Oleh Eugene Mahendra Duan
Guru SMP YPPK Santo Antonius Nabire, Papua Tengah
PERISTIWA Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) tetap menjadi salah satu babak sejarah paling kontroversial dan sensitif dalam sejarah Indonesia. Tragedi tersebut menandai awal dari perubahan besar dalam politik nasional, yang menyebabkan jatuhnya Soekarno, kebangkitan Orde Baru di bawah Soeharto, dan pemberangusan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Puluhan tahun kemudian, generasi milenial kini menghadapi tantangan untuk memahami dan merefleksikan peristiwa ini di tengah derasnya arus informasi dan narasi yang saling bertentangan.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi generasi milenial ketika mempelajari sejarah G30S/PKI adalah dominasi narasi tunggal yang telah dikukuhkan selama era Orde Baru. Selama lebih dari tiga dekade, masyarakat Indonesia dicekoki oleh satu versi sejarah yang menyudutkan PKI sebagai dalang tunggal di balik peristiwa berdarah ini.
Narasi tersebut dikemas secara sistematis melalui pendidikan formal, media massa, dan terutama film Pengkhianatan G30S/PKI yang diputar secara rutin pada setiap 30 September hingga akhir masa Orde Baru.
Generasi milenial yang tumbuh di era reformasi memiliki akses lebih luas terhadap berbagai sumber informasi, baik dari media sosial, buku, maupun karya akademik. Internet memberikan ruang bagi wacana alternatif tentang G30S/PKI, memungkinkan generasi muda untuk mengkaji dan mengevaluasi kembali apa yang diajarkan kepada mereka.
Namun, akses informasi yang beragam ini juga menimbulkan kebingungan. Narasi resmi sering kali berbenturan dengan berbagai teori konspirasi dan analisis dari perspektif yang berbeda, membuat sulit bagi generasi milenial untuk memilah mana yang fakta dan mana yang fiksi.
Pendidikan yang problematis
Salah satu kritik yang kerap dilontarkan terkait pemahaman sejarah G30S/PKI di kalangan generasi milenial adalah lemahnya pendidikan sejarah di Indonesia. Kurikulum pendidikan formal di masa lalu sangat terpengaruh oleh propaganda politik Orde Baru, yang tidak memberikan ruang bagi diskusi kritis atau perspektif yang berbeda.
Setelah reformasi, meskipun ada beberapa upaya untuk merevisi kurikulum, pendekatan yang lebih mendalam dan kritis terhadap peristiwa ini masih minim. Generasi milenial yang sering kali mengandalkan pendidikan formal untuk mempelajari sejarah akhirnya menghadapi kebingungan.
Sejarah G30S/PKI sering kali diajarkan secara singkat dan dangkal, tanpa mendorong siswa untuk mempertanyakan narasi yang ada. Akibatnya, banyak yang tumbuh dengan pemahaman yang terdistorsi atau bahkan tidak memahami secara mendalam implikasi peristiwa tersebut terhadap politik dan masyarakat Indonesia hari ini.
Di era digital, misinformasi dan hoaks tentang G30S/PKI juga menjadi tantangan serius. Generasi milenial kerap dibombardir dengan informasi yang tidak diverifikasi, baik melalui media sosial maupun situs-situs web yang tidak kredibel. Teori-teori konspirasi tentang peran CIA, keterlibatan elite militer hingga Soeharto sendiri dalam G30S/PKI kerap bermunculan, menciptakan kebingungan dan perpecahan di kalangan masyarakat.
Bahkan dalam konteks politik kontemporer, istilah PKI sering kali digunakan sebagai alat politik untuk menyerang lawan, meski partai tersebut telah lama dibubarkan. Generasi milenial, yang tidak mengalami langsung peristiwa 1965, mungkin lebih rentan terhadap manipulasi informasi ini karena kurangnya pemahaman sejarah yang mendalam. Fenomena ini semakin rumit karena keberadaan platform media sosial yang memudahkan penyebaran informasi yang kurang akurat dalam hitungan detik.
Mencari kebenaran
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, generasi milenial juga memiliki potensi besar untuk melakukan dekonstruksi terhadap narasi sejarah yang telah terdistorsi. Salah satu langkah penting adalah dengan mempelajari sejarah dari berbagai perspektif.
Buku-buku karya sejarawan independen, penelitian akademis yang berfokus pada arsip-arsip internasional serta dokumenter yang mencoba menampilkan versi sejarah yang berbeda dapat membantu generasi milenial memperoleh pemahaman yang lebih holistik.
Selain itu, penting bagi generasi milenial untuk melihat G30S/PKI bukan sekadar sebagai peristiwa politik, tetapi juga sebagai tragedi kemanusiaan. Setelah G30S/PKI, ratusan ribu orang yang dianggap terkait dengan PKI atau simpatisannya dibunuh, dipenjara, atau diasingkan tanpa proses hukum yang jelas.
Genosida politik ini jarang dibahas secara terbuka dalam diskusi publik. Dengan mengangkat kembali sisi kemanusiaan dari peristiwa ini, generasi milenial dapat mendorong upaya rekonsiliasi dan penegakan keadilan bagi korban dan keluarganya.
Generasi kritis dan reflektif
Generasi milenial di Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam memahami sejarah bangsanya, termasuk tragedi G30S/PKI. Penting bagi mereka untuk menjadi generasi yang kritis terhadap informasi yang diterima, baik dari sumber resmi maupun alternatif.
Di era di mana akses informasi sangat mudah, kemampuan untuk melakukan verifikasi dan analisis kritis sangat diperlukan agar tidak terjebak dalam perangkap misinformasi.
Selain itu, penting bagi generasi milenial untuk bersikap reflektif terhadap sejarah. Sejarah tidak seharusnya dijadikan senjata untuk menyerang pihak lain, melainkan sebagai alat pembelajaran agar kesalahan di masa lalu tidak terulang.
Dengan demikian, tragedi seperti G30S/PKI harus dipahami sebagai peringatan akan bahaya ekstrimisme politik, propaganda, dan kekerasan negara.
Generasi milenial dihadapkan pada tantangan besar dalam memahami peristiwa G30S/PKI. Mereka tumbuh di era di mana narasi resmi telah dipertanyakan, namun juga menghadapi banjir informasi yang tidak selalu dapat dipercaya.
Untuk itu, generasi ini perlu mengambil pendekatan yang lebih kritis dan mendalam terhadap sejarah, memahami peristiwa ini dari berbagai sudut pandang, dan menghindari terjebak dalam propaganda atau misinformasi.
Melalui pendidikan yang lebih baik dan akses yang lebih luas terhadap sumber informasi yang kredibel, generasi milenial dapat memainkan peran penting dalam meluruskan sejarah, memperjuangkan kebenaran, dan mengingatkan kita semua akan pentingnya menjaga integritas bangsa dari ancaman ideologi-ideologi ekstrim yang mengancam persatuan.
Sejarah G30S/PKI adalah bagian dari perjalanan bangsa dan memahami peristiwa ini secara mendalam adalah kunci untuk mencegah tragedi serupa di masa depan.