KOKONAO, ODIYAIWUU.com — Calon Bupati Kabupaten Mimika Johannes Rettob, S.Sos, MM dan Wakil Bupati Emanuel Kemong alias Joel, Kamis (14/11) tiba di Kampung Kokonao, Distrik Mimika Barat, Mimika, Provinsi Papua Tengah.
Saat pulang kampung paslon nomor urut 1 itu disambut ribuan warga Mimika Barat dari berbagai kampung di distrik tersebut. Warga penuh memadati jalan-jalan menyambut kedatangan Joel penuh sukacita dan kekeluargaan.
Warga menyambut John Rettob dan Emanuel Kemong secara adat warga Kamoro, suku asli Mimika yang mendiami wilayah dataran rendah di lereng Gunung Nemangkawi. Kokonao merupakan ‘kota tua’ di Mimika menyimpan banyak memori indah masa kecil John dan Emanuel.
Di tempat inilah keduanya tokoh masyarakat dan pemerintahan ini memulai mengenyam pendidikan sekolah dasar (SD) hingga merampungkan studi di SMP YPPK Le Cocq D’Armandville Kokonao.
“Sebenarnya kami dua punya waktu sangat sekali, tetapi kami dua harus kembali datang ke Kokonao karena kami dua tamat dari SMP Le Cocq D’Armandville,” kata John Rettob di hadapan ribuan warga Kokonao sebagaimana keterangan tertulis yang diterima dari Kokonao, Mimika Barat, Mimika, Papua Tengah, Kamis (14/11).
John mengakui, kedatangannya ke Kokonao bukan untuk berkampanye. Namun, ia mengunjungi kampung halaman dan meminta restu dari alam dan leluhur yang merupakan kewajiban seorang anak asli Kokonao.
“Kami dua harus pulang kampung. Kalau tidak, nanti kami dua dapat marah dari kamu semua,” kata John disambut aplaus warga.
John mengatakan, Joel akan membuktikan visi misi membangun dari kampung ke kota bermula dari Kokonao, kota tua bersejarah yang kini tertinggal dan mulai terlupakan.
“Begitu kami menang, kami akan kembali ke sini sekalian peletakan batu pertama pembangunan Kokonao. Kita mulai pembangunan dari sini,” ujar John.
Media ini sebelumnya memberitakan, tahun 1927 Cristian Rettob bersama dua rekan guru memantapkan hati dan cintanya demi kemajuan peradaban masyarakat Mimika. Tahun 1939, Caspar Rettob menyusul Cristian, ayahnya ke Mimika.
“Saat usia 19 tahun, ayah saya tinggalkan Kei menyusul kakek menjadi guru di Mimika,” ujar John Rettob mengenang sang kakek, Cristian Rettob dan ayahnya, Caspar Rettob.
Padahal, saat menyusul Cristian ke Mimika, Caspar adalah seorang guru muda di Kei, Keuskupan Amboina. Kala itu Caspar baru berusia 19 tahun. Namun, panggilan jiwa menjadi guru perintis pendidikan, pengajaran agama, pemberdayaan masyarakat lokal di Mimika mendorong Caspar mengikuti jejak Cristian, menjadi guru.
John mengaku, meski medan pelayanan dan pengabdian sulit dan menantang, para guru dan tukang pantang menyerah. Tak berlebihan, sebanyak 75 guru kala itu mampu bertahan dan mengabdi hingga tahun 1957. Begitu pula Caspar. Meski baru menginjakkan kaki di Mimika tahun 1939, Caspar memilih tinggal dan menghabiskan sisa usia di Mimika.
“Ayah saya sudah menyatu dengan masyarakat lokal. Ia tak mau pulang kampung. Ya, kami semua juga lahir di Mimika. Saat ayah saya tiba di Mimika tahun 1939, dia tinggal di Mimika dan menjadi kepala sekolah pertama di SD Kekwa hingga Perang Dunia II,” ujar John.
Saat Perang Dunia II, kisah John, Jepang memusatkan seluruh armadanya di Kekwa. Hingga kini masih ada bekas peninggalan Perang Dunia II milik Jepang di Kekwa. Saat itu, Jepang tidak bisa masuk ke Kokonao karena pusat kekuatan Belanda di Kokonao.
Menurut John, saat ayahnya mengajar di Kekwa, ia bersama teman-teman guru merintis sekolah dasar (SD) untuk anak-anak penduduk lokal karena mereka semua belum bisa berbahasa Indonesia. Para guru bekerja keras agar anak-anak lokal bisa berbahasa Indonesia.
“Jadi, ayah dan teman-temannya selain menjadi guru, mereka juga harus bisa menjadi tukang, guru agama, tenaga medis, katekis, dan lain-lain. Pekerjaan-pekerjaan itu harus mereka lakukan demi anak-anak lokal Mimika. Tujuannya, anak-anak lokal ini bisa berbahasa Indonesia, cerdas, rendah hati melalui pendidikan untuk bekal masa depan mereka,” kata John. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)