibi anu sai to ma. Menohe nno bo weto kaket mkah nhaf ro moof tna kbe Tuhan yesait aran ymat tibyo yhaf mnan k’anu to.
Anu nhar oh nwe meen kbe anu nkai boren ro kbe Tuhan yuumto k’anu. Anu nhar bo reto, tibyo nno bo ro raa mbis anu nno mam tabam refo kaket to. Anu nno bo ro Tuhan Kristus oh meto.
Artinya, “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya”.