Mendiskusikan Fakir Miskin dan Anak Terlantar - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Mendiskusikan Fakir Miskin dan Anak Terlantar

Dr Ferdinant Pakage, MM, MAP, putra asli Papua dan Doktor Bidang Kebijakan Publik Lulusan Universitas Merdeka Malang. Foto: Dok. Ferry Pakage

Loading

Oleh Dr Ferdinant Pakage, MM, MAP

Doktor Bidang Kebijakan Publik Lulusan Universitas Merdeka Malang

KEHADIRAN negara yang dicita-citakan para pendiri bangsa, founding fathers, salah satunya mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Dalam konteks lokal di tanah Papua, tujuan kehadiran daerah otonom baru provinsi, termasuk Papua Tengah antara lain bertujuan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial yang menukik hingga kampung-kampung.

Namun, persoalan kesejahteraan dan keadilan sosial masih terpaut jauh dengan cita-cita founding fathers dalam realitas kehidupan sosial kemasyarakatan. Pemerintah mulai dari pusat hingga daerah, tetap dan setia dihadapkan pada persoalan nyata masih ada warga bangsa hidup dalam kondisi mengenaskan. Mereka menyandang status fakir miskin atau anak terlantar karena berbagai alasan.

Realitas di tengah masyarakat menunjukkan masih saja terdapat anak bangsa belum bernasib mujur di hadapan negera setiap berganti rezim. Tak terkecuali di Papua Tengah. Mereka lalu bermetamorfosis menjadi gelandangan, pengemis, pengamen, dan anak jalanan lalu terjebak dalam perilaku menyimpang seperti minum mabuk, narkoba, palang memalang, tawuran, dan aksi-aksi anarkis.

Pasal 34 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”  Frasa dalam dalam klausul UU tersebut sangat ideal dan menjadi cita-cita luhur serta perjuangan para pemimpin dalam sejarah perjalanan bangsa.

Di tengah masyarakat? Suka tidak suka nasib banyak sesama anak bangsa di tengah kelimpahan sumber daya alam yang kaya raya dapat dilihat vulgar. Jumlah gelandangan, pengemis, pengamen, dan anak jalanan, serta yatim piatu dan orang tidak mampu terus bertambah. Gelontoran anggaran jumbo baik APBN maupun APBD tak pernah ingkar janji.

Sayangnya, pemandangan vulgar dan memilukan itu bukan sekadar menumpuk di kota-kota besar namun juga menyasar hingga daerah bahkan kampung-kampung seperti di Papua Tengah. Cita-cita negara mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial utopis, mimpi.

Gelontoran anggaran dari pusat hingga ke kampung-kampung demi kesejahteraan dan keadilan sosial sebagian masih selalu dipreteli sikap koruptif di tangan oknum elite yang bersekongkol dengan kroninya. Warga bangsa yang kurang mampu dan memiliki akses dengan negara tengkurap tak berdaya di tengah masyarakat. Cita-cita founding fathers mengatur fakir miskin dan anak terlantar tak jauh seperti kata pepatah si pungguk merindukan bulan.

Esensi solidaritas

Bila dipahami dalam terang iman, manusia diciptakan Allah, Tuhan dengan karunia akal budi untuk membedakan dengan makluk lain. Manusia diciptakan seturut gambar dan rupa Allah satu sama lain saling mengenal dan membantu dalam solidaritas yang utuh. Manusia yang satu membutuhkan manusia lainnya. Itulah esensi dan makna solidaritas hakiki sesama makluk ciptaan-Nya.

Demikian juga dalam urusan negara. Seorang pemimpin membutuhkan rakyat dan sebaliknya. Tidak seorang pun sanggup untuk hidup sendirian walaupun dunia dan seisinya diberikan kepadanya. Walaupun seisi surga diberikan kepadanya, Nabi Adam tetap membutuhkan kehadiran Hawa dalam kehidupannya dalam kisah awal penciptaan dunia di taman Eden.

Manusia dikaruniai Tuhan kemampuan, talenta berbeda-beda. Aneka perbedaan tidak sebatas jenis kelamin, suku, bangsa, dan warna kulitnya, tetapi juga dalam kehidupan ekonominya. Ada yang beruntung memiliki ekonomi mapan lalu membuat hidupnya nyaman.

Namun, ada pula yang memiliki ekonomi kembang kempis yang berpotensi membuatnya frustrasi dan tanpa gairah hidup. Mereka lalu masuk kelompok fakir miskin, anak terlantar bahkan janda atau duda serta orang-orang yang tak beruntung hidupnya. Mereka ini menjadi salah satu muara cita-cita negara untuk membuatnya mencicipi aroma kesejahteraan yang dijanjikan negara.

Mengapa kelompok warga bangsa ini perlu mendapat perhatian? Ini pertanyaan esensial. Paling kurang ada sejumlah alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, cita-cita negara hadir seturu cita-cita para pendiri adalah untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kedua, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi warga adalah salah satu cita-cita founding fathers sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, seluruh rakyat tanpa terkecuali berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak dari negara melalui pemerintah selaku pemegang otoritas atau perpanjangan tangan negara.

Ketiga, para founding fathers menaruh perhatian besar terhadap ketimpanan ekonomi warganya. Tentu atas dasar itulah klausul “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” lahir.

Kelompok masyarakat yang masuk kategori fakir miskin atau anak terlantar dan lain-lain dipandang masuk kategori kondisi ekstrim keterbelakangan ekonomi seseorang sehingga negara wajib hadir di sana untuk memberikan perhatian khusus. Negara melalui aparatusnya kemudian memelihara mereka.

Tugas berat

Potret buram kehidupan sosial kemasyarakatan yang menimpa fakir miskin, anak terlantar dan kempok warga kurang beruntung lainnya, bukanlah pekerjaan mudah bagi pemerintah khususnya di daerah terpencil seperti tanah Papua. Pun masyarakat dari kategori berkecukupan secara ekonomi.

Potret buram tersebut menjadi catatan penting pemerintah mulai pusat hingga daerah memasuki Hari Ulang Tahun (HUT) ke-78 Republik Indonesia tahun 2023. Momentum ini menjadi saat yang tepat merefleksikan sejauhmana peran pemerintah mengurus fakir miskin dan anak terlantar serta kelompok masyarakat kurang beruntung lainnya.

Pemerintah kabupaten/kota sungguh mengakrabi dan menyadari dari dekat kondisi fakir miskin dan anak terlantar. Namun, tidak banyak melakukan aksi nyata memerdekakan warganya dari kondisi kehidupan yang kian sulit. Realitas menunjukkan, jumlah gelandangan, pengemis, pengamen, dan anak jalanan terus bertambah.

Hal tersebut juga akan menjadi tantangan tersendiri bagi Papua Tengah sebagai salah satu daerah otonom baru provinsi di delapan kabupaten di wilayah adat Meepago (Papua Tengah). Tantangan itu bukan sekadar dihadapi Pemerintah Provinsi Papua Tengah tetapi juga Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Deiyai, Dogiyai, Intan Jaya, Mimika, Nabire, Paniai, Puncak, dan Puncak Jaya

Tantangan tersebut menjadi pekerjaan rumah bersama mengingat jumlah fakir miskin, anak terlantar, gelandangan, pengemis, pengamen, dan anak-anak jalanan, anak anak yatim piatu dan orang tua yang tidak mampu akan bertambah di delapan kabupaten di Papua Tengah.

Bila tidak ditangani dengan serius oleh pemerintah pusat dan daerah dengan sumber anggaran besar dapat dipastikan kelompok ini akan terpinggirkan di tengah sumber daya alamnya yang kaya raya. Raksasa tambang dunia Freeport McMoran melalui anak perusahaannya, PT Freeport Indonesia, adalah salah satu contoh nyata betapa bumi Cenderawasih penuh susu dan madu.

Meski sudah menjadi daerah otonom dengan pemerintahan yang baru berjalan seusia jagung dan segera akan memiliki DPRD pada Pemilu tahun depan, keberpihakan dan tanggung jawab negara sejak awal dituntut dan menjadi hal utama. Bila pemerintah sungguh mau bekerja melayani masyarakat dari sana cita-cita founding father mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial akan menjadi nyata, bukan utopis.

Tinggalkan Komentar Anda :