JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Sikap Bupati Kabupaten Yahukimo mengabaikan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap menjadi atensi pengacara dan advokat di tanah Papua.
Sikap mengabaikan putusan peradilan atau pembangkangan hukum terkait sengketa pemilihan ratusan kepala kampung di Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan. Sikap tersebut merupakan potret buram perilaku menyimpang pejabat publik yang tak patut jadi contoh dalam proses penegakan hukum di Indonesia, terutama di tanah Papua.
“Perilaku pejabat daerah membangkan dan mengangkangi putusan pengadilan terjadi di Yahukimo. Bupati Yahukimo tidak melaksanakan atau mengabaikan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terkait sengketa pemilihan ratusan kepala kampung. Saya menyebutnya sebagai pembangkangan hukum”, ujar pengacara Frederika Korain, SH, MAAPD kepada Odiyaiwuu.com dari Jayapura, Papua, Selasa (24/9).
Menurut Frederika, pengacara dari Veritas Law Office, perilaku pejabat di daerah seperti Bupati Yahukimo menjadi menjadi potret buram penegakan hukum di daerah dan menjadi contoh yang memalukan masyarakat dan wajah pemerintahan.
Akhir-akhir ini, sebut Frederika, dunia penegakan hukum dipenuhi oleh perilaku buruk pejabat publik yang dengan mudah tidak mematuhi putusan pengadilan di semua tingkatan. Masyarakat luas lalu memberi label pada sikap tersebut sebagai sikap pembangkangan konstitusi.
“Ratusan kepala kampung di Yahukimo sebelumnya diangkat dan disahkan berdasarkan Keputusan Bupati Yahukimo Nomor 147 Tahun 2021 tentang Pengangkatan dan Pengesahan Kepala Kampung Kabupaten Yahukimo Periode 2021-2027 tertanggal 25 Maret 2021 atau Surat Keputusan atau SK 147/2021,” ujar Frederika.
Surat Keputusan yang diterbitkan di masa kepemimpinan Bupati Yahukimo Abock Busup, kepala-kepala kampung yang diangkat berdasarkan SK tersebut, menggugat Bupati Yahukimo Didimus Yahuli di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura karena mengangkat kepala kampung baru berdasarkan SK Nomor 298 tentang Pengangkatan dan Pengukuhan Kepala Kampung di Kabupaten Yahukimo periode 2021–2027 tertanggal 15 Oktober 2021 atau SK 298/2021.
“Gugatan itu dimenangkan kepala kampung dalam SK 147/2021 hingga di tingkat peninjauan kembali atau PK di Mahkamah Agung Republik Indonesia. Berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, kepala kampung yang diangkat berdasarkan SK 298/2021 sudah tidak sah lagi alias SK tersebut telah batal sejak adanya putusan Peninjauan Kembali,” kata Frederika, pengacara kepala kampung berdasarkan SK 147/2021.
Pengacara asal Papua itu juga menuturkan, PTUN Jayapura telah menerbitkan Penetapan Eksekusi Nomor 2/Pen.Eks/G/2022/PTUN JPR pada 5 Agustus 2024 dan penetapan tersebut oleh pengadilan telah diberitahukan kepada Bupati Yahukimo sebagai termohon maupun diberikan kepada penasehat hukumnya.
“Pada pokoknya, pengadilan menyatakan bahwa SK 298/2021 tidak mempunyai kekuatan hukum lagi terhitung sejak tanggal 13 Februari 2024,” kata Frederika. Konsekuensinya, segala tindakan administratif terkait urusan kepala kampung atau kepala desa di Yahukimo, termasuk penggunaan dana kampung berdasarkan SK 298/2021 adalah ilegal mengingat SK dimaksud telah dibatalkan oleh putusan pengadilan.
Menurut Frederika, meski sudah ada putusan pengadilan yang bersifat tetap dan adanya penetapan eksekusi yang menyatakan bahwa SK 298/2021 sudah tidak berlaku lagi, Bupati Yahukimo Didimus Yahuli masih tetap memaksakan kehendaknya dengan mengambil tindakan-tindakan yang menabrak hukum sendiri.
Tindakan Bupati Yahukimo selain merugikan ratusan kepala kampung, ketidakpatuhan terhadap putusan pengadilan demikian juga patut diduga mengandung peristiwa pidana korupsi.
Pasca putusan berkekuatan hukum tetap, kami sudah memperingatkan Bupati Yahukimo dan beberapa pihak terkait untuk tidak mencairkan honor kepala desa atau kepala kampung maupun alokasi dana desa kepada kepala kampung yang nama-namanya tercantum di dalam SK 298/2021.
Pasalnya, SK dimaksud sudah dinyatakan batal oleh pengadilan. Namun, yang terjadi di lapangan sampai bulan September 2024 ini adalah Bupati Yahukimo tetap melakukan pembayaran honor kepala desa maupun membayar dana desa berdasarkan SK Kepala Kampung yang sebenarnya sudah berstatus ilegal.
Menurut UU Tipikor, kata Frederika, perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain adalah tindak pidana korupsi. Dalam hal ini, tindakan menggunakan uang negara tanpa aturan yang menjadi dasar hukum yang sah adalah perbuatan melawan hukum, maka dapat dikategorikan sebagai tindakan penyalahgunaan keuangan negara alias tindak pidana korupsi.
Karena itu, pihaknya mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, maupun pihak kepolisian untuk mengusut dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan Bupati Yahukimo dan pihak-pihak yang terlibat terkait penggunaan dana desa di Yahukimo yang berjumlah ratusan miliaran rupiah.
“Sudah waktunya, tanah Papua, termasuk Yahukimo dipimpin oleh pemimpin yang tidak membangkang dan menginjak-injak hukum. Yahukimo butuh seorang pemimpin yang mengedepankan tata kelola pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab, good and clean governance dan bebas dari perilaku korup serta mengutamakan kepentingan rakyat banyak,” kata Frederika, pengacara perempuan asli Papua. (Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)