Oleh Frans Maniagasi
Pengamat politik lokal Papua
TAK terasa enam bulan (16/2/2023) telah berlalu kasus penyanderaan terhadap Philip Mark Mehrtens pilot Susi Air asal Selandia Baru belum menunjukan tanda-tanda akan berakhir.
Pertanyaanya kapan berakhir penyanderaan pilot Susi Air itu. Pada hal wibawa Pemerintah dan Negara kita dipertaruhkan, sampai sejauh mana mampu melindungi dan membebaskan Philip Mark Merthens dari Egianus Kogoya dan KKB/OPM.
Berbarengan dengan berlarut-larutnya penyelesaian kasus penyanderaan ini justru eksesnya masyarakat Nguda di Papua Pegunungan hidup dalam ketakutan, tidak aman, mereka tak dapat melakukan aktivitas rutin sehari-harinya.
Masyarakat Nduga pun tersandera dalam lingkaran trauma yang berkepanjangan. Hidup dalam keadaan terancam nyawanya. Bahkan kegiatan sosial dan kemasyarakatan pun terganggu. Saya dapat membayangkan bagaimana masyarakat terutama anak-anak, ibu-ibu, kaum muda dan orang dewasa hidup dalam perasaan was-was.
Ancaman yang datang dan berasal dari kegiatan operasi keamanan dalam rangka pembebasan sandera mau pun sebaliknya dari Egianus Kogoya dan KKB/OPM yang sering melakukan tindakan tindakan kekerasan sebagai reaksi balik terhadap Upaya-upaya aparat untuk mempertahankan sanderanya.
Penyanderaan yang berlarut-larut juga telah melanggar hak asasi manusia telah merampas kemerdekaan orang lain mau pun masyarakat yang kebebasannya telah dipasung. Bukan saja hak hidup dan kebebasan sang pilot tapi juga masyarakat yang berada dilokasi penyanderaan.
Yang justru tidak terkait langsung dengan konflik Papua. Baik masyarakat Nduga dan pilot keduanya tersandera dan menjadi korban dari konflik dan kekerasan yang terjadi di Papua.
Artinya di satu pihak kita dapat beropini bahwa tindakan penyanderaan tak dapat ditolerir terhadap warga sipil dalam hal ini sang pilot tapi di lain pihak masyarakat setempat pun terancam kehidupannya akibat aksi dan tindakan penyanderaan.
Namun dengan membiarkan kasus penyanderaan yang berlarut-larut dan telah brlangsung selama enam bulan lamanya tanpa penyelesaian memberi kesan seolah-olah terjadi pembiaraan. Dan pembiaraan itu memberi kesan kita ikut menyetujui terjadinya penyanderaan.
Makna lain dari pembiaran tersebut menunjukan sadar atau tidak Pemerintah pun sengaja membiarkan untuk tidak menyelesaikan soal-soal mendasar yang dihadapi oleh masyarakat Papua.
Dengan demikian selama 60 tahun (1 Mei 1963) wilayah ini menyatu dengan RI, Pemerintah sengaja atau tidak telah membiarkan penyelesaian soal Papua, padahal soal mendasar itu telah termaktub dalam UU No 21/2001 junto UU No 2/2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Kekhawatiran saya selama enam bulan telah terjadi apa yang disebut dengan Stockholm syndrome atau syndrome Stockholm terjadinya relasi psikologis antara penyandera dan sanderanya.
Mungkin saja korban pilot telah bersimpati dengan para penyandera atau bahkan menyayangi pelakunya. Pada situasi itu membuat tawanan membangun ikatan emosional dengan KKB/OPM, agar sang pilot dapat bertahan hidup.
Fenomena seperti ini disebut mekanisme koping atau coping mechanism yang terjadi pada sandera. Kondisi Ketika terbentuk “ikatan psikologis” dalam diri sandera dengan penyanderanya. Bahkan sanderanya meskipun hidup noman berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain di belantara Nduga justru hal ini selain menimbulkan simpati tapi juga sebaliknya membela pelaku penyanderaan.
Tapi menurut hemat saya pilot Susi Air belum sampai pada level membela pelakunya. Justru yang terjadi sebagai manusia tentu Philip mulai rindu pada keluarganya, mungkin sakit dan mengkonsumsi makanan tidak seperti yang semestinya dimakan.
Pada tataran ini saya berkeyakinan telah terjadi rasa kasihan atau iba dari penyandera kepada sang pilot. Empati dan perasaan kasihan Egianus Kogoya dan KKB/OPM terhadap Philip Mark Merthens dengan melihat keadaannya yang semakin memprihatinkan dapat menimbulkan perasaan kekhawatiran jangan sampai terjadi hal-hal yang fatal terhadap diri pilot ini.
Jika terjadi hal yang fatal akibat penyanderaan itu tentunya Egianus Kogoya dan kelompoknya justru akan dikecam bahkan mungkin saja tadinya melalui penyanderaan ini mereka dapat memperoleh simpati dan dukungan internasional kini berbalik seratus delapan puluh derajat berupa umpatan dan cacian dari masyarakat internasional. Karena telah mengabaikan persoalan kemanusiaan dari pilot ini.
Pada konteks yang sama sejak kegagalan KMB (1949) dalam menetapkan status politik Irian Barat, integrasi (1963) dan pelaksanaan Pepera (1969) Pemerintah Indonesia telah resmi dan sah berdaulat atas Papua. Pemerintah berharap masalah Papua sudah usai tapi justru kini semakin tinggi intensitas konflik dan kekerasan di Papua menjadi kampanye, sorotan dan opini internasional, terutama yang digayungkan oleh kelompok kelompok pro kemerdekaan Papua.
Karena terjadinya kasus-kasus kekerasan dan konflik yang tak kunjung akhir mengakibatkan pelanggaran HAM diwilayah ini hingga pemberlakukan kebijakan Otsus, Pemerintah Indonesia dihadapkan dengan berbagai pertanyaan dari komunitas internasional.
Menurut asumsi saya relasi psikologis syndrome Stockholm dengan perasaan iba, empati dan khawatir yang ditunjukkan oleh Egianus Kogoya dan KKB/OPM terhadap kondisi dari Philip Mark Merthens kemungkinan –probabilitasnya masih perlu diuji– bisa saja dalam beberapa saat ke depan pilot ini dapat dibebaskan. Artinya pembebasan yang dilakukan oleh Egianus dan kelompoknya semata-mata pertimbangannya atas dasar kemanusiaan terhadap pilot Susi Air tersebut.
Selain itu pemulihan ketertiban dan keamanan serta kenyamanan akibat trauma psikologis sosial dari masyarakat Nduga pun perlu menjadi priortas Pemerintah terutama Pemerintah Kabupaten, Provinsi Pegunungan dan Pusat. Tentunya membutuhkan waktu pemulihan pasca kekerasan dan konflik akibat warisan dari kasus penyanderaan ini.
Apalagi menurut laporan aktivis hak asasi manusia ditingkat lokal masih terdapat ribuan penduduk yang mengungsi ke hutan-hutan bahkan ke ibukota Provinsi Pegunungan di Wamena.
Hakekatnya penyelesaian kasus penyanderaan pilot Susi Air bersamaan pula dengan penyelesaian dan rekonstruksi pemulihan sosial dan percepatan Pembangunan Nduga sekaligus Pemerintah berupaya memperbaiki dan membenahi fasilitas infrastruktur dikabupaten ini.
Sembari memberikan bimbangan dan pendampingan psikologis kepada kelompok kelompok masyarakat Nduga yang mengalami pengalaman traumatis guna memulihkan kepercayaan rakyat baik terhadap sesamanya maupun kepada pemerintah. Semoga.