Diskursus Perempuan Papua dan Struktur Patriarki - Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
OPINI  

Diskursus Perempuan Papua dan Struktur Patriarki

Ben Senang Galus, penulis buku Lubang Hitam Kebudayaan Papua, tinggal di Yogyakarta. Foto: Istimewa

Loading

Oleh Ben Senang Galus

Penulis buku Lubang Hitam Kebudayaan Papua, tinggal di Yogyakarta

MENJADI seorang perempuan memiliki tantangan tersendiri. Kaum perempuan di Papua masih sering mendapatkan perlakuan-perlakuan tidak adil dari masyarakat, khususnya laki-laki. Hal ini karena adanya persepsi atas kekuatan perempuan masih di bawah laki-laki dalam berbagai aspek seperti politik, pendidikan, kebudayaan, lingkungan pekerjaan, dan sebagainya.

Menurut Hetty Krisnani (2023), pandangan ini meresap menjadi sebuah unsur kebudayaan, di mana masyarakat masih mempercayai kendali tunggal oleh laki-laki dalam banyak bidang sehingga menimbulkan ketidaksetaraan akses dan kesempatan bagi perempuan untuk maju dalam bidang-bidang tersebut. Kebudayaan ini adalah yang kita sebut sebagai budaya patriarki.

Sedangkan Spradley (2007) mengatakan, masyarakat yang menganut sistem sosial dengan persepsi patriarki seringkali menganggap laki-laki memiliki peran yang besar dalam mengangkat derajat perempuan. Nilai patriarki tersebut melihat perempuan sebagai makhluk yang ditakdirkan untuk mendampingi laki-laki sehingga struktur sosial yang lebih harmonis dan seimbang dapat tercipta.

Budaya patriarki merupakan sebuah sistem sosial yang ada di masyarakat, di mana laki-laki menjadi seseorang yang memiliki kewenangan utama sehingga menjadi pusat kontrol dalam sistem sosial tersebut. Bressler (2007; dalam Susanto, 2015) menambahkan, patriarki sendiri memandang distribusi kekuasaan yang mengungguli kaum laki-laki seperti halnya pada garis keturunan patrilineal, hak-hak anak sulung, kedaulatan pribadi dalam hubungan sosial, keikutsertaan peran dalam publik, contohnya dalam bidang politik, agama serta okupasi.

Begitu pula Mies (1986) mengatakan, budaya patriarki melihat kaum laki-laki ditempatkan pada sistem nilai yang berada di atas perempuan dan mempengaruhi aspek-aspek lain dalam masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa pada budaya patriarki ini, susunan sosial dalam masyarakat seringkali didominasi oleh laki-laki dari pada perempuan. 

Di sinilah struktur penindasan terhadap perempuan mulai muncul. Akibat struktur penindasan ini masalah-masalah yang dihadapi oleh kaum perempuan diantaranya ketimpangan akses dalam berbagai hal di masyarakat, merupakan buah permasalahan yang hadir karena adanya persepsi patriarki yang masih menjadi kepercayaan bagi sebagian besar masyarakat Papua sendiri.

Penindasan berlipat

Sebagai respons terhadap penindasan dan diskriminasi terhadap perempuan, para filsuf feminisme memproduksi pemikiran dan praksis sosial untuk mendorong kesetaraan gender. Pembagian perkembangan pemikiran feminisme ke dalam tiga gelombang. Gelombang pertama aliran pemikirannya adalah feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme Marxis, dan feminisme sosialis. Sedangkan pada gelombang kedua, pemikiran feminisme yang berkembang misalnya adalah feminis psikonalisa dan feminisme eksistensialis.

Feminisme gelombang pertama dan kedua berorientasi pada persoalan kesetaraan (equality). Kedua gelombang ini membicarakan keadilan dalam konteks kesamaan. Sementara dalam feminisme gelombang ketiga berkembanglah pemikiran feminisme multikultural, black feminism, teori queer, dan lainnya. Pada feminisme gelombang ketiga diskursus keadilan justru dibicarakan dengan menyuarakan perbedaan. 

Perbedaan perlu dikenali dan diakui untuk mengetahui bahwa perempuan dapat mengalami penindasan yang berlipat karena identitas-identitas sosial yang melekat pada dirinya. Dalam semangat perayaan perbedaan, pemikiran feminisme gelombang ketiga menekankan bahwa perbedaan perlu diakui dan tidak boleh dijadikan dasar untuk menyingkirkan dan mendiskriminasi perempuan dan kelompok minoritas lainnya.

Budaya patriarki mempunyai andil yang besar dan memengaruhi pandangan masyarakat terhadap perempuan. Dalam sistem budaya patriarki —sistem budaya yang berkembang dalam budaya Ibrani, Yunani, Romawi, Hindu, dan China— di mana dalam keluarga patriarki semua orang yang ada hubungan darah berada di bawah kekuasaan laki-laki. Posisi superior ini mendominasi kehidupan sebagian keluarga kita di tanah Papua bahkan sulit dihilangkan.

Di Papua budaya patriarki mendominasi aspek kehidupan kemanusiaan perempuan. Di sinilah muncul ketimpangan gender dalam seluruh kehidupan yang menampakkan wajah perempuan yang suram. Sebagai contoh, belis, menghargai perempuan, ditafsirkan sebagai membeli perempuan karena dengan tafsiran itu perempuan dipaksakan menerima posisi inferiornya dalam perkawinan.

Budaya patriarki menempatkan pria sebagai kepala keluarga. Kemudian dalam konteks sosial yang lebih luas lagi, budaya patriarki dikaitkan dengan segala aspek yang menjadikan pria Papua memiliki kekuasaan lebih besar dari wanita, baik dalam ekonomi maupun politik. Oleh karena itu hal utama yang dilakukan adalah merombak struktur patriarki menjadi struktur yang lebih egaliter (gender). Hal ini dianggap penting agar wanita mendapat kedudukan yang sejajar dengan laki-laki.

Jebakan kuasa laki-laki

Di tengah himpitan kultur patriarki yang menindas, menurut penulis, gerakan feminisme di Papua bangkit dalam berbagai aliran memperjuangkan nasib perempuan, untuk melawan jebakan kuasa laki-laki, bisa kita klasifikasikan menjadi beberapa hal.

Pertama, aliran ekstrim revolusioner. Kelompok ini menerima  gerakan feminisme secara utuh dan radikal. Melihat laki-laki sebagai “musuh” yang harus ditaklukkan. Misi perjuangan kelompok ini penuh dengan muatan emosional, balas dendam, dan bermaksud membalikkan semua tatanan kehidupan domestik rumah tangga sampai pada ruang publik secara revolusioner harus dikuasai perempuan. 

Kelompok ini menganut aliran bebas nilai termasuk bebas memilih aliran pekerjaan, pendidikan, dan profesi. Perjuangan kelompok pertama ini tidak sedikit perempuan Papua telah menduduki posisi penting dalam jabatan publik. 

Karena itu, kemudian cenderung melakukan perlawanan terhadap laki-laki, dalam berbagai bentuk. Memperlakukan laki-laki sebagai orang yang harus ditaklukkan, diatur, ditundukkan dalam posisi tidak berdaya. Kelompok ini biasanya anti poligami. Kelompok ini menginginkan perempuan harus sekolah, mengambil bagian dalam bidang politik atau kekuasaan.  

Kedua, aliran moderat reformis. Kelompok ini menganut gerakan feminisme moderat. Melihat laki-laki bukan sebagai laki-laki yang harus ditaklukkan, melainkan mitra sejajar saling menguntungkan. Kelompok ini mengedepankan cara-cara persuasif. Pada tataran domestik rumah tangga, aliran ini memperjuangkan kesetaraan hak dan kewajiban. Dalam ruang publik lebih mengedepankan perjuangan setara  dengan laki-laki tanpa membedakan identitas dan kepentingan.

Dalam soal moral, kelompok ini menganut memperjuangkan HAM yang setara. Mereka tidak menganut bebas nilai atau bebas memilih aliran seksual. Kelompok ini setuju dengan poligami. Dalam dunia publik lebih mengedepankan job description and profesionalisme tanpa mendiskreditkan bawahan atau karyawan laki-laki.

Munculnya berbagai gerakan perempuan dalam berbagai aliran tersebut, menegaskan bahwa perempuan Papua ingin memposisikan dirinya setara dengan laki-laki, baik dalam posisi sosial, ekonomi, maupun politik, tetapi sekaligus juga sebuah tantangan baru bagi kaum perempuan untuk semakin maju, untuk lebih berani dan terbuka terhadap dunia luar. Kelompok ini anti dengan stigma perbudakan laki-laki terhadap perempuan.

Dari gambaran di atas, kita melihat beragamnya problematika yang dihadapi oleh perempuan. Jika kita tinjau lebih jauh, semua problematika perempuan tidak bisa kita lepaskan dari problematika manusia seluruhnya. Sebagai contoh, problem kemiskinan yang dihadapi juga dihadapi oleh rumah tangga dengan kepala keluarga pria. 

Iklim ekonomi global yang tak menentu, utang, program penyesuaian struktur serta kondisi politik yang tak stabil membuat daerah ini hidup dalam kemiskinan, dan perempuan juga terkena beban kemiskinan ini. Kemiskinan dapat menciptakan disparitas yang makin lebar dalam pembangunan ekonomi, akses kepada pasar, teknologi dan sistem harga yang lebih adil dalam model pembangunan yang ditawarkan otonomi khusus telah membuat banyak daerah di Papua dan manusia terjungkal dalam kemiskinan. 

Perempuan dan struktur patriarki

Feminisme sesungguhnya merindukan agar perempuan-perempuan Papua berada sebagai pribadi yang bebas dan otonom serta mampu mewujudkan diri sesuai dengan potensi dan basis pelbagai gerakan perempuan yang merebak akhir-akhir ini di Papua. Gerakan feminisme  menurut Anne Hommes (1992), dimaksudkan untuk mengeritik struktur patriarki yang ada dalam masyarakat dan menciptakan suatu struktur masyarakat yang lebih adil. 

Hal ini mengandaikan ada perubahan cara pandang atas peran yang semestinya diemban oleh masing-masing pihak sesuai dengan kemampuan atau kualitas yang dimiliki. Feminisme menurut Anne Hommes, tidak hanya berarti pembebasan dari macam-macam stereotip peranan laki-laki dan perempuan, tetapi juga pembebasan untuk menjadi manusia yang utuh (sebagai laki-laki atau sebagai perempuan) melalui perubahan struktur masyarakat yang menindas maupun sikap individu.

Perjuangan, atau tepatnya pembebasan untuk menjadi manusia yang utuh ini telah mendapat signal yang positif ketika eksistensi perempuan diakui sebagai manusia bermartabat dan sederajat dengan laki-laki. Feminisme yang berarti membebaskan atau melepaskan, bertujuan mengangkat kaum perempuan yang dulunya terbelakang menjadi sederajat dengan laki-laki.

Namun kesadaran akan kesamaan derajat melawan struktur patriarki yang menindas belum sepenuhnya membuat seorang perempuan menjadi dirinya sendiri sebagai manusia yang utuh. Keutuhan menjadi signifikan ketika perempuan berani melepaskan kualitas-kualitas maskulin yang telah diadopsinya dan mengangkat serta mewujudkan feminitas sebagai miliknya yang natural, alami (kodrati) dalam tiap bidang kehidupan yang diemban, termasuk dalam sektor-sektor publik. 

Karena itu, Francoise d’Eaubonne dalam Feminism or Death: How the Women’s Movement Can Save the Planet (2022), menyatakan secara tegas bahwa pada masa sekarang perempuan-perempuan perlu membangun gerakan ekofemisme (ecologi/alam dan feminisme). Sebuah gerakan reidentifikasi perempuan dengan natur, yang bertujuan membangkitkan kepedulian terhadap natura perempuan serta memberdayakan potensi-potensi atau kualitas-kualitas yang dimiliki perempuan agar eksis di tengah kebudayaan atau masyarakat tertentu.

Dalam batas ini, ekofemisme pada dasarnya mensinyalir eksistensi perempuan yang sesungguhnya, yang membawa dalam dirinya feminitas atau daya-daya kodrati (alami). Perempuan yang sesungguhnya, dalam perspektif  ekofeminisme, adalah perempuan yang tidak mengasingkan diri atau lari dari naturanya ketika terjun menjalankan perannya, sekalipun dalam sektor publik.

Perempuan yang sesungguhnya adalah perempuan yang hidup dan berjuang dengan feminitas, dengan kualitas-kualitas feminisme yang dimilikinya. Melalui gerakan ekofeminisme ini perempuan dapat melestarikan kualitas-kualitas di satu pihak dan di lain pihak bisa mengimbangi dominasi sistem maskulin yang sudah demikian kuat dalam kebudayaan atau masyarakat.

Dengan pengimbangan itu perempuan dalam perannya baik di sektor domestik maupun publik tidak merasa “terhimpit” oleh kekuatan maskulin tertentu, melainkan memiliki kans dalam mengaktualisasikan pemeliharaan, cinta, sensivitas tertentu, perempuan mewujudkan eksistensinya, sekalipun dalam banyak hal harus berada  di dunia maskulin. Inilah sebuah jalan etis mengembalikan wajah perempuan dari “wajah suram” menuju wajah terang egaliter yang sederajat.

Perwujudan feminitas (bukan maskulinitas) di tengah perangkap atau masyarakat kita yang masih bercorak patriarki perlu menjadi suatu agenda reformasi bagi perempuan dewasa ini, tanpa harus takut dalam jebakan kultur patriarki.

Pandangan yang memosisikan perempuan lebih rendah daripada laki-laki yang berkembang dalam pemikiran Yunani kuno, menyebabkan banyak asumsi soal perempuan yang tidak benar, sistem patriarki yang kokoh di masyarakat juga mendukung asumsi negatif terhadap perempuan.

Dalam pemikiran Aristoteles, misalnya relasi laki-laki dan perempuan tidak setara karena bentuk hubungan yang hierarkis. Seolah-olah laki-laki mempunyai keunggulan dalam segi intelektual, sehingga harus menjadi kepala rumah tangga dan mengatur semuanya. Termasuk mengatur kehendak perempuan. 

Walaupun perempuan mendapat pendidikan, tetap dianggap lemah posisinya di masyarakat. Asumsi negatif  perempuan sering dipandang sebagai ‘kelas kedua’ serta pemuas nafsu seksual laki-laki. Dalam reproduksi, laki-laki menjadi penentu kehidupan melalui sel spermanya.

Di abad pertengahan, pembagian peran perempuan dan laki-laki menjadi jelas sekaligus timpang di rumah tangga. Tanggung jawab suami selalu dikaitkan dengan kepala keluarga.Laki-laki bertanggung jawab sebagai pembawa uang di keluarga sehingga pandangan kepala keluarga harus laki-laki menjadi laten. Akibatnya, perempuan sering dipandang hanya mengurus rumah tangga saja.

Asumsi negatif perempuan itu kemudian menjadi nilai di masyarakat, di mana masyarakat mengarahkan perempuan untuk berkompetisi dalam hal kecantikan, kekayaan, dan lain-lainnya. Padahal, kompetisi ini kemudian menjadi nilai patriarkal.

Implikasi patriarki melahirkan asumsi negatif terhadap perempuan terbagi menjadi lima nilai. Pertama, nilai ontologis,  di mana status perempuan yang sudah kodratnya dijadikan kelas dua dalam masyarakat. Kedua, nilai epistemologis, di mana perempuan didefinisikan oleh laki-laki sehingga sebagian perempuan masih mencari validasi dari laki-laki untuk bertindak dan berpikir.

Ketiga, nilai fenomenologis, perempuan dalam proses kehidupan publik tidak cukup mendapatkan hak politik, pendidikan, dan sebagainya. Selain itu, harus juga dilihat secara hierarkis bagaimana posisi perempuan dalam masyarakat yang sering dipinggirkan. Keempat, nilai ekonomi, yang melihat tubuh perempuan sebagai hal-hal yang dianggap pantas maupun tidak pantas pekerjaannya di masyarakat. 

Kelima, nilai moralitas di mana masyarakat sering memandang bias perilaku perempuan. Misalnya suaranya haram untuk didengar, perempuan yang tidak punya anak dianggap tidak baik, bentuk nilai moralitas dari asumsi negatif seperti itu.

Setidaknya untuk meretas begitu kuatnya budaya patriarki di Papua, setidaknya ada dua model untuk mereduksi atau bagaimana mendekonstruksi atau memaknai ulang asumsi dan status perempuan yang negatif di masyarakat. Pertama, mengubah teori kodrat yang membelenggu perempuan. Salah satunya berbicara tentang pembagian kerja bagi perempuan yang seringkali eksploitatif.

Perempuan seringkali tidak diberi upah yang layak dalam kerjanya, terutama kerja di perusahaan swasta. Karena asumsi perempuan teliti, makanya terkadang asumsi ini dibentuk oleh kapitalisme agar perempuan tidak melawan saat diupah murah dan dipekerjakan di luar batas jam kerja.

Kedua, menguatnya budaya patriarki menunjukkan struktur sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kuasa tak hanya menindas perempuan dan menjadikannya sebagai objek, tapi juga menekan kesehatan mental laki-laki. 

Oleh karena itu sudah saatnya perempuan melakukan gerakan masif melawan penindasan jebakan kuasa laki-laki melalui pendidikan. Dengan pendidikan membongkar segala bentuk penindasan terhadap perempuan. Perempuan Papua, bangkitlah!

Tinggalkan Komentar Anda :