Oleh Johanes Supriyono
Antropolog
TEMAN perjalanan saya, seorang anak guru yang pernah bertugas di Kokonao, ia sendiri lahir di Kokoano, memudahkan saya untuk boleh menengok rumah-rumah keluarga Kamoro. Ibu itu mengajak singgah di rumah-rumah kawan masa kecilnya. Semua rumah yang kami singgahi memiliki sagu dalam tumang yang dianyam dari daun sagu. Ada yang menyimpan tiga tumang. Ada yang masing memiliki empat tumang.
Ketika sagu tersisa sedikit, secara bersama orang-orang Kamoro akan pergi ke hutan sagu. Seluruh keluarga ikut serta. Termasuk anjing-anjing peliharaan. Kampung pun kosong. Di komunitas orang Kamoro, pemandangan seekor anjing berdiri tegak di lunas perahu adalah pemandangan yang sangat alami. Begitu pun anjing-anjing yang melompat dari perahu untuk berenang ke daratan. Semua itu tampak sangat sehari-hari. Sungai telah menjadi habitat alamiah anjing-anjing yang dilahirkan di sana.
Anak-anak kecil juga menyertai dalam ritual yang mereka sebut “mencari”. Terminologi “pergi mencari” berarti meninggalkan kampung selama beberapa waktu untuk mengumpulkan bahan pangan. Ketika orang dewasa masuk ke hutan, anak-anak akan tinggal di bivak.
Satu kali saya ikut perjalanan ke kepala air, ke hutan sagu, menyusuri sungai yang membentang di depan Kampung Mimika Pantai. Kami perlu dua jam berperahu mesin ke hulu. Di tepi sungai keluarga-keluarga membuat tenda-tenda bermukim sementara. Waktu itu lebih dari 50 bivak didirikan. Bivak beratap terpal plastik yang dilapis dengan daun-daun dari hutan sekitar sungai atau dari anyaman daun sagu.
Selama beberapa hari, kadang sampai seminggu atau bahkan lebih, mereka memangkur sagu dan menyimpan dalam tumang-tumang. Berat per tumang diperkirakan 50 kilogram. Mereka akan kembali ke kampung setelah masing-masing keluarga mendapatkan cukup sagu, sekitar 5-6 tumang.
Di salah satu keluarga, seorang ibu lulusan Sekolah Kepandaian Puteri (SKP) memeragakan bagaimana membuat sagu bakar dan sagu tindis serta olahan lain dengan kepala parut. Hasilnya langsung kami nikmati saat itu.
“Generasi saya diajari masak, membuat kue, mengelola rumah tangga, dan keterampilan-keterampilan yang lain di sekolah kepandaian puteri. Anak-anak sekarang tidak ada kesempatan itu lagi. Sekolah seperti itu sudah lama tutup,” katanya.
Seorang ibu yang berbadan tegap dan tampak lebih tua memberikan informasi historis yang sama. “Dulu kami anak-anak perempuan diajari macam-macam. Menjahit, memasak, membuat kue, mengasuh anak, mengelola uang. Kami mengolah sagu ini macam-macam. Kami tinggal di asrama puteri,” kata ibu itu.
Dalam kata-katanya terselip nada bangga akan pendidikan masa lalunya, sekaligus rasa kehilangan. Sebab, pendidikan serupa itu tidak lagi diselenggarakan saat ini. (Bersambung)