Oleh Frans Maniagasi
Pengamat Politik Lokal Papua
DALAM sebuah diskusi seorang mahasiswa bertanya kepada saya mengapa kini banyak alumni UGM seperti Presiden Jokowi dan para menterinya terutama yang menduduki pos-pos penting dibidang Polkam tak dapat menyelesaikan konflik Papua yang sudah berlarut-larut sejak wilayah ini menyatu (1963) dengan RI. Masalah Papua ini merupakan akibat dari proses penyatuan yang tidak tuntas sehingga eksesnya itu yang diwariskan hingga kini.
Menanggapi pertanyaan tersebut saya berpendapat ada kesan mengelola konflik atau menyelesaikan soal Papua merupakan ancaman dan tabu dibicarakan. Padahal realitas menunjukkan kemampuan mengelola konflik dan menyelesaikan soal Papua dapat mewujudkan kedamaian yang menjadi kebutuhan riil untuk masyarakat Papua dan rakyat Indonesia yang bermukim di sana. Apalagi terkait upaya pemerintah melaksanakan program percepatan pembangunan Papua dan pemekaran provinsi.
Dari kesan bahwa mengelola konflik dan masalah Papua dapat menjadi ancaman dan tabu karena telah berlarut-larut selama 60 tahun, akibatnya terjadi situasi “permusuhan” yang dari waktu ke waktu dirasakan dan dialami oleh orang-orang Papua. Orang-orang Papua ini terutama dari kelompok kelompok masyarakat yang membangkang terhadap pemerintah yang ditunjukkan dengan berbagai aksi kekerasan dan ditanggapi dengan pendekatan keamanan oleh aparat TNI-Polri yang hampir terjadi setiap hari, terutama di daerah pegunungan tengah dan merata di seluruh tanah Papua.
Padahal telah banyak kajian dan metoda yang diproduksi oleh kalangan ilmuwan dan akademisi, termasuk dari UGM sendiri untuk mengelola konflik dan kolaborasi membuka permasalahan Papua agar dapat terwujud perdamaian.
Dalam kajian ilmu sosial adanya dua perspektif teori yang dapat dijadikan tawaran solusi konflik penyelesaian masalah Papua. Teori fungsional oleh Parson lebih mengutamakan pada keselarasan, keserasian dan keharmonisan untuk mewujudkan perdamaian. Sebaliknya dari teori konflik oleh Marx dalam melihat interaksi sosial pentingnya perspektif dialogis (tesa, anti tesa, dan sintesa).
Paradigma fungsional
Dalam kasus Papua menurut pendapat saya, pemerintah termasuk rekan-rekan para menteri di kabinet Jokowi lebih berpegang pada paradigma fungsional yang lebih menitikberatkan pada keselarasan, keserasian dan keharmonisan sehingga memandang konflik dan masalah Papua dapat menjadi ancaman terhadap integrasi bangsa.
Oleh karena itu maka perubahan UU 21/2001 menjadi UU 2/2022 tentang Otonomi Khusus Papua dengan seperangkat aturan pelaksananya seperti PP No 106, 107/2021 dan Perpres No 121/2022 tentang Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) atau juga disebut Badan Pengarah Papua (BPP) dengan Rencana Induk dan Rencana Aksi Pembangunan Papua dicoraki oleh pandangan fungsional.
Artinya, dengan percepatan pembangunan Papua mewujudkan kesejahteraan maka dengan sendirinya konflik dan masalah Papua terselesaikan, tercipta kedamaian. Pandangan ini tidak salah.
Namun dari perspektif kelompok intelektual minoritas kritis Papua justru menjadikan basis pemikiran mereka pada perspektif dialogis ala Marx. Artinya bahwa permasalahan konflik Papua telah berlarut-larut dan tanpa adanya upaya solusi sesuai amanat sila ke 4 dari Pancasila, musyawarah untuk mufakat agar tercapai kedamaian di Papua. Maka musyawarah dan mufakat perlu dimediasi dengan pendekatan kolaboratif seperti yang dikemukakan oleh Dahrendorf yaitu kolaboratif dalam rangka solusi konflik Papua.
Pada konteks seperti itu maka Presiden Jokowi dan para Menteri lulusan UGM yang dapat memainkan peran kolaboratif dengan menjadikan nitilaku momentum peringatan Dies Natalis UGM yang ke 73 tahun pada 19 Desember 2022 ini bukan saja dalam konteks mikro “nitilaku” yang merupakan budaya Jawa guna napak tilas kelahiran UGM (1949) dengan melakukan pawai bersama dari Alun Alun Utara Keraton Yogya ke Bulaksumur.
Namun pada saat yang sama dalam kerangka upaya penyelesaian konflik dan masalah Papua bagaimana Nitilaku UGM ini dapat menginspirasi Presiden Jokowi dan alumni UGM (Kagama) para Menteri kabinetnya untuk dijadikan landasan kolaborasi penyelesaian masalah Papua.
Bukankah dari perspektif sejarah UGM didirikan sesaat setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 23 Agustus-2 September 1949, selain pengakuan kedaulatan kemerdekaan Indonesia oleh Kerajaan Belanda dan menyisahkan masalah Papua (Irian Barat).
Dan bukankah Komando Trikora (19 Desember 1961) dikumandangkan oleh Presiden Soekarno dari Alun Alun Utara Yogyakarta, lokasi di mana UGM melakukan Nitilaku dalam rangka Dies Natalisnya. Dan bukankah salah satu insiator pendiri UGM adalah Prof Dr R Soegarda Poerbakawatja yang juga pada tahun 1961/1962 ditugaskan oleh Presiden Soekarno mendirikan Universitas Cenderawasih di Jayapura sekaligus menjadi Rektor pertama Uncen.
Nitilaku UGM mestinya menjadi momentum Nitilaku kolaboratif Presiden dan para menteri kabinetnya untuk menyelesaikan konflik dan soal Papua, mumpung masih tersisa waktu dua tahun lagi Pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Mahruf Amin berakhir. Selamat merayakan Dies Natalis UGM yang ke-73 tahun.