JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Dampak melubernya limbah (tailing) raksasa tambang dunia, PT Freeport Indonesia (FI) dituding telah meluas dan keluar wilayah kontrak karya. Tailing perusahaan yang berafiliasi dengan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, raksasa tambang dunia milik Amerika Serikat yang berbasis di Phoenix, Arizona itu ditengarai sudah berdampak pada kehidupan masyarakat sekitar area pertambangan.
“Sejak 10 tahun terakhir ini, imbas dari pembuangan sisa limbah PT Freeport Indonesia sedang berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat Sempan Timur, Agimuga, dan Jita,” ujar Ketua Kelompok Khusus (Poksus) Dewan Perwakilan Rakyat Papua John NR Gobai mengutip jubi.id di Jayapura, Papua, Jumat (25/11).
John menambahkan, dampak dari tailing sudah terlihat melewati batas wilayah kontak kerja PT Freeport di bagian wilayah Sempan Timur. “Saat ini yang perlu didorong supaya dibicarakan kembali dengan PT Freepot Indonesia yakni terkait dampak yang terjadi di masyarakat dan meluasnya tailing itu,” katanya.
Dari fakta masyarakat yang terdampak tailing Freeport Indonesia, tiga desa di wilayah gunung dan lima desa di wilayah pantai tidak berdampak bagi masyarakat. Padahal, kata John, informasi yang diperoleh menyebutkan bahwa dana kompensasi untuk masyarakat dikelola Yayasan Wartsing dan Yayasan Yluamako sejak tahun 2001.
“Kami akui bahwa kompensasinya setiap tahun dibayar oleh Freeport Indonesia melalui yayasan sebagai ganti rugi selama perusahaan beroperasi. Kami menilai hal ini ada kaitan erat dengan hasil gugatan arbitrase oleh Bapak Tom Beanal dulu. Menurut mereka, ini tidak ada masalah,” lanjut John.
Salah satu poin penting yang diperoleh dari masyarakat, katanya, adalah dampak tailing sudah melewati batas area kontrak kerja Freeport Indonesia. Selama ini banyak orang tidak tahu kalau tailing melewati batas wilayah analisis dampak lingkungan.
“Sisa tailing sudah masuk di muara Sungai Omouga, Inauga. Bahkan sampai di kampung Otya yang sering disebut Otakwa, masyarakat Sempan Timur (Mimika Timur Jauh), Agimuga, dan Jita tapi juga arah Mimika Barat,” katanya.
Menurut John, pada zaman Belanda, kemudian berganti ke Jepang, wilayah Kokonao dalam sekali airnya, jernih, biru, sampai kapal-kapal dari luar negeri semua masuk di Pelabuhn Atapo, Kokonao. Tapi dengan adanya PT Freeport Indonesia sekarang sungai itu sudah sangat dangkal.
“Pendangkalan itu artinya limbah ada jalan di bawah pasir. Pasir didongkrak oleh limbah itu ke atas, maka terjadilah pendangkalan sungai. Oleh sebab itu, saya harap Freeport Indonesia dan pemerintah terbuka dan mau mencari solusi,” kata John. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)